Anya bermimpi untuk memiliki kehidupan yang sederhana dan damai. Namun, yang ada hanyalah kesengsaraan dalam hidupnya. Gadis cantik ini harus bekerja keras setiap hari untuk menghidupi ibu dan dirinya sendiri. Hingga suatu malam, Anya secara tidak sengaja menghabiskan malam di kamar hotel mewah, dengan seorang pria tampan yang tidak dikenalnya! Malam itu mengubah seluruh hidupnya... Aiden menawarkan Anya sebuah pernikahan, untuk alasan yang tidak diketahui oleh gadis itu. Namun Aiden juga berjanji untuk mewujudkan impian Anya: kekayaan dan kehidupan yang damai. Akankah Anya hidup tenang dan bahagia seperti mimpinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Tyger, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26 - Lebih Baik Kita Bercerai
Anya bangun pagi itu dengan perasaan lebih ceria dari biasanya. Kemarin adalah hari yang luar biasa baginya. Ia akhirnya bisa mengunjungi kembali kebun bunga milik ibunya yang telah lama terbengkalai, dan menanam berbagai macam bunga di sana. Dalam beberapa bulan ke depan, ia bisa mulai membuat parfum lagi!
Selain itu, hari ini Aiden akan pulang!
Sejak pagi, Anya menghabiskan waktunya di dapur. Ia memanggang berbagai macam kue dan mencoba resep baru. Sebelumnya, ia pernah mendengar dari Nico bahwa Aiden tidak terlalu suka makanan manis, jadi ia mencoba mencari resep yang tidak terlalu manis. Sore harinya, ia juga membantu Hana menyiapkan makan malam.
Ia memasak sambil bersenandung kecil, hingga akhirnya Hana bertanya, “Apakah Tuan Aiden pulang hari ini?” Hana bisa merasakan suasana hati Anya yang begitu cerah, jadi ia menebak kalau Aiden pasti akan pulang.
“Hmm... Katanya dia akan pulang malam ini. Tapi entahlah, apakah dia akan sempat makan malam bersama?” gumam Anya ragu.
Namun hingga makan malam tiba, Aiden belum juga datang. Anya dan Hana pun kembali makan berdua seperti hari-hari sebelumnya. Mungkin Aiden sedang sangat sibuk sehingga baru bisa pulang larut malam.
Anya berniat menunggu sampai Aiden pulang. Ia duduk di ruang keluarga sambil menonton TV, membaca buku, dan mendengarkan berita. Jam sudah menunjukkan pukul 12 malam, tapi Aiden belum juga datang.
Matanya terasa berat. Berkali-kali ia menguap dan sulit membuka mata. Akhirnya, ia memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Sepertinya, Aiden benar-benar tidak pulang hari ini.
Saat berbaring di tempat tidur, Anya tak bisa menahan pikirannya melayang ke arah Aiden. Kenapa pria itu tiba-tiba tidak pulang? Apa ada urusan mendadak yang membuatnya harus bekerja lembur?
Hari demi hari berlalu, tapi tetap tak ada kabar dari Aiden. Ia bahkan tidak menjawab telepon Anya. Anya bingung. Mungkinkah Aiden benar-benar terlalu sibuk? Ia berusaha menepis berbagai kemungkinan buruk dan menyibukkan diri di kebun bunga, memasak bersama Hana, serta mengunjungi ibunya di rumah sakit.
Tapi pikirannya tetap kembali ke Aiden.
‘Kenapa Aiden belum juga pulang? Kenapa tidak memberi kabar sedikit pun?’
Satu Minggu Kemudian...
Anya baru saja pulang dari rumah sakit. Ketika ia membuka pintu rumah, ia melihat Aiden sudah duduk di ruang tamu. Wajahnya dingin, ekspresinya sulit ditebak. Penampilannya masih sama tampannya seperti biasa, tapi matanya... tidak lagi sehangat dulu. Tatapan itu seperti es yang membeku, dingin dan tak bisa ditembus.
Harris berdiri di sampingnya, terlihat cemas.
Suasana di dalam rumah terasa mencekam. Anya bisa merasakan sesuatu yang tidak beres.
“Kamu sudah pulang?” tanya Anya, menghampiri Aiden. Setelah seminggu tanpa kabar, pria itu tiba-tiba muncul begitu saja.
Begitu Anya datang, Harris langsung pamit dan pergi. Para pelayan yang tadinya berjajar untuk menyambut Aiden juga perlahan menghilang satu per satu saat melihat nyonya rumah datang.
“Hm.” gumam Aiden pelan. Ia menatap ke luar jendela, ke arah danau, tanpa menoleh sedikit pun pada Anya.
“Ada apa? Apa karena pekerjaan kamu jadi tidak bisa pulang?” tanya Anya, berusaha mencari tahu.
Aiden tetap diam untuk beberapa saat. Lalu, dengan suara datar dan dingin, ia berkata, “Lebih baik kita bercerai.”
Anya terdiam. Kata-kata itu menusuknya seperti pisau. Matanya membelalak tak percaya. Aiden bahkan tidak menatap wajahnya saat mengucapkannya.
Ia tak salah dengar Aiden ingin menceraikannya.
Sudah seminggu ia tidak memberi kabar, mengabaikan semua panggilan teleponnya, dan sekarang tiba-tiba mengucapkan kata-kata itu?
“Aku sudah tanda tangani surat cerainya. Kertasnya ada di meja. Kamu tidak perlu bayar utangmu lagi padaku. Anggap saja lunas.” kata Aiden sambil bangkit berdiri.
Anya buru-buru memegang lengan Aiden, mencoba menahannya. “Apa yang sebenarnya terjadi? Aku salah apa?” tanyanya panik.
Aiden menoleh perlahan ke arahnya. Sorot matanya begitu dingin. Tatapan itu membuat dada Anya terasa sesak.
“Kamu bilang sendiri, kamu tidak mencintaiku. Sekarang aku beri kamu kebebasan.” ucap Aiden, datar.
Tangan Anya perlahan melepas genggamannya. Ia membiarkan Aiden pergi tanpa berkata sepatah kata pun lagi. Ia hanya menatap punggung pria itu menjauh.
Aiden memberinya kebebasan...
Setelah Aiden pergi, Anya terduduk di sofa dan menatap dokumen di meja. Tangannya meraih kertas itu dan membacanya perlahan. Di sana tertulis bahwa Aiden mengajukan perceraian. Ia juga menyatakan bahwa seluruh utang Anya dianggap lunas, bahkan memberinya sejumlah uang sebagai kompensasi atas pernikahan mereka yang gagal.
Itu adalah “tiket kebebasan” untuknya. Tapi entah kenapa, Anya tak sanggup meraih pulpen yang tergeletak di sebelahnya. Bahkan untuk menyentuhnya pun, ia tak kuasa. Matanya menatap lembaran dokumen itu dengan kosong.
Apakah Aiden sudah tidak membutuhkan dirinya lagi?
Apakah karena misi balas dendamnya pada Natali sudah selesai, maka Anya dianggap tak berguna lagi?
Setengah jam telah berlalu, namun Anya masih duduk di kursi ruang tamu. Ia tak bergerak sedikit pun dari tempatnya. Tangannya masih memegang lembaran kertas yang sama surat cerai dari Aiden. Ia berharap, dengan menatapnya lebih lama, ia bisa memahami apa yang sebenarnya dipikirkan Aiden.
Sayangnya, ia tetap tak mengerti...
Ia benar-benar tidak bisa memahami apa yang terjadi. Rasanya seperti otaknya sulit mencerna kejadian yang tiba-tiba ini. Tanpa tanda-tanda, Aiden ingin menceraikannya. Ia bahkan bersedia menghapus semua utang Anya dan memberikan uang kompensasi.
Dari kejauhan, Harris menyaksikan semuanya. Ia tak berniat mencampuri urusan pribadi majikannya, namun ia tak bisa menahan rasa khawatirnya.
Ia sudah merasa ada yang salah dengan Aiden sejak mereka pulang dari perjalanan minggu lalu.
“Nyonya…” panggil Harris sambil melangkah mendekati Anya yang terlihat lesu di ruang keluarga. Langkahnya berat, karena ia tahu ia sedang melampaui batas sebagai seorang asisten. Tapi hatinya gelisah. Ia peduli pada Aiden.
Panggilan itu membuat Anya tersadar dari lamunannya. Ia mengangkat kepala, baru menyadari ada seseorang di hadapannya.
“Hmm… Ada apa?” tanya Anya pelan. Sejujurnya, ia tidak ingin bicara dengan siapa pun sekarang. Kepalanya penuh dengan pertanyaan. Ia ingin sendiri.
“Nyonya, saya tidak bermaksud ikut campur, tapi…” Harris bicara ragu-ragu.
Ucapannya justru membuat Anya lebih fokus. Ia memusatkan perhatian pada Harris. Pria itu telah menemani Aiden selama seminggu ini. Tentu dia tahu apa yang terjadi.
“Ada apa? Apa yang sebenarnya terjadi? Katakan padaku!” desak Anya. Surat cerai di tangannya seolah terlupakan. Ia sadar bahwa jawaban yang ia cari bukan pada kertas itu, tapi pada pria yang berdiri di hadapannya.
Harris menelan ludah, lalu menjawab pelan, “Nyonya, selama seminggu ini, Tuan tidak sedang dinas kerja. Beliau pergi menemui dokter mata.”
Anya terdiam.
“Lalu? Apa yang terjadi? Kenapa Aiden jadi seperti ini?” tanyanya khawatir.
Jadi Aiden tidak sedang kerja. Ia pergi demi menyembuhkan matanya. Tapi kenapa saat kembali, dia malah meminta cerai? Apa pengobatannya gagal? Apakah penglihatannya tak bisa diselamatkan?