Menikah sekali seumur hidup hingga sesurga menjadi impian untuk setiap orang. Tapi karena berawal dari perjodohan, semua itu hanya sebatas impian bagi Maryam.
Di hari pertama pernikahannya, Maryam dan Ibrahim telah sepakat untuk menjalani pernikahan ini selama setahun. Bukan tanpa alasan Maryam mengajukan hal itu, dia sadar diri jika kehadirannya sebagai istri bagi seorang Ibrahim jauh dari kata dikehendaki.
Maryam dapat melihat ketidaknyamanan yang dialami Ibrahim menikah dengannya. Oleh karena itu, sebelum semuanya lebih jauh, Inayah mengajukan agar mereka bertahan untuk satu tahun ke depan dalam pernikahan itu.
Bagaimana kelanjutan pernikahan mereka selanjutnya?
Ikuti kisah Maryam dan Ibra di novel terbaru "Mantan Terindah".
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lailatus Sakinah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di Balik Gemerlap Butik
Pagi itu, butik Maryam ramai seperti biasa. Musik lembut mengalun, lampu sorot tertuju pada koleksi warna-warni yang baru diluncurkan. Ahsan dengan Liani, Malik dan Zayn dengan Sabrina— trio sahabat Ibra yang kini jadi rekan bisnis Maryam untuk sebuah kolaborasi kecil, hadir di sana. Mereka datang untuk melihat koleksi terbaru sekaligus memberi dukungan.
Sabrina menyapa dengan hangat begitu masuk.
“Maryam… ini beneran keren! Setiap busana yang kamu modelin di shoot terakhir, bikin semua yang lihat langsung kepingin punya!”
“Ya, dan lihat sendiri di IG—engagement-nya naik 40 % sejak kamu mulai jadi model sendiri. Kamu bukan cuma owner, tapi juga wajah brand yang powerful banget.” Liani menimpali, sambil menunjuk katalog yang menampilkan wajah cantik Maryam.
Atas dorongan dari sahabat-sahabatnya Maryam akhirnya bersedia menjadi model untuk produk baru yang diluncurkannya, yang awalnya dia menolak karena tidak cukup percaya diri untuk menjadi model. Tapi atas support dari sahabat-sahabat yang menjadi mitra di peluncuran produk terbarunya dia akhirnya bersedia.
“Kolaborasi ini tepat banget. Identitas brand-mu tersampaikan langsung melalui kamu—lebih personal, lebih ‘dekat’.” Malik pun turut berkomentar, dia menatap katalog sambil mengangguk anggukan kepalanya tanda puas dengan hasil kolaborasi mereka.
Maryam tersenyum malu-malu, tapi matanya bersinar bangga.
“Makasih ya kalian. Aku nggak nyangka, awalnya takut. Tapi ternyata kalau aku tunjukin diriku di busana yang aku buat sendiri, itu bikin orang lebih percaya.”
Semua sahabat Maryam menatap lembut dengan senyum yang seolah mengalirkan dukungan, vibes nya mengalir merasuki hatinya yang seketika menghangat.
Suasana butik pun menghangat. Koleksi couture-nya terpajang rapi, lengkap dengan detail batik tangan, bordir halus, dan potongan cutting yang mengikuti garis tubuh. Kamera dan lighting mini siap nemenin pemotretan. Model lain sudah siap, tapi semua mata tertuju pada sang owner–model.
Ahsan, Liani, Zayn, Sabrina dan Malik duduk santai dipojok butik. Kopi latte dan kue lapis buatan Maryam disajikan. Mereka ngobrol tentang potensi brand, strategi promosi, stock preparedness hingga ekspansi digital.
Tapi percakapan tersebut perlahan bergeser ke topik yang “tak terhindarkan”…
Sabrina menahan tawanya ringan.
“Eh, ngomong-ngomong… kemarin aku ketemu Ibra. Ternyata dia bilang ke aku bahwa setiap bulan dia tetep follow perkembangan brand kamu. Bukan cuma bisnis, tapi juga kamu. Hihi ..." Sabrina akhirnya tak bisa menahan tawanya.
"Masih sama ya dia? Ya Allah…” Liani terkejut.
“Dia bilang dia tetap sebut kamu ‘mantan terindah-nya’ ke orang-orang dekat. Bahkan ke orang tuanya.” Ahsan menimpali dengan nada lemah lembut.
Maryam mengerjap, tak menyangka.
“Dia… beneran bilang itu?”
Sabrina mengangguk.
“Iya. Sama Reza, asistennya dia yang kita kenal juga. Kata Ibra, walau dia nggak ganggu, tapi tetap ada. Dia juga bilang dia pernah main ke rumah orang tua kamu—kalau itu benar.”
Maryam menghela napas.
“Kenapa, kenapa dia masih begitu?”
Sejak pertemuan terakhir dengan mantan suaminya di event penghargaan para pengusaha waktu itu Maryam sudah tidak lagi terhubung dengan Ibra maupun Agam, dia juga tidak pernah lagi walau pun tanpa sengaja bertemu dengan Tasya. Tidak terasa terhitung sejak saat itu sudah hampir enam bulan Maryam terbebas dari semua hal tentang tiga orang itu, dia fokus dengan projek barunya kerja sama dengan sahabat-sahabat Ibra yang menawarkan ekspansi marketing brand nya ke ranah internasional.
“Mungkin dia memang masih belum bisa move on, Iam. Dan hatinya tulus. Tapi perasaan kita… lain. Dia nggak boleh ngerusak fase hidupmu sekarang.” Malik menimpali.
Mereka lalu mengajak Maryam melihat satu sudut butik yang lebih sepi—area lounge dengan kursi kayu antik, lampu temaram, dan tanaman hijau. Suasana mendukung untuk ngobrol serius. Pemotretan dihentikan sementara karena mood perlu dijaga.
Sejak brand Maryam semakin terkenal Maryam memperluas area butiknya, tentunya adas sokongan dari sahabat-sahabatnya. Suasana butik yang berada di mall bahkan dibuat suasana outdoor.
Sabrina duduk, memandang koleksi yang tertata di rak dekatnya.
“Bedanya antara yang punya darah baru dalam hidup seseorang dan yang lama… itu respect. Kalau Ibra tulus—dia pasti tetap istiqamah dengan sikapnya. Bukan cari momen.”
Maryam menatap secarik kain ungu tua.
"Dia punya caranya sendiri… Yang kadang bikin aku ragu—apakah aku jadi kekanakan kalau tiap denger kabar tentang dia, hati aku tiba-tiba… adem?” ucapnya lirih, matanya menerawang sedih.
Sabrina mencondongkan tubuhnya dengan senyum jailnya.
“Hak mu. Tapi ingat, kakak-kakakmu dan orang tua kalian jadi pendukung utamamu. Mereka sudah lihat kamu bahagia sekarang.” Sabrina mencoba menyelami lebih jauh hati Maryam.
“Mereka juga tahu kamu kuat. Kamu punya kesibukan besar, bisnis berhasil, kuliah sukses… Kenapa kamu harus diganggu bayangan masa lalu?” Liani menimpali, kedua sahabat itu kompak mengompori, untuk menguji kedalaman perasaan Maryam pada Ibra.
“Tapi masa lalu itu nyata. Bukan sekadar cerita.” Maryam berucap lirih, namun matanya tatapannya menerawang, bayangan kebersamaan dengan Ibra laki-laki halal yang telah membuatnya jatuh cinta untuk pertama kalinya kembali melintas.
“Iya. Tapi kamu juga punya masa depan. Dengan sosok yang memilih kamu sebagai titik awal, bukan destinasi lama.” Liani semakin memprovokasi, kedua sahabat itu saling beradu tatap memberi kode dengan senyum tersembunyi. Dalam hati keduanya berbisik, "berhasil".
Beberapa menit kemudian, sesi pemotretan dimulai kembali. Tapi Maryam terlihat kurang fokus. Di sela-sela, ia berbicara pelan dengan model asisten yang mengatur gaun.
Sesi pemotretan selesai. Semua orang bertepuk tangan meriah. Video dan foto-foto akan diproses, dan nantinya jadi kampanye besar. Namun di sudut hati Maryam masih bergejolak.
“Iam... kita adalah sahabat. Aku pernah lihat kamu happy dulu—walau masa lalu berat. Sekarang brand kamu sukses. Tapi hati itu… kamu pelihara, supercare.” Liani mengacungkan dua jempol ke arah Maryam.
“Kamu pantas lebih… Tuhan ngejodohin kita bukan akal aja. Kamu punya battle besar, dan kamu bangkit. Ini waktumu!” Sabrina kembali menimpali.
“So… keep shining. Biar siapapun di masa lalu atau masa depan, kebaikanmu lebih dulu, prioritaskan." Liani menepuk bahu Maryam.
Setelah sesi pemotretan selesai, butik mulai sepi, karena memang beberapa menit lagi waktunya tutup, hanya beberapa pengunjung yang masih memilih-milih.
Maryam berdiri di depan cermin sambil menyentuh salah satu kain. Mereka tinggal bertiga karena Ahsan, Zayn dan Malik pergi lebih dulu untuk pekerjaan lain.
“Aku ingat waktu dulu aku pernah bercerita sama kalian... bahwa aku takut jatuh cinta lagi karena luka perjodohan itu besar.”
“Dan kamu belajar… kalau cinta bukan bilang ‘aku menikahimu’, tapi ‘aku setia sama kisah ini. Orang yang baik akan datang ketika kamu sudah jadi baik.” sahut Liani.
“Terima kasih. Malam ini aku perlu dengar suara hati yang lain… dari perspektif kalian.” Maryam berkata sambil tersenyum.
“Kamu bukan boneka masa lalu. Kamu bikin masa depanmu sendiri." Sabrina menyahuti.
Keduanya merangkul Maryam dalam pelukan singkat—tiga sahabat satu mission, membuatnya benar-benar sadar bahwa masa lalu boleh jadi indah, tapi masa depannya harus lebih baik.
Sebelum menutup butik malam itu, Maryam berdiri sendiri di tengah ruangan. Lampu-lampu dimatikan, hanya sorot spotlight kecil menyisakan sekilau karya barunya.
“Masih ada Kang Ibra di sana, menatap dari jauh dan mengatakan aku mantan terindahnya. Itu indah juga menyakitkan. Aku pernah mencintai dia, tapi bukan berarti aku harus kembali kan?" tanyanya dengan keraguan.
"Cinta masa lalu, terima kasih telah mengajarkanku mencintai. Cinta masa depan, kuharap kau datang saat aku sepenuhnya siap.”
Ibra siap-siap patah hatii seperti nya....
semoga up nya gak lama-lama lagi yaa Thor 🤩🤩🤩🙏🙏🙏
percuma punya gelar $2, tapi kelakuan malah jadi seorang Pelakor 😡😡