Mila, seorang gadis modern yang cerdas tapi tertutup, meninggal karena kecelakaan mobil. Namun, takdir membawanya ke zaman kuno di sebuah kerajaan bernama Cine. Ia terbangun dalam tubuh Selir Qianru, selir rendah yang tak dianggap di istana dan kerap ditindas Permaisuri serta para selir lain. Meski awalnya bingung dan takut, Mila perlahan berubah—ia memanfaatkan kecerdasannya, ilmu bela diri yang entah dari mana muncul, serta sikap blak-blakan dan unik khas wanita modern untuk mengubah nasibnya. Dari yang tak dianggap, ia menjadi sekutu penting Kaisar dalam membongkar korupsi, penghianatan, dan konspirasi dalam istana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Tiga hari setelah pesta kemenangan, langit Yichuan mendung. Hujan tipis turun membasahi atap-atap istana. Suasana terasa ganjil, seolah-olah langit pun tahu bahwa badai baru sedang mengintai, bukan di medan perang—melainkan dari balik tirai istana.
Qianru duduk di serambi kediamannya yang baru, sebuah paviliun tenang yang diberi nama Xianyu, artinya “tempat kedamaian para abadi”. Tapi kedamaian itu hanya tampak di luar. Di dalam, pikirannya kacau.
“Permaisuri tidak muncul selama upacara kemenangan. Keluarga Wang juga tiba-tiba mundur dari urusan istana,” kata Jenderal Yue saat datang menemuinya diam-diam. “Kami mencium ada gerakan bayangan dari fraksi selatan. Ada upaya pengumpulan pasukan.”
Qianru menatap langit. “Fraksi selatan tidak pernah berani bergerak tanpa sokongan istana. Artinya, sisa-sisa pengaruh Permaisuri masih kuat.”
Yue mengangguk. “Lebih dari kuat. Mereka mungkin sedang merencanakan kudeta. Dan sasarannya... mungkin bukan Kaisar. Tapi engkau.
Di dalam Istana Keluarga Wang, suasana mencekam. Permaisuri duduk di singgasananya sendiri, meski tak lagi memiliki kekuasaan seperti dulu. Di hadapannya berlutut para pemimpin klan-klan selatan, termasuk panglima-panglima muda yang tidak pernah merasakan pahitnya perang, hanya manisnya kekuasaan.
“Apakah kalian akan duduk diam melihat wanita asing itu—yang bahkan bukan keturunan bangsawan—menduduki posisi yang lebih tinggi dari darah biru kita?” tanya Permaisuri dingin.
“Dia hanya selir, bukan?” gumam salah satu pemimpin muda.
“Tapi Kaisar berniat menjadikannya pelindung tahta secara resmi,” jawab Permaisuri.
“Hari ini ia menyelamatkan negeri, esok mungkin ia akan menentukan pewaris tahta.”
Semua yang hadir saling pandang.
“Jika kalian menunggu lebih lama lagi, maka seluruh sejarah negeri ini akan ditulis oleh tangan rakyat—bukan oleh darah kerajaan.”
Dan malam itu, satu demi satu menandatangani surat sumpah: mengembalikan kemurnian darah bangsawan di pusat kekuasaan.
Sementara itu, Qianru mulai mengaktifkan jaringan mata-matanya yang tersebar sejak dulu—orang-orang jalanan, dayang istana, pedagang di pasar, hingga pendeta kuil tua.
Cang, pelayan kecil yang dulu pernah diselamatkannya dari hukuman mati, kini menjadi penghubung jaringan bawah tanah.
“Mereka sedang merekrut pasukan bayangan, Nona Qianru. Tapi mereka juga mencari artefak kuno... sebuah lambang kekuasaan lama.”
“Lambang kekuasaan?” Qianru menajamkan mata. “Apa mereka mencoba menciptakan pengganti Kaisar?”
Cang mengangguk. “Ada rumor tentang anak laki-laki dari Wang Lei, paman Permaisuri, yang selama ini disembunyikan di biara selatan. Mereka ingin mengangkatnya sebagai Kaisar baru.”
Qianru menghela napas panjang. “Kalau begitu, kita harus mendahului mereka.”
Qianru dan Jenderal Mo menyusun rencana, menyusup ke biara tempat anak Wang Lei disembunyikan. Tapi tidak dengan pasukan. Qianru memutuskan turun sendiri, dengan penyamaran sebagai pendeta wanita.
“Satu-satunya cara menyelamatkan negeri ini tanpa pertumpahan darah adalah mengambil anak itu sebelum mereka melatihnya menjadi simbol pemberontakan,” kata Qianru sambil mengganti pakaiannya dengan jubah abu-abu para biksuni.
“Ini gila,” gumam Mo. “Kau bisa terbunuh.”
Qianru tersenyum lebar. “Aku sudah terbunuh satu kali di dunia lama. Dunia ini hanya bonus. Kalau tak kugunakan untuk melindungi yang benar, buat apa aku dikirim ke sini?”
Dan malam itu, dengan hanya satu pedang pendek dan keahlian bela diri yang nyaris sempurna, Qianru pergi ke selatan.
Biara Shengyuan terletak di atas tebing curam, jauh dari jangkauan dunia. Tapi Qianru berhasil masuk, menundukkan para penjaga diam-diam. Di ruang bawah tanah, ia menemukan anak lelaki berusia 12 tahun, dengan mata tajam dan wajah tenang.
“Aku Qianru. Aku datang bukan untuk membunuhmu, tapi menyelamatkanmu dari dijadikan boneka,” katanya lembut.
Anak itu hanya menatapnya. “Jika aku tinggal di sini, aku bebas. Tapi jika aku pergi bersamamu... apa aku bisa memilih jalanku sendiri?”
Qianru menatapnya lama, lalu berlutut.
“Kau bukan darahku. Tapi kalau kau mau... aku akan mengajarkanmu untuk menjadi lelaki yang menentukan nasibnya sendiri.”
Dan untuk pertama kalinya, anak itu tersenyum.
Qianru memutuskan untuk tidak membunuh pewaris darah Wang, tapi membesarkannya di luar istana, mengajarkannya menjadi manusia bebas. Di belakang layar, ia telah menggagalkan kudeta tanpa pertumpahan darah. Tapi ia tahu... badai belum usai.
Bersambung