Milea, Gadis yang tak tahu apa-apa menjadi sasaran empuk gio untuk membalas dendam pada Alessandro , kakak kandung Milea.
Alessandro dianggap menjadi penyebab kecacatan otak pada adik Gio. Maka dari itu, Gio akan melakukan hal yang sama pada Milea agar Alessandro merasakan apa yang di rasakan nya selama ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SelsaAulia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Mata Gio berkedip pelan, seperti kupu-kupu yang baru saja terbangun dari tidur panjang. Kesadaran perlahan menyeruak, membawa kembali ke dunia nyata. Yang pertama dilihatnya adalah Milea, duduk tenang di sofa tak jauh darinya. Tangannya menopang dagu, mata terpejam, seakan terhanyut dalam mimpi. Cahaya bulan menerpa wajahnya, menonjolkan kecantikan yang begitu menawan.
Sejenak, Gio hanya memandang. Pandangannya terpaku pada wajah gadis itu. Lalu, sebuah keluhan terlontar dari bibirnya, suara parau yang masih bercampur dengan rasa sakit. "Sial!" desisnya, suara penuh penyesalan. "Malam ini seharusnya aku mendapatkannya," lanjutnya, suara penuh kekecewaan. "Karena luka sialan ini, aku harus kembali menundanya." Kata-kata itu keluar bagai bisikan, sebuah pengakuan akan hasrat dan dendam yang terpendam.
Tubuhnya limbung, keseimbangannya hilang seketika. Milea tersentak, bangun dari tidurnya yang tak nyenyak. Kepala terasa pusing, tubuhnya terasa berat. Saat ia membuka mata, pandangannya langsung bertemu dengan tatapan Gio yang masih tertuju padanya. Seketika, pipinya memerah, rasa canggung memenuhi hatinya.
Langkahnya ragu-ragu, hampir tak percaya diri. Ia menghampiri Gio, hati berdebar kencang. "Apa kamu ingin minum?" tanyanya, suara sedikit gemetar. Hanya anggukan singkat yang menjadi jawaban. Milea segera mengambil segelas air, suhu ruang, sebuah sentuhan lembut di tengah situasi yang menegangkan. Ia menyodorkan gelas itu pada Gio, jari-jari mereka hampir bersentuhan.
"Bantu aku duduk," pinta Gio, suaranya masih lemah. Milea meletakkan gelas di atas nakas, lalu dengan hati-hati membantu Gio untuk duduk tegak. Sebuah bantal diletakkan di belakang punggungnya, memberikan sandaran yang nyaman. Gio langsung meminum air itu hingga habis, seakan haus akan lebih dari sekadar cairan. Di antara mereka, tercipta keheningan yang dipenuhi oleh perasaan yang tak terucapkan.
"Ambilkan piyamaku, lalu bantu aku mengganti pakaian," pinta Gio, suaranya memecah keheningan yang mencekam. Permintaan itu terasa begitu berat, menciptakan jurang pemisah antara kewajiban dan rasa malu.
Tanpa menjawab, Milea berjalan mendekati lemari. Jari-jarinya gemetar saat membuka pintu lemari, mencari piyama berwarna hitam yang diminta Gio. Sejenak, ia terpaku, menatap kain lembut itu dengan ragu. Membantu Gio berganti pakaian? Bayangan itu menciptakan gelombang panas di pipinya. Rasa canggung dan dilema menghimpit hatinya.
"Apa perlu aku panggilkan pelayan pria untuk membantumu berganti pakaian?" usulnya, suara terbata-bata. Pertanyaan itu lebih kepada sebuah harapan, sebuah upaya untuk menghindari situasi yang membuatnya tak nyaman.
"Apa kau lupa? Kau budakku sekarang! Kau harus menepati janji mu, kau kalah dan kau harus patuh!" Kata-kata Gio menusuk hati Milea seperti sebilah pisau. Kalimat itu, tajam dan penuh otoritas, menghancurkan benteng pertahanan yang telah ia bangun. Matanya memerah, menahan amarah yang hampir meledak. Jemarinya meremas kain piyama, seakan ingin menghancurkannya.
Tanpa basa-basi lagi, Milea memulai tugasnya. Dengan gerakan tangan yang terburu-buru namun hati yang bergetar, ia membantu Gio mengenakan baju piyama. Namun, saat tiba giliran celana, keraguan kembali menyeruak. Dengan mata terpejam, ia mulai membuka celana Gio, seakan ingin menghindar dari tatapan mata yang penuh arti itu. Di antara mereka, tercipta ketegangan yang begitu pekat, dipenuhi oleh rasa malu, kepatuhan, dan sejuta emosi yang terpendam.
Kegelapan masih menyelimuti kamar ketika Gio, setelah dibantu Milea mengganti pakaiannya, memerintah, "Masih malam, tidurlah, di sampingku."
Milea menunduk, menghindari tatapan Gio. "Aku bisa tidur di sofa," jawabnya lirih.
Suara Gio meninggi, tajam menusuk keheningan malam. "Apa kau lupa? Apa aku harus selalu mengingatkanmu?" Milea tersentak, matanya berkaca-kaca. Dengan langkah gontai, ia berjalan ke tepi ranjang, berbaring sejauh mungkin dari Gio, menjaga jarak yang terasa begitu lebar di antara mereka.
Namun, Gio tak membiarkannya. Dengan gerakan kasar, ia menarik Milea ke dalam dekapannya, memeluknya erat. Tubuh Milea menegang. Bukan hangatnya pelukan yang ia rasakan, melainkan tekanan yang mencekik, sebuah ketidaknyamanan yang menusuk hingga ke relung hatinya yang paling dalam.
Bau parfum Gio yang biasanya menenangkan, malam ini terasa menyengat, seperti aroma ancaman yang terselubung. Ia meringkuk dalam pelukan itu, tak mampu melawan, hanya bisa merasakan detak jantungnya yang berdebar kencang, bercampur aduk dengan rasa takut dan sesak yang tak tertahankan. Kegelapan malam seakan menjadi saksi bisu atas pergulatan batin Milea, antara keraguan, ketakutan, dan sebuah harapan yang samar-samar mulai padam. Bau keringat Gio yang bercampur dengan aroma tubuh Milea menciptakan aroma yang aneh, tak sedap, dan semakin memperkuat rasa tidak nyaman yang menghimpitnya. Ia ingin menangis, ingin berteriak, namun hanya mampu diam, terkurung dalam dekapan yang terasa begitu mencekam. Di luar kota sana tertidur lelap, jauh dari kegelisahan yang tengah menghimpit Milea di dalam dekapan Gio.
*
*
*
Mentari pagi belum sepenuhnya menyapa, namun Milea sudah terbangun. Ia bergegas ke kamar mandi, air dingin membasahi tubuhnya, berusaha membasuh sisa-sisa mimpi buruk—atau lebih tepatnya, kenangan—tentang dekapan Gio semalam. Kenangan yang ingin ia hapus dari ingatannya, seolah-olah itu hanyalah sebuah mimpi buruk yang mengerikan. Air mengalir deras, membawanya pada keheningan yang ia butuhkan, menenangkan detak jantungnya yang masih bergema dengan sisa-sisa ketakutan.
Setelah mandi, ia mendapati Gio sudah terbangun. Matahari pagi menerobos celah jendela, menyorot luka-luka Gio yang masih tampak jelas. Dengan gerakan tangan yang terampil dan lembut, Milea mengganti perbannya, sentuhannya hati-hati, menghindari bagian luka yang masih terasa nyeri.
Usai mengganti perban, Milea mengambil handuk kecil, membasahinya dengan air hangat. Dengan penuh kesabaran, ia mengelap leher, lengan, dan perut Gio yang masih belum memungkinkan untuk mandi. Gerakannya begitu telaten, penuh kasih sayang, namun di balik itu semua, tersimpan sebuah kesedihan yang terpendam. Kesedihan yang hanya ia sendiri yang mengerti, sebuah perpaduan antara rasa simpati dan sebuah beban yang berat dipikulnya.
Bau kapuk yang samar-samar dari handuk basah bercampur dengan aroma tubuh Gio, menciptakan sebuah aroma yang rumit, sebuah gambaran dari kompleksitas hubungan mereka yang penuh dengan teka-teki dan luka.
Kali ini, tatapan Gio berbeda. Tidak lagi tajam dan menusuk seperti biasanya, melainkan lembut, ramah, bahkan… penuh kelembutan yang tak pernah Milea lihat sebelumnya. Tatapan itu seakan mencairkan es yang selama ini membeku di antara mereka, menciptakan sebuah kehangatan yang tak terduga, namun sekaligus membuat Milea semakin waspada. Ada sesuatu yang janggal, sesuatu yang membuatnya tak nyaman, meskipun tatapan itu terasa begitu menenangkan.
Dengan gerakan cepat, hampir terburu-buru, Milea membereskan peralatan perban, menghindari tatapan Gio. Tangannya gemetar sedikit, seolah-olah ia sedang menyembunyikan sesuatu, atau mungkin, sedang melarikan diri dari sesuatu. Setiap gerakannya terkesan canggung, tergesa-gesa, seperti burung yang berusaha lepas dari jerat. Ia ingin menghindar, ingin melupakan tatapan Gio yang baru saja membuatnya merasa sedikit… aman. Namun, di sisi lain, rasa aman itu terasa begitu asing, begitu berbeda, hingga membuatnya ragu dan takut.
Semangat terus kak 💪
di tunggu back nya 🥰