Sebuah kecelakaan beruntun merenggut nyawa Erna dan membuat Dimas terbaring lemah di ruang ICU. Di detik-detik terakhir hidupnya, Dimas hanya sempat berpesan: "Tolong jaga putri saya..." Reza Naradipta, yang dihantui rasa bersalah karena terlibat dalam tragedi itu, bertekad menebus dosanya dengan cara yang tak terduga-menjodohkan Tessa, putri semata wayang Dimas, dengan putra sulungnya, Rajata. Namun Rajata menolak. Hatinya sudah dimiliki Liora, perempuan yang ia cintai sepenuh jiwa. Tapi ketika penyakit jantung Reza kambuh akibat penolakannya, Rajata tak punya pilihan selain menyerah pada perjodohan itu. Tessa pun terperangkap dalam pernikahan yang tak pernah ia inginkan. Ia hanya ingin hidup tenang, tanpa harus menjadi beban orang lain. Namun takdir justru menjerat mereka dalam ikatan yang penuh luka. Bisakah Tesha bertahan di antara dinginnya penolakan? Dan mungkinkah kebencian perlahan berubah menjadi cinta?
Pertemuan tak terduga
Selama perjalanan ke Bandung, Tessa dan Rajata saling diam. Hanya suara musik pelan dari dashboard yang sesekali pecah, bercampur dengan dengung mesin mobil.
Rajata sengaja membawa mobil sendiri—setelah acara Eyang, ia harus segera kembali ke Jakarta. Selasa depan, ia dijadwalkan ikut turnamen basket yang tak bisa ditinggalkan.
"Mampir minimart dulu nggak?" Suara Rajata akhirnya memecah keheningan,
Tessa tak menjawab. Ia menatap lurus kedepan. Sekilas pun ia tak menoleh pada Rajata.
Rajata berdecak, ia meminggirkan mobil ke tepi jalan. Untungnya mereka belum benar-benar masuk tol.
"Lo kenapa sih? Dari tadi diem aja?!" Nada suaranya meninggi, kali ini ia menoleh penuh ke arah Tessa. Rahangnya mengeras, wajahnya tegang.
Tessa tetap diam. Bibirnya terkatup rapat. Ia menunduk, menolak bertemu pandang.
"Kalau ini soal Liora... gue minta maaf. Gue emang masih sayang sama dia!" suaranya pecah, antara marah dan frustasi. "Tapi bukan berarti gue mau balik lagi sama dia!"
"Kasih gue waktu... buat ngelupain dia." ucapnya, suara yang semula keras kini merendah, nyaris seperti permohonan.
Tessa akhirnya menoleh, meski perlahan. Jujur saja, ia sendiri bingung dengan perasaannya. Ia tak tahu harus marah atau sedih—yang jelas, ia hanya ingin dihargai. Kalau Rajata bisa melarangnya dekat dengan laki-laki lain, bukankah Tessa juga punya hak yang sama? pikirnya.
"Gue janji... gue nggak akan deket lagi sama Liora!" ucap Rajata, nadanya keras tapi diiringi sorot mata yang tampak tulus.
Ya, Rajata memang sudah memutuskan untuk tidak kembali pada Liora. Selain karena perbedaan keyakinan yang membuat hubungan mereka berat... kini ada alasan yang jauh lebih kuat: dia sudah menikah.
Janji? Seberapa banyak janji yang akhirnya cuma jadi abu-abu?
Apa gue cukup kuat untuk nunggu dia benar-benar melupakan masa lalunya?
"Oke. Tapi kalau lo ingkar janji..." Tessa menatap Rajata tajam "Gue minta lo ceraikan gue saat itu juga!"
Tessa terdiam cukup lama setelah ucapannya. Rajata pun memilih tak menanggapi lagi, menatap jalanan yang mulai basah diguyur gerimis. Keheningan kembali menyelimuti mobil, tapi kali ini berbeda.
Perjalanan terus berlanjut. Mobil mereka mulai memasuki kawasan Lembang. Jalan menanjak perlahan, melewati kebun teh dan hutan pinus yang membentuk siluet gelap di balik kabut tipis. Udara makin sejuk, jendela kaca terasa dingin saat disentuh. Di kejauhan, lampu-lampu rumah mulai menyala samar, seolah menyambut malam yang datang lebih cepat di pegunungan.
Tidak lama kemudian, mobil Rajata jadi yang terakhir masuk ke halaman rumah joglo itu. Rumah khas Sunda dengan atap tinggi dan ukiran kayu tampak anggun diterpa cahaya lampu temaram. Malam sunyi, hanya suara jangkrik dan angin yang menggesek dedaunan bambu di tepi halaman. Aroma tanah basah bercampur wangi teh panas samar-samar menyapa hidung.
Tessa mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Rumah joglo tua dengan ukiran kayu itu berdiri anggun, terasa asing tapi hangat sekaligus membuatnya gugup.
"Ini... rumah Eyang lo?" tanyanya pelan.
"Hmmm," Rajata hanya mengangguk singkat.
Dari dalam rumah terdengar suara ramai orang berbincang. Tessa menelan ludah, dadanya tiba-tiba terasa sesak. Tiba-tiba bernapas pun jadi sulit. Bagaimanapun juga, ia dan Rajata menikah tanpa melalui proses yang semestinya.
Ada rasa takut dalam dirinya—bagaimana kalau Eyang dan saudara-saudara Rajata tidak bisa menerimanya, sama seperti Renada, ibu mertuanya, dan Carissa, adik iparnya?
Tanpa sadar, saat gelisah begitu, Tessa mulai menggaruk punggung ibu jarinya—kebiasaan lama yang selalu muncul saat ia cemas. Rajata melirik sekilas, menyadari itu.
Tanpa berkata apa pun, Rajata meraih tangan Tessa yang gelisah. Ibu jarinya mengusap lembut punggung tangan gadis itu, menghentikan gerakan menggaruk yang sedari tadi dilakukan.
"Ja... gimana kalau mereka nggak suka sama gue?" bisik Tessa, matanya sudah berkaca-kaca.
"Tenang." Rajata menatapnya dalam-dalam. "Selama ada gue, lo aman."
Mereka saling menatap sejenak, ada ketegangan sekaligus kehangatan yang sulit dijelaskan.
"Ayok masuk," ucap Rajata akhirnya.
Ia turun lebih dulu, membuka bagasi belakang dan mengambil satu koper kecil berisi baju mereka. Tidak banyak—hanya dua pasang aja, karena besok malam setelah acara, mereka sudah harus kembali ke Jakarta.
Sesuai prediksi Tessa, begitu pintu terbuka, semua mata langsung tertuju padanya.
Banyak wajah asing menatapnya dengan sinis. Kecuali Reza—papa mertuanya. Juga Om Teguh dan Tante Sindy, yang tempo hari menjadi saksi pernikahannya.
Langkah Tessa terhenti, Rajata menoleh ke arahnya, lalu mengeratkan genggaman tangannya, seolah berkata: Lo aman sama gue!
Lalu, dari kejauhan Tante Sindy mendekatinya dengan senyum tipis.
"Selamat datang, Tessa. Lama ya nggak ketemu. Ayok, Tante antar ke Eyang," ucapnya ramah.
Tessa terpaksa melepaskan genggaman tangan Rajata. Entah bagaimana, ia sempat merasa tenang saat tangan itu menggenggamnya erat.
"Ibu... ini Tessa, istri Rajata," ucap Rajata tenang.
Tessa menunduk sopan, lalu meraih tangan seorang wanita paruh baya yang berdiri tegak di hadapannya. Usianya mungkin sekitar tujuh puluh tahun. Garis-garis halus tampak menghiasi wajahnya, dan rambutnya sudah dipenuhi uban di sana-sini. Namun, pesona 'Lastri Sukma Anggun' itu tetap memancar kuat, memancarkan wibawa yang membuat siapa pun segan.
Eyang Lastri menatap nya tanpa berkedip. Dari ujung kepala hingga kaki, seolah sedang meneliti apakah ada kotoran yang menempel di tubuh Tessa. Mata itu begitu dalam, menusuk, membuat Tessa ingin sekali menyembunyikan dirinya.
Hening sesaat membuat jantung Tessa berdegup dua kali lebih cepat.
Hingga akhirnya... seulas senyum terbit di bibir wanita itu. Lembut, namun menyiratkan wibawa.
"Selamat datang di keluarga Naradipta,"
"Semoga kamu betah, ya, sama Rajata. Dia anak baik... hanya saja sedikit bandel." Senyumnya melebar, nada suaranya seperti mencoba mencairkan suasana.
"Tapi Eyang yakin, sama kamu, dia pasti jadi laki-laki yang penurut."
**
Hari sudah berganti pagi. Sejak subuh, Tessa sudah sibuk di dapur, membantu saudara-saudara yang lain menyiapkan acara untuk Eyang.
Setiap tahun, keluarga besar selalu memasak sendiri untuk Eyang—termasuk membuat kue-kue. Katanya, Eyang kurang cocok dengan kue-kue dari luar. Semua harus serba buatan rumah.
Tessa merasa sedikit hangat. Setidaknya, ada yang bisa ia lakukan untuk menunjukkan niat baiknya. Walau tatapan sinis masih ia dapatkan dari beberapa kerabat, namun kehadiran Tante Sindy menjadi penyelamat. Wanita setengah baya itu tak henti membimbingnya dengan sabar, bahkan sering kali tersenyum untuk mencairkan suasana.
"Tessa, habis ini ikut Tante ke pasar, ya? Ada beberapa bahan yang lupa dibeli," ajak Tante Sindy dengan suara lembut.
"Boleh, Tante," jawab Tessa cepat, berusaha menyembunyikan rasa lega.
Baginya, lebih baik menuruti Tante Sindy ke pasar daripada terus-menerus menjadi sasaran tatapan dingin yang membuatnya sesak napas.
Di dalam mobil, Tante Sindy sempat bercerita ringan tentang masa kecil Rajata, membuat Tessa sedikit tertawa, ia merasa lega setidaknya, ada orang yang membuatnya merasa diterima. "Kenapa bukan tante Sindy aja sih mertua gue" batinnya.
Pasar pagi itu ramai. Hiruk-pikuk penjual dan pembeli memenuhi lorong-lorong sempit yang dipenuhi aroma sayur-mayur segar, rempah-rempah, dan kue basah tradisional. Tante Sindy langsung bergerak lincah, seolah hafal setiap sudut pasar. Tessa mengikutinya dengan setia, membawa beberapa kantong belanjaan.
"Masih ada yang kurang Tante?" Tanya Tessa ragu.
"Tinggal beli tepung aja, disebelah sana!"
Jujur, tangannya sudah terasa pegal, tapi Tessa memilih diam. Ia berusaha fokus pada langkah Tante Sindy yang semakin cepat di depannya.
Hingga tiba-tiba...
"Tessa?"
✨ “Hayyy! Jangan lupa like & komen yaa\~ 😘
👀 Kalian pasti udah nebak kan… siapa yang manggil Tessa di pasar ?
Kira-kira… pertemuan ini bakal jadi awal drama baru nggak yaa?🫣🔥
jangan2...
kasihan, malang benar nasibmu Tessa