Anya tidak menyangka bahwa hidupnya suatu saat akan menghadapi masa-masa sulit. Dikhianati oleh tunangannya di saat ia membutuhkan pertolongan. Karena keadaan yang mendesak ia menyetujui nikah kontrak dengan seorang pria asing.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Japraris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 29
Anya membalas pelukan Arga, kepalanya terbenam di dada bidang pria itu. Pikirannya melayang. Mungkin ia harus mempercayai Arga, menghadapi kenyataan pahit ini. Tak selamanya ia bisa mengubur kepahitan sendirian. Mungkin, inilah saatnya menghadapi semuanya bersama Arga.
"Kamu sudah tenang?" tanya Arga lembut, suaranya menenangkan.
Anya mengangguk dalam pelukan Arga.
"Ikut aku ke perusahaan," ajak Arga.
Anya kembali mengangguk. Arga melepas pelukannya, menghapus sisa air mata Anya sebelum membawanya masuk ke gedung perusahaan.
Langkah Anya terasa berat saat memasuki pintu utama. Bayangan ayahnya yang selalu menyambut hangat di tempat ini masih terasa.
"Ayah, untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki di perusahaan ini setelah kepergianmu. Ayah... kali ini terasa berbeda, tanpa senyum hangat ayah yang menyambutku... Ayah..." batin Anya pilu.
Arga yang menyadari perubahan Anya segera menggenggam tangannya, memberikan kekuatan dan ketenangan.
"Selamat pagi, Tuan, Nyonya," sapa para karyawan yang mereka lewati.
Arga hanya mengangguk singkat, sementara Anya menunduk. Sebagian karyawan adalah orang-orang setia ayahnya.
Di ambang pintu ruangan CEO, langkah Anya terhenti. Tubuhnya bergetar hebat, diliputi rasa takut. Di sana, wajah pamannya seakan menjelma, menusukkan pisau ke pahanya yang kecil, saat ia baru berusia lima belas tahun. Tawa mengerikan pamannya saat dirinya berteriak kesakitan masih bergema di telinganya. Anya menutup telinganya erat-erat.
"Anya, kamu baik-baik saja?" tanya Arga, khawatir terlihat di matanya.
"Aku mau pulang," jawab Anya, suara gemetar, ketakutan kembali menyerangnya.
Ia berbalik, namun Arga menahannya.
"Kita sudah sampai di sini. Masuklah bersamaku," bujuk Arga, suaranya penuh dukungan dan semangat.
Dengan keberanian yang terhimpun, Anya melangkah masuk, genggaman tangannya erat menggenggam tangan Arga.
"Anya, duduk," kata Arga mendudukkan Anya.
Anya duduk. Arga pun duduk bersimpuh di hadapannya.
"Apa yang kamu takutkan saat di pintu masuk dan di ruangan ini?" tanya Arga lembut, berusaha memahami ketakutan Anya.
"Kenapa kamu membawaku ke sini?" tanya Anya, masih syok.
"Karena aku ingin kamu menghadapi ini. Jangan berlari lagi," jawab Arga tegas, namun lembut.
"Kamu tidak mengerti, Arga," lirih Anya.
"Aku mengerti, Anya. Aku sangat mengerti," kata Arga, menunjukkan empati dan pemahaman yang tulus.
"Seandainya aku bertemu denganmu sejak awal, aku tidak akan membiarkanmu terpuruk. Aku akan melindungi mu dari kejahatan pamanmu, menyelamatkan keluargamu dan perusahaan ini," ucap Arga, suaranya bergetar penuh emosi.
Anya menatap Arga dengan mata berkaca-kaca.
"Kamu… kamu tahu dia?" tanya Anya, tak percaya.
Arga mengangguk. "Awalnya aku tidak tahu. Tapi reaksimu yang menolak tawaranku mengenai perusahaan ini membuatku berpikir keras. Aku menyelidiki semua yang terkait dengan perusahaan ini."
Arga mengangkat rok Anya. Anya menahan tangannya.
"Arga, apa yang kamu lakukan? Ini kantor!"
Tanpa menjawab, dengan lembut Arga melepaskan tangan Anya, lalu kembali mengangkat roknya hingga memperlihatkan bekas luka tusukan di pahanya. Tangannya lembut membelai bekas tusukan itu.
"Jangan lihat," rengek Anya, mencoba memperbaiki roknya, namun Arga menghalangi.
"Kamu pasti sangat kesakitan waktu itu," kata Arga, suaranya dipenuhi penyesalan.
Air mata Anya mengalir. Ia mengangguk. Sangat… sangat sakit. Darah segar membasahi pahanya saat itu. Rasa sakit dan mual melihat darah masih membekas di ingatannya.
"Aku terlambat mengetahuinya," sesal Arga.
"Bahkan saat aku bercumbu denganmu, aku tidak memperhatikannya. Padahal aku selalu membelai pahamu saat kita memulai," batin Arga menyesal.
"Maafkan aku, ini salahku," lanjut Arga, merasa bersalah.
Anya menggeleng. Semua yang terjadi padanya tidak ada hubungannya dengan Arga. Justru ia bersyukur bisa bertemu Arga, saat ia membutuhkan sandaran dan uluran tangan.
Arga mengeluarkan berkas dari dalam jasnya. "Bacalah ini. Ini hasil penyelidikan ku."
Anya menerimanya dengan tangan gemetar. Membaca lembaran, dari lembaran itu ia mengetahui bagaimana pamannya menghancurkan ibunya secara perlahan, bagaimana ia mengancam karyawan, memfitnah ayahnya, dan mengancam ayahnya dengan menggunakan dirinya.
Tak kuat membaca detail kejahatan pamannya, Anya membuang berkas itu. Ia berlari keluar ruangan, tangisnya pilu. Arga panik, berlari mengejarnya. Anya berlari menaiki tangga menuju lantai atas. Arga semakin cemas, takut Anya akan melakukan hal nekat.
"Anya, berhenti! Aku mohon!"
Namun Anya seakan tak mendengar. Ia terus berlari. Ia terduduk lemas di lantai balkon, menggenggam roknya erat-erat, menangis sejadi-jadinya. Ia tak menyangka pamannya begitu kejam.
Arga segera menghampiri Anya, lega Anya hanya memilih menangis. Ia memeluk Anya erat. Hatinya hancur melihat Anya meratap.
"Mengapa harus lari sejauh ini? Kamu bisa menangis di pelukanku, bersandar padaku, bagi lukamu padaku."
"Arga…" lirih Anya di tengah tangisnya.
"Dia sangat kejam… sangat kejam, Arga. Ibuku orang baik… Ibuku sangat baik padanya karena dia adik ayah… Tapi apa yang dia lakukan pada Ibuku? Dia biadab, Arga, sangat biadab!" isak Anya.
Arga menelan ludah, tak mampu berkata-kata. Ia hanya bisa menjadi pendengar bagi Anya.
"Ayahku juga sangat baik padanya. Tapi dia begitu licik, dia menjebak Ayahku. Dia bahkan berani mengatakan bahwa Ibuku berkhianat pada Ayahku, padahal itu semua siasatnya… itu semua dilakukannya dengan sengaja. Dia bukan manusia, dia berhati batu!"
Arga memeluk Anya lebih erat. Hanya pelukan yang bisa ia berikan saat ini.
"Dia... pamanku... yang selalu ku hormati... yang selalu ku sayangi seperti ayah sendiri.... Dengan tangannya, dia menusukku... menyiksaku.... Pengkhianatannya... sangat menyakitkan..."
Arga tidak kuasa menahan air mata, hatinya remuk melihat penderitaan Anya.
Hening menyelimuti mereka di balkon. Hanya isak tangis Anya yang memecah sunyi pagi. Angin seakan berbisik simpati, menyapu lembut duka yang begitu dalam. Arga mengusap punggung Anya, memberikan ketenangan dan rasa aman di tengah kepiluan itu. Lama mereka larut dalam kesedihan, hingga tangis Anya mereda, meninggalkan jejak air mata di pipinya.
"Arga, aku... aku sudah tidak apa-apa," lirih Anya, suaranya masih bergetar.
Arga mengelus rambut Anya dengan lembut. "Aku tahu kamu kuat, Anya. Kita akan menghadapinya bersama. Kita akan membongkar semua kejahatan pamanmu. Aku akan membantumu."
Anya menatap Arga, matanya masih berkaca-kaca, namun seberkas harapan mulai menyinari wajahnya yang lesu. Selama ini, ia merasa sendirian, terbebani beban berat yang tak tertahankan. Namun, kehadiran Arga bagai oase di padang pasir, memberikan kekuatan dan semangat untuk bangkit dari keterpurukan.
"Tapi... bagaimana caranya?" tanya Anya ragu, suaranya masih lemah.
Arga tersenyum tenang, menenangkan. "Kita punya bukti. Bukti yang cukup kuat untuk menjatuhkannya. Kita akan menggunakan semua yang kita miliki, semua informasi yang telah kita kumpulkan." Ia mengecup lembut kening Anya. "Percayalah padaku, Anya."
Anya mengangguk, tekad mulai menguat dalam dirinya. Ia menghapus sisa air mata, tatapannya memancarkan tekad yang membara. "Baiklah. Aku akan melakukannya bersamamu."
"Kita turun, ya?" ajak Arga.
"Aku ingin pulang, Arga," pinta Anya lemas.
"Baiklah."
"Aku... aku tidak bisa berdiri," bisik Anya.
"Biar aku gendong," tawar Arga.
"Jangan, Arga. Cukup papah saja. Ini kantor, banyak orang," tolak Anya. Ia masih memikirkan citra Arga.
Arga mengabaikan kekhawatiran Anya. Dengan lembut, ia menggendong Anya turun.
"Arga, turunkan aku! Nanti wartawan memotret kita. Besok koran pasti ramai: 'Arga Danendra kedapatan menggendong seorang wanita dengan lembut dan memasukkannya ke mobil. Siapa wanita itu? Kekasih baru Arga Danendra?'" Anya cemas.
Arga terkekeh pelan. "Aku tidak peduli. Biarkan media berspekulasi."
"Tapi aku tidak mau," protes Anya.
"Terlambat, sayang. Mungkin saja saat kita berpelukan di bawah tadi, ada wartawan yang memotret kita," kata Arga sambil tersenyum.
"Hah! Aku lupa! Arga, aku tidak mau terekspos!" seru Anya panik.
"Hmm," Arga hanya bergumam, senyum mengembang di wajahnya. Ia tahu, tak peduli apa yang dikatakan orang.
Arga juga blm terbuka soal kejelasan skandal dia sama wanita2 yg digosipkan!!!
klu reno kn nikah sm wanita lain gk zina jg.
gitu kok anya tetap cinta arga.iihh...😒