Samantha tidak mampu mengingat apa yang terjadi, dia hanya ingat malam itu dia minum segelas anggur, dan dia mulai mengantuk...kantuk yang tidak biasa. Dan saat terbangun dia berada dalam satu ranjang dengan pria yang bahkan tidak ia kenal.
Malam yang kelam itu akhirnya menjadi sebuah petaka untuk Samantha, lelaki asing yang ingin memiliki seutuhnya atas diri Samantha, dan Samantha yang tidak ingin menyerah dengan pernikahannya.
Mampukah Samantha dan Leonard menjadi pasangan abadi? Ataukah hati wanita itu bergeser menyukai pria dari kesalahan kelamnya?
PERINGATAN KONTEN(CONTENT WARNING)
Kisah ini memuat luka, cinta yang kelam, dan batas antar cinta dan kepasrahan. Tidak disarankan untuk pembaca dibawah usia 18 tahun kebawah atau yang rentan terhadap konten tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiedha saldi sutrisno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26 : Permainan yang Belum Selesai
Wanita itu duduk di deretan kursi bar yang setengah kosong, membiarkan lampu temaram memantulkan cahaya kekuningan di kulit bahunya yang terbuka. Gaun hitam ketat membalut tubuhnya, terlalu tipis untuk malam yang mulai dingin. Make up tebal menutupi sisa-sisa letih yang sudah terlalu lama bertengger di wajahnya, garis eyeliner yang tajam, bibir merah menyala yang bergerak lambat saat ia menghembuskan asap rokok dari sela bibir mungilnya.
Asap itu membubung ke langit-langit seperti doa-doa yang tak pernah dijawab.
Rambutnya yang bergelombang dibiarkan tergerai liar, menutupi sebagian wajah yang tengah tenggelam dalam kenangan pahit. Matanya kosong menatap gelas koktail yang sudah tak lagi dingin. Dalam diam, kilatan-kilatan masa lalu menari di benaknya, tentang bagaimana ia pernah melangkah lebih dulu. Tentang bagaimana ia, Clara, harus melihat Samantha mengambil alih segalanya, kepercayaan, posisi, bahkan mimpi-mimpi yang semula ia yakini sebagai miliknya.
Kebencian itu, perlahan tapi pasti, mengerak seperti karat di dasar hatinya. Tidak lagi sekadar cemburu, tapi dendam. Dendam yang matang dalam diam, yang bertunas dalam bayang-bayang kekalahan.
Tangan kirinya menggenggam rokok yang mulai habis, sementara tangan kanannya perlahan menggambar garis-garis halus di atas tisu, seperti peta, seperti arah. Sebuah rencana kotor perlahan membentuk dirinya. Bukan rencana yang lahir dari logika, tapi dari luka. Luka yang menuntut balasan.
Clara meneguk sisa minumannya, membiarkan rasa pahit alkohol menggores tenggorokannya seperti cara pikirannya menggores rencana. Ia menoleh ke kanan, ke arah pria berkemeja rapi yang duduk beberapa kursi darinya, seorang pria muda dari divisi keuangan yang pernah sesekali ia ajak bicara di pantry. Wajahnya tidak terlalu mengesankan, tapi cukup mudah dipengaruhi. Ambisius. Mudah terkesan. Dan yang terpenting, lemah terhadap perhatian perempuan.
Clara menyipitkan mata, mengamati, lalu tersenyum tipis. Senyum itu bukan untuk menggoda, melainkan untuk menakar.
Dengan langkah mantap dan pinggul yang bergoyang lembut, ia berpindah kursi. Duduk tepat di samping pria itu. "Mark, bukan?" tanyanya, suara Clara lembut, penuh nada ramah yang sengaja dibuat akrab. "Kau sering makan siang sendiri, ya? Sayang sekali."
Mark tampak terkejut, tapi tersanjung. "Oh… Clara? Ya, aku memang lebih suka begitu. Kadang tak ada waktu untuk ngobrol."
Clara terkekeh pelan. "Sesekali kau harus mencoba, tahu? Kantor itu terlalu penuh kepura-puraan. Butuh teman yang tahu cara bicara jujur." Ia mengambil rokok dari kotaknya, lalu menyodorkannya. "Kau merokok?"
Mark menolak dengan sopan, tapi tak bisa menolak senyum wanita itu. Dan di saat itulah Clara mulai menyisipkan niat. Ia tidak butuh banyak, hanya informasi kecil terbaru tentang Samantha.
Dan malam itu, di antara denting gelas dan musik jazz yang melankolis, Clara bersumpah: permainan belum selesai. Jika Samantha ingin bermain api, maka ia akan menjadi bahan bakarnya. Karena dirinya bukan hanya sekadar rival. Ia menjadi ancaman yang membungkus niat busuknya dengan lipstik merah dan senyuman manis.
...****************...
Setelah ide liar itu menjalar ke seluruh pikirannya seperti racun yang menjalar ke dalam nadi, Clara menggeram pelan. Jemarinya yang dingin dan penuh kegelisahan merogoh ke dalam tas tangan mewahnya. Dikeluarkannya sebuah ponsel, benda kecil yang tampak biasa, tapi malam ini akan menjadi alat untuk membangunkan masa lalu yang telah lama ia kubur.
Ia membuka kontak yang sudah lama tak tersentuh. Nama itu masih tertulis di sana. Tak berubah. Masih sama seperti dulu, seperti ingatan akan darah dan kesepakatan kotor yang pernah mereka buat bersama.
Clara menarik napas panjang, lalu menekan tombol panggil.
Nada tunggu berdering. Sekali. Dua kali. Tiga…
"Aku tahu kau tidak sedang tidur," bisiknya lirih begitu sambungan terhubung. Suaranya tak lagi semanis saat berbicara dengan Mark. Kali ini, Clara berbicara dengan seseorang yang tahu siapa dirinya yang paling gelap. "Aku butuh bantuan. Sesuatu yang… seperti dulu."
Senyap sejenak di ujung sana. Lalu terdengar tawa pelan, rendah dan menggema, seolah datang dari dalam lorong gelap.
"Akhirnya kau mencariku lagi, Clara," kata suara itu. "Kita bertemu di tempat lama?"
Clara melirik sekeliling bar yang mulai sepi, lalu meneguk minumannya sekali lagi. "Tidak. Terlalu terang. Terlalu banyak mata. Aku kirim lokasinya. Tempat yang lebih sunyi. Tempat di mana semua permainan bisa dimulai tanpa aturan."
Tanpa menjelaskan lebih lanjut, ia menutup panggilan. Sebuah senyum muncul di wajahnya, senyum yang hanya muncul ketika ia tahu ada yang akan jatuh. Dan kali ini, targetnya bukan sekadar reputasi.
Ia berdiri, melangkah meninggalkan bar dengan langkah lambat namun pasti. Di luar, hujan telah reda, menyisakan tanah yang masih basah dan langit kelabu. Tapi di mata Clara, dunia mulai berubah warna. Malam itu tak lagi biasa. Malam itu adalah permulaan.
Dan seseorang akan membayar mahal karena pernah membuatnya merasa kalah.
...****************...
Tempat itu tersembunyi di balik gang sempit, di antara bangunan tua yang nyaris tak berpenghuni. Sebuah gudang lama yang telah lama menjadi saksi bisu pertemuan-pertemuan gelap dari orang-orang yang ingin melupakan hukum. Lampu gantung yang berayun pelan menyinari sebagian ruangan, meninggalkan bayangan panjang dan samar.
Clara melangkah masuk, langkahnya mantap namun mata waspada. Ia berhenti tepat ketika siluet pria itu muncul dari balik tiang besi.
"Masih suka tempat yang bau ini rupanya," gumamnya sambil menyalakan rokok, menyeringai melihat Clara berdiri di hadapannya.
Pria itu tinggi, kekar, dengan wajah penuh luka lama yang belum sepenuhnya pudar. Sorot matanya tajam, menyimpan sejarah kekerasan dan pengkhianatan. Namanya Axton. Dulu, Clara mengenalnya dalam dunia yang tidak tercatat dalam hukum, dunia jual beli rahasia, penghilangan jejak, dan intimidasi. Mereka pernah menjadi rekan, kadang kekasih dalam malam-malam tanpa nama. Tapi yang pasti, Clara pernah membayar harga tinggi untuk melepaskan diri dari bayangan pria ini.
"Aku punya pekerjaan untukmu," ujar Clara akhirnya.
Axton hanya menaikkan sebelah alis, menunggu.
"Namanya Samantha. Wanita ambisius yang mengambil semuanya dariku. Posisi, perhatian, bahkan bayangannya pun menghantui setiap langkahku." Clara mendekat, suaranya berubah lebih rendah, seperti bisikan dosa. "Aku ingin dia dipermalukan. Dicabik dari dalam. Diculik, dihilangkan martabatnya. Kubur dia dalam cerita keji yang membuat semua orang menjauh, termasuk Nathaniel Graves."
Axton terkekeh pendek. "Kau selalu tahu cara membakar dunia, Clara."
Clara mengeluarkan sebuah amplop cokelat dari tas tangannya dan meletakkannya di atas meja logam berkarat. "Di sini cukup banyak untuk memulai. Aku akan tambah setelahnya."
Axton membuka amplop itu, mengangkat alis saat menghitung cepat dengan matanya yang terlatih. Kemudian, senyum miring muncul di wajahnya.
"Ini tidak cukup."
Clara mengerutkan dahi. "Apa maksudmu? Itu setara tiga bulan pengamanan pribadi, aku tahu harga pasaranmu."
"Benar. Tapi kau lupa satu hal," Axton mencondongkan tubuhnya. "Aku tidak pernah bekerja hanya karena uang. Bukan untuk pekerjaan seperti ini. Bukan untuk… penghancuran seorang wanita yang bahkan belum pernah kusentuh."
Clara diam. Tengkuknya menegang.
"Apa yang kau inginkan?" tanyanya hati-hati.
Axton mendekat hingga napasnya terasa di wajah Clara.
"Aku ingin tubuhmu."
Darah Clara seakan berhenti mengalir. Matanya melebar. Mulutnya terbuka, tapi tak ada kata keluar.
"Anggap saja sebagai… pengingat masa lalu kita. Kau tahu aku tidak sabar menagih hutang lama. Dan kalau kau benar-benar ingin Samantha hancur, maka kau akan menepatinya."
Clara menelan ludah. Ada detik panjang yang hening, kecuali suara tetesan air dari atap bocor dan detak keras jantungnya sendiri. Tapi dendam di dadanya terlalu dalam. Terlalu menyala untuk dipadamkan oleh rasa jijik atau malu.
Ia akhirnya mengangguk. Satu kali. Penuh tekanan dan luka.
Axton menyeringai puas. "Kita mulai malam ini."