Demi menyelamatkan keluarganya dari utang, Lana menjual keperawanannya pada pria misterius yang hanya dikenal sebagai “Mr. L”. Tapi hidupnya berubah saat pria itu ternyata CEO tempat ia bekerja… dan menjadikannya milik pribadi.
Dia sadis. Dingin. Menyakitkan. Tapi mengapa hatiku justru menjerit saat dia menjauh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GOD NIKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak Luka Dibalik Tatapan
Pagi itu hujan turun ringan, membasahi jendela apartemen mewah milik Leonhart dengan rintik lembut. Suara rintik itu seperti nyanyian kesedihan, menggema dalam dada Lana yang berdiri diam menatap ke luar, mengenakan gaun tidur satin tipis berwarna abu terang. Mata sembabnya masih menyimpan sisa tangis yang tak sempat tumpah semalam. Lelaki itu, suaminya, sudah pergi sebelum matahari muncul. Seperti biasa. Tanpa pelukan. Tanpa kata.
Pagi yang kosong.
Dapur apartemen sepi. Hanya suara mesin kopi otomatis yang mengisi ruangan. Lana duduk di kursi bar tinggi, memeluk tubuhnya sendiri, mencoba menghangatkan dada yang terasa kosong. Tapi tak ada yang lebih dingin dari tatapan Leon semalam. Tatapan yang bukan sekadar benci. Tapi juga obsesi.
Seakan dia milik Leon seutuhnya, bahkan saat hatinya remuk karena pernikahan palsu ini.
Ponselnya berbunyi. Nama di layar membuat napasnya tercekat: Arvino.
Lana sempat ragu.
Tapi ia menjawab.
“Hallo?” suaranya nyaris serak.
“Lana, kamu baik-baik saja?” Suara Arvino lembut. Lelaki itu, berbeda jauh dari Leon. Dia seperti oasis yang tenang setelah badai.
“Tidak juga,” gumam Lana. “Tapi aku masih hidup.”
Ada jeda di sana. Lalu Arvino berkata pelan, “Aku di depan apartemen. Boleh aku naik? Atau kamu butuh waktu sendiri?”
Deg.
Lana menggigit bibirnya. Setengah dari dirinya ingin menyuruh Arvino pergi. Ini terlalu rumit. Tapi separuh lainnya,bagian yang kesepian dan haus kelembutan,merindukan seseorang yang benar-benar peduli.
Lana bangkit perlahan. “Naiklah.”
Tak sampai sepuluh menit, suara bel apartemen berbunyi. Arvino berdiri di sana, mengenakan kemeja biru muda dengan jas hitam kasual. Tangan kirinya membawa sekotak kecil kue dan kopi.
“Sarapan?”
Lana mengangguk lemah, lalu memberi jalan.
Mereka duduk di ruang tamu. Sunyi. Tapi tidak canggung. Arvino tak banyak bertanya. Hanya menatap Lana dengan mata yang menyimpan kekhawatiran.
“Aku minta maaf soal tadi malam,” gumamnya kemudian. “Aku seharusnya tidak menyeret mu dalam permainan masa lalu antara aku dan Leonhart.”
“Bukan salahmu,” Lana menggeleng. “Aku yang masuk ke dalam hidup yang bukan milikku.”
Arvino menatapnya dalam. “Jadi kamu tidak mencintai Leon?”
Lana terdiam. Pertanyaan itu seperti pisau. Mengerikan, tapi perlu dijawab.
“Aku... bahkan tidak tahu siapa dia sebenarnya,” bisiknya.
Arvino menghela napas, lalu menyentuh tangan Lana di atas meja. “Kalau suatu saat kamu butuh tempat untuk pulang, Lana, aku ada.”
Lana menunduk. Tak berkata apa pun. Tapi genggaman Arvino memberinya sedikit kehangatan yang bahkan matahari pagi tak mampu berikan.
Di sisi lain kota, Leon duduk di ruang rapat perusahaan. Tangannya mengepal di atas meja kaca, sementara mata tajamnya menatap layar monitor yang memutar rekaman kamera pengawas apartemennya.
Ia melihat Lana membuka pintu. Lalu datanglah Arvino.
Rahangnya mengeras.
“Aku akan menghancurkan mu, Vin,” gumam Leon penuh dendam.
“Leon, fokus!” tegur Melissa, rekan bisnisnya.
Leon menyentak. Matanya kembali ke layar presentasi yang dipaparkan, tapi pikirannya tak pernah benar-benar pergi dari gambar Arvino yang menyentuh tangan istrinya. Istrinya. Meski palsu. Meski dibeli. Tapi tetap miliknya.
Dan tidak ada satu pun yang boleh menyentuh apa yang sudah menjadi milik Leonhart Irawan.
Sore menjelang. Lana berjalan sendirian di pusat perbelanjaan. Ia butuh udara. Butuh ruang. Tapi pikirannya tetap saja kacau.
Hingga seseorang menghentikan langkahnya.
“Lana?”
Ia menoleh. Wajah di depannya membuat napasnya tercekat. Amanda. Mantan kekasih Leon. Wanita itu berdiri anggun dengan kacamata hitam dan tas branded menggantung di bahu.
“Aku nyaris tak mengenalimu. Kau tampak... lusuh,” kata Amanda sambil menatap Lana dari atas ke bawah.
Lana tersenyum miris. “Tak semua wanita perlu makeup tebal untuk menutupi luka, Mand.”
Amanda mengerutkan kening, tapi tertawa pelan. “Kau masih tajam. Tapi cepat atau lambat kau akan tahu sendiri, Lana. Tidak ada yang bisa memiliki Leon sepenuhnya. Bahkan aku saja gagal.”
Lana mengerutkan dahi. “Apa maksudmu?”
Amanda mencondongkan tubuh. Suaranya nyaris berbisik, tapi tajam. “Dia bukan pria biasa. Jika kau terlalu dekat... kau akan terbakar.”
Wanita itu pergi sebelum Lana sempat bertanya lebih jauh.
Namun kata-katanya seperti duri dalam dada. Dan entah kenapa, Lana percaya. Karena ia sudah mulai merasakannya.
Malam itu, Leon pulang lebih awal. Suara pintu terbuka membuat Lana tercekat. Ia bangkit dari sofa, hanya untuk melihat pria itu masuk dengan langkah dingin dan ekspresi beku.
“Arvino datang ke apartemen ini,” kata Leon tanpa basa-basi.
Lana menggenggam ujung gaunnya. “Aku tidak mengundangnya.”
“Tapi kau tidak menolaknya.”
Leon melangkah pelan, seperti pemangsa mendekati mangsanya. “Apa yang kalian bicarakan?”
“Bukan urusanmu.”
Tangannya mencengkeram dagu Lana. Menyakitkan. Mata mereka bertemu. Tatapan Leon seperti kobaran api yang siap membakar.
“Aku membayar mu, Lana. Setiap inci dari tubuhmu. Setiap air matamu. Jangan pernah lupa itu.”
Lana menamparnya.
Suara tamparan itu menggema. Keduanya terdiam. Nafas memburu.
Air mata Lana mengalir. Tapi ia menatap Leon tanpa takut lagi.
“Ya, kau membayar ku. Tapi itu tidak memberimu hak untuk memperlakukan aku seperti binatang.”
Leon menatapnya. Dan untuk pertama kalinya, bukan kemarahan yang muncul. Tapi luka.
Ia melepaskan cengkeramannya dan berbalik.
“Aku juga manusia, Lana. Tapi tidak ada yang pernah memperlakukanku seperti itu.”
Dan dengan itu, ia pergi. Lagi.
Meninggalkan Lana yang berdiri diam, mencoba memahami apakah air mata yang jatuh di pipinya malam itu... adalah untuk dirinya sendiri. Atau untuk Leon.
Kalau kamu suka arah cerita ini, aku bisa lanjutkan Bab 6 dengan ketegangan yang lebih meningkat:
Leon mulai memata-matai Lana.
Arvino mengajak Lana bekerja dengannya agar bisa menjauhi Leon.
Masa lalu Leon mulai terungkap: trauma masa kecil, hubungan dengan Amanda, dan rahasia tentang kematian ibunya.
Malam semakin larut. Lampu apartemen redup, hanya cahaya dari luar jendela kota yang menyusup pelan ke dalam ruangan. Lana masih berdiri di tempat, bekas cengkeraman Leon terasa perih di kulit wajahnya. Tapi luka di dalam jauh lebih dalam. Ia berbalik, melangkah menuju dapur, mengambil segelas air, mencoba menenangkan napas.
Namun hatinya tetap berdegup tak beraturan. Kata-kata Leon terus terngiang:
"Aku membayar mu."
Bukan hanya tubuhnya yang terasa murah saat itu. Tapi juga harga dirinya.
Tangannya gemetar saat menaruh gelas di meja. Tak sanggup lagi berpura-pura tegar. Seluruh pertahanannya runtuh. Ia berlutut, menekuk tubuh, dan untuk pertama kalinya sejak malam pernikahan itu, ia menangis dalam diam. Tangisan yang penuh dendam, tapi juga kebingungan.
Di kepalanya, bayangan Arvino muncul. Mata lembutnya, nada tenang suaranya, tangan hangat yang menyentuh tanpa mengklaim. Tapi juga... Leon. Mata kelam yang penuh luka, penuh marah, tapi juga... rasa yang tak bisa didefinisikan.
Lana membenci kenyataan bahwa ia memikirkan Leon lebih dari yang seharusnya.
Beberapa hari kemudian.
Lana mulai kembali bekerja di kantor milik Leonhart Group. Walau mereka menikah secara hukum, Leon tetap memperlakukannya seperti bawahan. Tidak ada perlakuan istimewa. Hanya jarak. Dan tatapan diam penuh makna yang tak bisa dimengerti siapa pun.
“Lana,” panggil seseorang di ruang desain.
Ia menoleh. Arvino berdiri di sana, mengenakan kemeja putih dan celana abu-abu, seperti biasa rapi dan menarik. Tapi hari ini, ada senyum ragu di bibirnya.
“Kita bisa bicara sebentar?”
Lana mengangguk. Mereka melangkah ke balkon belakang kantor.
“Aku tahu semuanya rumit,” ucap Arvino. “Tapi aku serius soal tawaranku kemarin.”
“Tawaran apa?”
“Bekerja di perusahaan ku. Di luar negeri. Jauh dari semua ini. Dari Leon. Dari luka. Kamu bisa mulai hidup baru.”
Lana mematung. Ia menatap langit Jakarta yang mendung. Angin sore menyapu rambutnya pelan.
“Kau yakin aku pantas mendapat hidup baru?” gumamnya.
Arvino mendekat. “Lana... kamu bukan milik siapa pun. Bahkan Leon. Kamu punya hak untuk memilih kembali. Aku tidak akan memaksamu. Tapi aku akan selalu membuka pintu untukmu.”
Ada harapan di mata Arvino. Tapi di dada Lana, justru badai.
Sementara itu...
Leon duduk sendirian di ruang kerjanya. Di layar laptop, tampak foto-foto diam-diam dari pengawasan keamanan,Lana dan Arvino di balkon kantor. Terlalu dekat. Terlalu nyaman.
Tangannya mengepal.
Tapi bukan amarah yang pertama kali muncul. Melainkan rasa ditinggalkan.
Ia teringat sesuatu. Suara ibunya. Malam terakhir sebelum wanita itu pergi.
"Jangan tumbuh jadi laki-laki seperti ayahmu, Leon. Jangan rebut kebahagiaan seseorang hanya karena kamu tidak bisa memilikinya."
Tapi ia sudah melanggar itu. Sudah menjadikan Lana sebagai ganti dendam dan kesepiannya.
Ia menghela napas, menutup laptop, dan meraih jaket. Ia harus bicara dengan Lana. Bukan sebagai suami. Tapi sebagai manusia yang ingin minta maaf.
Namun takdir tak memberinya waktu.
Saat Leon keluar dari kantornya dan menuju lift, ia melihat Lana di lobi.
Bersama Arvino.
Tertawa kecil.
Dan Arvino menggenggam tangannya sebentar sebelum melepasnya.
Bukan posesif. Tapi tulus. Ringan. Tapi mengiris.
Leon berhenti. Tak melangkah.
Dunia di sekitarnya jadi buram. Seolah hanya mereka berdua yang nyata, dan ia… hanyalah bayangan masa lalu yang mulai tergantikan.
Malamnya,
Lana berdiri di balkon apartemen, mengenakan sweter tipis. Hujan baru saja reda. Angin malam membawa aroma tanah basah dan sisa badai.
Ponselnya bergetar.
Pesan dari nomor tak dikenal:
“Kalau kau pikir dia mencintaimu, kau terlalu naif. Jangan lupa siapa Leon sebenarnya. Dan siapa yang membunuh ibunya.”
Lana membeku.
Tangannya gemetar.
Pesan itu... seperti bayangan hitam yang menggantung di atas kepalanya. Membunuh ibunya? Apa maksudnya?
Seketika, rasa aman yang ia bangun perlahan bersama Arvino runtuh. Dan semua pertanyaan tentang masa lalu Leon kembali menghantui.
Siapa pria itu sebenarnya?
Dan lebih penting lagi... kenapa bagian dari dirinya masih ingin tahu jawabannya?