NovelToon NovelToon
Menikah Dengan Sahabat

Menikah Dengan Sahabat

Status: sedang berlangsung
Genre:Pengantin Pengganti / Nikah Kontrak / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Mengubah Takdir
Popularitas:6.4k
Nilai: 5
Nama Author: Julia And'Marian

Mereka tumbuh bersama. Tertawa bersama. Menangis bersama. Tapi tak pernah menyangka akan menikah satu sama lain.

Nina dan Devan adalah sahabat sejak kecil. Semua orang di sekitar mereka selalu mengira mereka akan berakhir bersama, namun keduanya justru selalu menepis anggapan itu. Bagi Nina, Devan adalah tempat pulang yang nyaman, tapi tidak pernah terpikirkan sebagai sosok suami. Bagi Devan, Nina adalah sumber kekuatan, tapi juga seseorang yang terlalu penting untuk dihancurkan dengan cinta yang mungkin tak terbalas.

Sampai suatu hari, dalam situasi penuh tekanan dan rasa kehilangan, mereka dipaksa menikah demi menyelamatkan kehormatan keluarga. Nina baru saja ditinggal tunangannya yang berselingkuh, dan Devan, sebagai sahabat sejati, menawarkan sebuah solusi yaitu pernikahan.

Awalnya, pernikahan itu hanyalah formalitas. Tidak ada cinta, hanya kenyamanan dan kebersamaan lama yang mencoba dijahit kembali dalam bentuk ikatan suci.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 29

Nina masih terbaring lemas di ranjang rumah sakit. Wajahnya pucat tapi penuh kebahagiaan. Peluh masih membasahi pelipisnya, rambutnya sedikit acak-acakan, namun senyumnya—ya Tuhan—tak pernah seteduh ini. Di pelukannya, seorang bayi mungil, dibalut kain pink lembut, meringkuk dengan mata terpejam.

Devan duduk di samping ranjang, tak berkedip sejak dua puluh menit terakhir. Tangannya gemetar saat menyentuh kepala bayi itu untuk kesekian kali. Seolah tak percaya, makhluk sekecil ini... keluar dari perut wanita yang ia cintai.

“Sayang…” Devan berbisik pelan di telinga sang istri.

“Hm?” sahut Nina pelan. Ia menatap Devan dengan lembut, tubuhnya masih lelah tapi hatinya penuh.

“Kita beneran punya anak?” Devan menoleh menatap bayinya, matanya berkaca-kaca. “Aku masih kayak mimpi.”

Nina tersenyum tipis. “Kalau mimpi, nggak mungkin kamu disuruh buang ari-ari tadi.”

Devan tertawa kecil, malu. “Iya juga, ya. Dan kenapa semua orang rumah sakit udah kayak nyuruh aku ikut pelatihan militer? ‘Pak, steril! Jangan banyak gerak! Pegang begini, bukan begitu!’ Aku kayak abis di-brief buat jadi ayah top global.”

Nina tergelak lemah. “Karena kamu terlalu heboh.”

Devan mencium kening Nina dengan penuh kasih. “Aku panik. Tapi panik yang bahagia.”

Lalu ia menunduk ke bayinya. “Hai… putra kecil Papa. Namamu siapa, ya? Kita belum kasih nama…”

Nina mengangguk pelan. “Aku sempat kepikiran satu nama sebelum kamu masuk ruangan tadi…”

Devan menatap penuh minat. “Apa?”

Nina menatap bayi itu. “Nizar.”

“Nizar?…” Devan mengulang pelan, seolah mengecap rasa dari kata itu. “Nizar... tampan kayak aku."

“Kalau kamu?” tanya Nina, penasaran. “Kamu pengin nama apa tadi?”

Devan menggaruk kepala. “Tadi kepikiran… Steven. Tapi kayaknya Nizar lebih cocok.”

“Dua-duanya cantik,” kata Nina.

Devan mendekat dan menempelkan keningnya ke kening Nina. “Apa pun namanya, dia lahir dari cinta kita.”

Kemudian terdengar suara tangisan bayi yang mulai nyaring. Devan reflek berdiri panik. “Sayang! Dia nangis! Kenapa?! Panas ya? Atau dingin? Atau lapar? Atau aku terlalu banyak ngomong?!”

Nina tertawa geli. “Tenang, Pa. Bayi itu emang gitu. Nangis. Dia baik-baik aja. Itu instingnya.”

Tapi Devan sudah sibuk manggil suster lewat bel. “Suster! Bayi saya nangis! Mungkin dia butuh psikolog bayi atau—”

Suster masuk dengan ekspresi sabar. “Bapak, ini normal. Dia hanya butuh pelukan.”

Devan cengar-cengir malu, sementara Nina menahan tawa sampai matanya berkaca-kaca.

Saat malam turun, Nina sudah tertidur dengan tenang, sementara Devan duduk di kursi samping ranjang, bayi mungil mereka tertidur di inkubator kecil. Ia menatapnya, dan tiba-tiba mengeluarkan ponsel.

Rekaman suara dimulai. “Hai, Nizar. Ini Papa. Hari ini kamu lahir. Dan sejak kamu muncul ke dunia, Papa berubah jadi laki-laki paling norak, paling panik, tapi juga paling bahagia. Mama kamu luar biasa. Dia kuat banget. Papa janji bakal jadi ayah yang paling kamu banggakan. Walau kamu belum bisa dengar ini sekarang, suatu hari kamu bakal tahu… kamu datang ke dunia ini bukan cuma sebagai bayi, tapi sebagai hadiah. Hadiah yang paling indah buat Papa dan Mama.”

Devan menghentikan rekaman. Lalu mengecup jari kecil Nizar yang mungil dan menggenggamnya tanpa sadar.

“Selamat datang, Nizar. Rumah kita kini benar-benar lengkap.”

*

Rumah itu tak pernah terasa sehangat ini.

Matahari siang menembus tirai tipis ruang tamu, menciptakan semburat lembut di sofa yang kini penuh bantal kecil, selimut bayi, botol susu, dan... popok kosong. Banyak sekali popok kosong. Sejak pulang dari rumah sakit tiga hari lalu, hidup Devan dan Nina resmi berubah seratus delapan puluh derajat.

“Nina... aku lupa... bedanya tisu basah dan tisu kering apa sih buat bayi?” teriak Devan dari dapur, dengan celemek merah muda bertuliskan “Super Dad” yang sudah agak kotor oleh tumpahan ASI.

Nina yang tengah menyusui Nizar di kamar hanya menjawab lemah, “Yang satu lembap, yang satu kering, Van.”

“YA ITU AKU TAHU!” Devan muncul dengan tisu di kedua tangan. “Tapi maksudku, yang satu buat bersihin pup, yang satu buat lap tangan, kan? TAPI KENAPA AKU TADI SALAH PAKAI SEMUA BUAT NGELAP WAJAH Nizar?!”

Nina terkekeh lemah, menyembunyikan wajahnya di balik bantal. “Aduh Devan… kamu panik lagi?”

Devan menghela napas dan mendekat. Ia duduk di sisi tempat tidur, menatap bayinya yang masih menyusu dengan lahap.

“Mungkin... aku bukan ayah yang baik. Aku kayaknya nggak punya insting apa-apa. Tadi aja pas dia nangis, aku kira dia ngigau.”

“Van, bayi nggak bisa ngigau...”

“IYA, SETELAH AKU BACA DI GOOGLE AKU BARU NYADAR.”

Nina tak kuasa menahan tawa. Nizar berhenti menyusu dan mengerang pelan. Matanya membuka sedikit, lalu... mengeluarkan suara kentut mungil yang menggemaskan.

“Eh?!” Devan terlonjak.

Nina tenang. “Itu... suara kemenangan. Dia kenyang.”

“Kayak kamu tiap habis makan nasi padang,” celetuk Devan sambil mengelus pipi bayinya. “Tapi serius ya, ini bayi, kecil banget, tapi kekuatannya kayak bos geng motor. Semalam dia bikin aku dan kamu begadang tiga kali. Tiga. Kali.”

Nina hanya mengangguk sambil rebahan. Kantung matanya makin jelas. Devan menatap istrinya penuh iba, lalu mendekat, meraih tangan Nina.

“Kamu capek banget, ya?”

“Banget.”

“Kamu masih sayang aku nggak?”

Nina melirik malas. “Kalau kamu masak makan siang, sayangnya nambah sepuluh persen.”

“Berarti cinta itu bisa dikonversi ke makanan, ya,” gumam Devan lalu berdiri, “Baiklah, akan aku buktikan bahwa Super Dad ini bisa membuat nasi goreng sosis cinta!”

Nina tertawa. Tapi lima menit kemudian...

“AYA! RICE COOKER-NYA KEMASUKAN TUTUP SUSU BOTOL! BISA MELEDAK NGGAK?!”

Siang itu chaos.

Dapur seperti habis dikuasai alien. Devan, dengan kepala belepotan tepung dan dada penuh bekas susu tumpah, berdiri memegang penggorengan yang terlalu kecil untuk sosis yang ia iris sebesar senter. Sementara Nina di ruang tengah mencoba membuat Nizar tidur—tapi gagal karena si bayi justru lebih senang menendang-nendang selimut dan mendengus seperti landak.

“Van, dia belum bisa tengkurap, kan?” tanya Nina panik saat melihat Nizar menendang lebih aktif.

Devan melongok dari arah dapur. “Nggak tahu, di TikTok katanya ada yang umur seminggu udah bisa ngerangkak…”

“Kamu percaya TikTok?”

“Daripada percaya kamu yang bilang daun mint bisa nyembuhin masuk angin—”

“ITU KATA MAMA!”

“Oh, maaf. Aku mencintai mamamu.”

Malam tiba. Devan akhirnya berhasil menidurkan Nizar dengan cara paling absurd: menyanyikan lagu opening Naruto sambil ayun-ayun gendongan.

“Sasuke... Sasuke... aku rela begadang demi anakmu...” nyanyi Devan lirih dengan suara cempreng.

Nina berdiri di ambang pintu, melihat pemandangan itu sambil mengusap air mata. Bukan karena sedih, tapi karena lucu dan haru jadi satu.

Setelah Nizar benar-benar tidur, mereka berdua akhirnya bisa duduk di sofa. Ninq bersandar di bahu Devan, lelah tapi nyaman.

“Tau nggak, aku baru tahu, ternyata jadi ibu... bisa bikin kamu nangis tiap hari,” bisik Nina.

Devan memeluknya. “Aku juga baru tahu, ternyata jadi ayah... bisa bikin kamu mau nangis, tapi juga ketawa dalam waktu bersamaan.”

“Aku takut, Van.”

“Takut apa?”

“Takut nggak bisa jadi ibu yang baik. Kadang aku ngerasa kayak aku belum ngerti apa-apa…”

Devan mencium puncak kepalanya. “Kalau kamu belum ngerti apa-apa, kenapa Nizar bisa ketawa pas kamu peluk dia? Kenapa dia tenang kalau kamu deketin? Kamu nggak sadar aja. Tapi kamu udah jadi segalanya buat dia.”

Nina menunduk. “Dan kamu? Kamu juga jadi segalanya buat aku.”

Devan tersenyum kecil. “Aduh. Jangan manis gini. Nanti aku cium. Padahal kamu belum mandi.”

“Ya udah cium aja, biar sekalian kamu kotor.”

Mereka tertawa pelan. Sementara di kamar, suara tangisan mungil kembali terdengar.

Devan langsung reflek berdiri. “Oke! Babak kedua! Mari kita ganti popok dan baca buku tentang ‘Arti Warna Kotoran Bayi’!”

Nina mengangkat tangan. “Aku pasrah. Kamu duluan deh.”

Devan berlari sambil menggendong popok dan tisu. “Bayi... aku datang... Super Dad sedang dalam misi penyelamatan popok!”

1
Eva Karmita
masyaallah bahagia selalu untuk kalian berdua, pacaran saat sudah sah itu mengasikan ❤️😍🥰
Julia and'Marian: sabar ya kak, aku kemarin liburan gak sempat up...🙏
total 1 replies
Eva Karmita
semangat semoga semu yg kau ucapkan bisa terkabul mempunyai anak" yg manis ganteng baik hati dan sopan ya Nina
Eva Karmita
semoga kebahagiaan menyertai kalian berdua 😍❤️🥰
Eva Karmita
lanjut thoooorr 🔥💪🥰
Herman Lim
selalu berjuang devan buat dptkan hati nana
Eva Karmita
percayalah Nina insyaallah Devan bisa membahagiakan kamu ❤️
Eva Karmita
mampir otor 🙏😊
Julia and'Marian: hihihi buku sebelumnya Hiatus ya kak, karena gak dapat reterensi, jadi males lanjut 🤣, makasih ya kak udah mampir 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!