NovelToon NovelToon
Naugthy My Prince

Naugthy My Prince

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintamanis / Bad Boy / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:3.3k
Nilai: 5
Nama Author: Penulismalam4

Prince play boy tingkat dewa yang sudah terkenal dengan ketampan nya, cukup dengan lirikan nya mampu membuat para kaum hawa menjerit histeris meminta Prince untuk menikahi mereka.

Suatu hari Prince mendapatkan tantangan untuk memacari siswi terjelek disekolah nya selama seminggu, namun jika ia menolak hukuman yang harus ia terima yaitu memutuskan semua pacar nya yang sudah tidak terhitung jumlah nya.
Prince mau tak mau menerima tantangan teman nya yaitu memacari adik kelas nya yang di cap siswi terjelek disekolah.

Berniat untuk mempermainkan adik kelas nya, Prince justru terjebak oleh permainan nya sendiri.

bagaimana kelanjutan nya, langsung cek sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penulismalam4, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sakit yang menusuk

Margaret terjaga di tengah malam.

Ruangan gelap, hanya lampu malam di pojok ruangan menyala samar, menciptakan bayangan panjang di dinding. Napasnya pendek. Dingin. Tapi keringat membasahi seluruh tubuhnya. Tangannya gemetar. Selimut terasa terlalu berat di atas tubuhnya yang semakin menipis.

Sakitnya bukan cuma di satu titik. Tapi di seluruh tubuh.

Seperti ada yang mencabik dari dalam. Otot-ototnya menegang tanpa alasan. Sendi-sendinya berdenyut. Tulangnya seperti terbakar, lalu membeku. Terasa gatal dan nyeri pada saat yang bersamaan. Rambut di bantalnya… semakin banyak.

Margaret menggertakkan gigi, mencoba menahan suara. Ia tidak ingin Prince, yang tertidur di sofa kecil, terbangun karena isakannya.

Tapi air mata itu tetap jatuh, mengalir tanpa suara.

Tangannya menyentuh perut—sebuah bengkak kecil mulai terasa di bawah rusuk. Rasa nyeri datang dalam gelombang, menghantam setiap dua-tiga menit seperti ombak pasang. Perihnya bukan seperti luka biasa. Tapi seperti tubuhnya… sedang menghukum dirinya sendiri.

“Kenapa rasanya makin hari makin gak manusiawi…”

“Tubuh gue kayak... jadi penjara.”

“Dan gue gak punya kunci keluar.”

Beberapa Jam Kemudian

Pagi datang tanpa suara.

Suster masuk untuk mengganti cairan infus. Saat membuka selimut Margaret, ia terdiam sejenak—matanya menatap lebam ungu kehijauan di lengan Margaret, muncul begitu saja. Pembuluh-pembuluh kecil pecah karena terlalu sering disuntik.

Margaret menoleh, pelan.

“Kulit gue kerasa kayak kertas,” bisiknya. “Sekali disentuh aja... bisa robek.”

Suster itu terdiam. Tak bisa menjawab. Ia hanya tersenyum tipis, menahan tangis, lalu memegang tangan Margaret pelan-pelan. “Kita tambah painkiller-nya, ya, Sayang...”

Sore Hari

Margaret tidak bisa duduk lama hari itu.

Tulang punggungnya terlalu nyeri. Lehernya kaku. Bahkan untuk menggenggam tangan Prince saja, jemarinya mulai kehilangan kekuatan.

“Lo capek, Yang?” tanya Prince pelan, mengelus rambutnya—yang kini makin tipis, jarang, dan mulai tak bisa menutupi kulit kepala.

Margaret hanya tersenyum. Bibirnya pecah-pecah, dan sudut bibirnya berdarah sedikit. Tapi dia tetap memaksa senyum. Dia tak mau terlihat lemah.

Tapi Prince tahu.

Karin tahu.

Bahkan tubuh Margaret sendiri tahu.

Waktunya semakin sedikit. Dan rasa sakitnya semakin tak mengenal ampun.

___________________

Hari itu terlalu terang.

Matahari menyusup paksa dari jendela kamar rawat, menusuk mata Margaret yang nyaris tak bisa memejamkan mata semalaman karena nyeri.

Karin datang membawa makanan favoritnya—nasi lembek dan ayam rebus. Prince menyusul sambil membawa bunga segar, tersenyum seperti biasa. Suster pun masuk, hendak mengganti infus, lalu mengecek tekanan darah dan catatan medis lain.

Margaret terdiam. Matanya menatap langit-langit. Wajahnya kosong.

Suasana terlalu ramai. Terlalu riuh untuk jiwa yang sedang rapuh.

Semua orang berbicara. Menasihati. Mencoba menyemangati.

“Lo harus makan ya, biar kuat.”

“Nanti sore gue bawain buku yang lo suka.”

“Dokter bilang kamu kuat, Mar.”

“Tinggal semangat yang penting, semangat… semangat…”

Lalu tiba-tiba—

CLANGG!!

Margaret menyapu nampan makanan ke lantai.

Piring pecah. Sendok terpental. Bunga dari tangan Prince ikut terjatuh. Semua orang menoleh.

Margaret bangkit sedikit, dengan tangan gemetar, wajahnya merah karena marah… dan sakit.

“CUKUP!!” teriaknya.

Semua terdiam. Sunyi. Suster menahan napas, Karin membeku, Prince melangkah mundur setengah langkah.

Margaret menatap mereka satu-satu. Nafasnya terengah.

“Lo pikir ini cuma soal semangat?! HAH?! Lo pikir gue gak pengen sembuh?!”

Air matanya tumpah.

“GUE UDAH CAPEK! Tiap hari bangun dengan rasa sakit, tiap malam nahan jerit biar kalian gak bangun. Gue tidur di kasur ini berminggu-minggu, liatin rambut gue rontok, kulit gue pecah-pecah, dan badan gue… makin bukan gue!”

Suara Margaret pecah.

“Lo bilang sabar... sabar... sabar... Tapi gak ada dari kalian yang ngerasain gimana rasanya hidup di tubuh yang pelan-pelan bunuh lo dari dalam!!”

Karin meneteskan air mata. Prince menunduk, tangannya mengepal.

Margaret menutup wajahnya. Badannya bergetar hebat.

“Aku gak mau kuat hari ini… please…”

Sunyi.

Tak ada yang berani menyentuhnya. Bahkan suster pun hanya berdiri di dekat pintu, tak tahu harus berbuat apa.

Akhirnya, Prince maju perlahan. Ia duduk di lantai, sejajar dengan ranjang Margaret, dan hanya meletakkan satu tangan ke atas seprai.

“Lo boleh marah, Yang…” bisiknya. “Gue juga marah. Tapi kalau lo gak mau kuat… gak apa-apa. Hari ini, gue yang kuat buat lo.”

Margaret masih menangis. Tubuhnya lelah. Hancur. Tapi sedikit demi sedikit, tangan gemetarnya turun ke tangan Prince.

Lalu ia berbisik, lirih, nyaris tak terdengar—

“Gue beneran gak tahan lagi…”

Dan untuk pertama kalinya, Prince tidak menjawab dengan kalimat penyemangat.

Ia hanya memeluknya perlahan, membiarkan air mata Margaret membasahi bahunya, dan bersumpah dalam hati:

“Kalau dia gak bisa lawan rasa sakit ini sendirian… maka gue bakal ikut sakit juga. Sampai dia gak ngerasa sendirian lagi.”

Ruangan itu dingin dan nyaris tak berwarna.

_____________________

Ruangan itu dingin dan nyaris tak berwarna.

Lampu neon putih di langit-langit berkedip pelan, memantulkan bayangan pucat di dinding. Arkan duduk di kursi putar di tengah apartemennya, dikelilingi layar-layar besar yang menampilkan berbagai sudut kota—tapi semuanya mengarah pada satu hal.

Margaret.

Arkan duduk diam, punggung tegak, tangan saling menggenggam di pangkuannya. Layar utama di depannya menampilkan tayangan langsung dari CCTV tersembunyi di dalam kamar rawat inap rumah sakit.

Kamera itu menyorot Margaret—lemah, kurus, dan kini… meledak.

Arkan menyaksikan segalanya: saat Margaret menyapu nampan makanan, saat ia berteriak, saat air matanya jatuh tak tertahan.

Dan Arkan…

tersenyum.

Tapi bukan senyum bahagia.

Melainkan senyum yang nyaris menyakitkan—senyum seseorang yang merasa terluka karena orang lain terluka, tapi tidak tahu bagaimana caranya menyelamatkan.

Ia bersandar pelan ke sandaran kursi, matanya tak pernah lepas dari layar.

“Mar…” bisiknya pelan. “Kamu akhirnya nunjukin sisi yang selama ini kamu pendam.”

Ia memperbesar tampilan layar, melihat wajah Margaret dengan mata yang mulai sembab, rambutnya semakin tipis, tubuhnya gemetar.

Jari Arkan mengetuk-ngetuk meja di depan layar.

“Kamu makin rapuh… dan mereka gak akan pernah ngerti kamu seutuhnya.”

Di layar sebelah, ia membagi tampilan menjadi dua: sisi lain menampilkan Prince—memeluk Margaret dengan wajah penuh duka, tangan bergetar, rahangnya mengeras.

Arkan menoleh.

Wajahnya datar.

“Dia gak bisa melindungi kamu.”

Tangannya meraih remote kecil, mengganti layar ke sudut lain: lorong rumah sakit, pintu ICU, dan bahkan taman belakang rumah sakit tempat Margaret pernah duduk diam sendiri dalam hujan.

Semua tersusun. Terpantau.

Semuanya tentang Margaret.

Di dinding ruangan itu—terpajang foto-foto Margaret dalam berbagai pose: tersenyum di taman, duduk di kantin, berjalan pulang sekolah, memeluk boneka kecil saat tidur di ruang rawat.

Satu foto ditempel tepat di depan meja kerjanya.

Margaret—tertawa, dalam potongan cuplikan video diam-diam saat ia tertidur di perpustakaan.

Arkan berdiri pelan, mendekati dinding itu, menyentuh foto tersebut dengan jari telunjuknya.

“Kalau mereka gak bisa jaga kamu…”

“Maka biar aku yang ambil semua sakit kamu.”

Di belakangnya, layar kembali menampilkan Margaret yang kini terbaring diam setelah menangis, dan Prince yang duduk memeluk lutut di sudut ranjang, kalah oleh kenyataan.

Arkan berdiri di tengah ruangan. Cahaya layar menyinari separuh wajahnya, menciptakan bayangan di sisi lain—samar, seperti dua sisi dirinya yang tak pernah benar-benar menyatu.

Obsesinya bukan sekadar karena cinta.

Tapi karena Margaret adalah satu-satunya hal yang membuatnya merasa hidup.

Dan malam itu, dalam sunyi, satu suara terdengar lirih dari bibir Arkan—

“Aku janji gak akan tinggal diam lagi.”

1
Faulinsa
apakah Arkan malaikat pencabut nyawa? duh..
penulismalam4: Duh,bahaya ni
total 1 replies
Faulinsa
Arkan tu kayak cenayang gitu kah Thor? kok tahu masa depan??
Shintaa Purnomo
lumayan bagus, tetap semangat karna menulis dan merangkai sebuah cerita itu sulit
penulismalam4: iya, makasih ya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!