Satu tahun penuh kebahagiaan adalah janji yang ditepati oleh pernikahan Anita dan Aidan. Rumah tangga mereka sehangat aroma tiramisu di toko kue milik Anita; manis, lembut, dan sempurna. Terlebih lagi, Anita berhasil merebut hati Kevin, putra tunggal Aidan, menjadikannya ibu sambung yang dicintai.
Namun, dunia mereka runtuh saat Kevin, 5 tahun, tewas seketika setelah menyeberang jalan.
Musibah itu merenggut segalanya.
Aidan, yang hancur karena kehilangan sisa peninggalan dari mendiang istri pertamanya, menunjuk Anita sebagai target kebencian. Suami yang dulu mencintai kini menjadi pelaku kekerasan. Pukulan fisik dan mental ia terima hampir setiap hari, tetapi luka yang paling dalam adalah ketika Anita harus berpura-pura baik-baik saja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blcak areng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari Pertama Dalam Rantai Utang
Keesokan harinya, setelah urusan tahlilan singkat diselesaikan, Anita dan Aidan segera kembali ke Jakarta. Anita bangun dengan tubuh yang terasa remuk. Nyeri di perutnya berdenyut lebih kuat setelah perjalanan panjang dan tekanan emosional. Ia memaksakan diri keluar dari tempat tidur.
Aidan sudah siap untuk pergi ke kantor, tetapi ia menunggu Anita di ruang makan. Di atas meja, sudah ada dokumen legal yang dicetak rapi. Anita keluar dan berjalan dengan tertatih akan tetapi tidak ada rasa iba yang diperlihatkan oleh Aidan.
"Tanda tangani ini," perintah Aidan dingin. "Surat kuasa penyerahan mobil. Aku akan mengambil mobil itu di sore hari. Mulai sekarang, mobil itu adalah milikku, dan kamu berutang padaku."
Anita hanya bisa pasrah dan langsung meraih pulpen dengan tangan gemetar. Ia tahu, mobil itu adalah harta terakhirnya. Ia adalah satu-satunya benteng yang tersisa dari Aidan. Namun, ia telah berjanji. Ia harus melunasi utang 60 juta rupiah sisa biaya operasi orang tuanya.
Operasi kedua orang tua Anita memang tidak jadi akan tetapi uang 100 juta dari Aidan tentunya sudah berkurang untuk membiayai biaya tahlilan serta pemakaman mobil ambulans serta biaya perawatan di rumah sakit yang tidak menggunakan BPJS sama sekali.
Uang dari Aidan memang masih tersisa akan tetapi uang itu mungkin akan digunakan Anita untuk sedikit membeli obat-obatan.
Ia menandatangani surat itu tanpa sepatah kata pun.
"Bagus," kata Aidan, mengambil dokumen itu. "Enam puluh juta akan kupotong dari omset tokomu setiap bulan. Jangan sampai utangmu macet, Anita. Kalau macet, kamu tahu konsekuensinya."
Aidan tidak lagi menyebut Senyum Tiramisu sebagai asetnya, tetapi sebagai alat pembayaran utang Anita. Setelah Aidan pergi, Anita hanya bisa terdiam. Ia telah kehilangan orang tuanya, dan kini ia kehilangan kebebasan finansial nya.
Setelah Aidan pergi, Anita tidak beristirahat. Ia merasakan pusing yang luar biasa dan demamnya sedikit naik. Ia tahu, secara medis, ia harus mematuhi Dr. Imelda dan kembali ke klinik. Namun, ia tidak punya waktu. Setiap jam adalah kesempatan untuk menghasilkan uang.
Ia meminum antibiotik dosis tingginya dan pereda nyeri terkuat yang diberikan Dr. Imelda. Luka di perutnya terasa panas, tetapi ia mengabaikannya. Tujuannya kini tunggal: toko kue.
Anita berganti pakaian longgar, menutupi rahangnya dengan masker, dan memesan taksi. Ia harus segera kembali ke bentengnya sebelum kondisinya memburuk lebih jauh.
Saat Anita tiba di toko Senyum Tiramisu pada tengah hari, kedatangannya segera memicu alarm di kantor. Maya, kepala toko, langsung menghampirinya dengan wajah penuh kekhawatiran.
"Bu Anita! Ya Tuhan, Ibu baru kembali dari kampung untuk pemakaman Ayah dan ibu Bu Anita! Kenapa Ibu ada di sini? Saya bisa mengurus semuanya!" tegur Maya, suaranya mengandung nada protes.
Ia meraih memo pad-nya dan menulis.
[Aku harus bekerja, Maya. Aku tidak bisa berhenti. Utangku sangat besar. Aku tidak akan membiarkan Aidan mengambil alih kendali toko ini karena aku sakit. Aku sudah kehilangan segalanya, Maya. Aku tidak boleh kehilangan ini.]
"Tapi, Bu, Ibu bisa sakit lagi. Ibu harus istirahat total," desak Maya.
[Di sini, aku sehat. Ini adalah perintah. Jangan sampai ada yang curiga, termasuk suamiku. Aku harus mengendalikan sepenuhnya. Jika dia menelepon, katakan aku sedang rapat atau sedang sibuk di dapur. Paham?]
Maya mengangguk, mengerti bahwa ini bukan hanya tentang bisnis, tetapi tentang kelangsungan hidup Anita. Anita langsung masuk ke dalam ruang kerjanya dan menjatuhkan dirinya di atas sofa hanya sekedar untuk memejamkan mata sebentar.
Anita menghabiskan sore itu dengan duduk kaku di mejanya, memaksa dirinya meninjau laporan. Tubuhnya terasa berat, tetapi pikirannya sangat tajam.
Ia menghitung. Utang 60 juta rupiah. Waktu setahun. Itu berarti nol waktu luang, nol uang untuk dirinya sendiri, dan nol waktu untuk sakit. Ia harus bekerja, bahkan saat infeksi menggerogotinya.
Ia melihat ke luar jendela. Di luar sana, Aidan kini telah mendapatkan mobilnya, dan akan segera mengambil omsetnya.
Sambil memegang kalung di lehernya, ia berbisik pada dirinya sendiri.
[Aku akan bekerja, sebisa mungkin. Jika aku mati di meja ini, setidaknya aku mati tanpa utang. Inilah tujuan terakhirku. Aku tidak akan meninggalkan beban utang kepada siapapun, bahkan pada orang yang membenciku.]
Ia tahu, perjalanannya ini adalah perlombaan antara kecepatan ia membayar utang dan kecepatan penyakit yang akan membunuhnya. Ia telah memilih untuk mati sebagai wanita yang bertanggung jawab, bebas dari rantai finansial Aidan.