Irene Larasati seorang polisi wanita yang ditugaskan menyamar sebagai karyawan di perusahaan ekspor impor guna mengumpulkan informasi dan bukti sindikat penyeludupan barang-barang mewah seperti emas, berlian dan barang lainnya yang bernilai miliaran. Namun, bukannya menangkap sindikat tersebut, ia malah jatuh cinta kepada pria bernama Alex William, mafia yang biasa menyeludupkan barang-barang mewah dari luar negri dan menyebabkan kerugian negara. Alex memiliki perusahaan ekspor impor bernama PT Mandiri Global Trade (MGT) yang ia gunakan sebagai kedok guna menutupi bisnis ilegalnya juga mengelabui petugas kepolisian.
Antara tugas dan perasaan, Irene terjerat cinta sang Mafia yang mematikan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reni t, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Irene memandang wajah Wilona lekat, menarik napas panjang lalu menghembuskannya secara perlahan. "Maafin Ibu, Nak. Ibu gak bermaksud buat menghasut kamu, Ibu cuma gak mau kamu dididik sama Ayah seperti dia. Kamu seolah merasakan apa yang Ibu rasakan," batinnya, matanya terpejam, mengusap punggung sang putri dengan lembut dan penuh kasih sayang.
Wilona kembali mengurai pelukan sang ibu, menyeka air mata yang membasahi kedua sisi wajahnya. "Pokoknya, Ibu harus janji sama aku kalau Ibu gak akan nikah sama Om Alex," pintanya dengan dada naik turun menahan isakan.
Irene hanya mengangguk seraya mengusap kedua sisi wajah sang putri.
"Pokoknya, aku gak mau ketemu lagi sama Om Alex."
Irene kembali menganggukkan kepala dengan senyum paksa. "Sekarang kita pulang, kamu pasti capek, 'kan?"
Kali ini Wilona yang menganggukkan kepala, matanya nampak memerah dan berair.
"Udah, jangan nangis lagi. Nanti cantiknya ilang lho," ucap Irene, masih dengan senyuman paksanya.
"Aku gak mau pulang sama Om Alex, kita naik motor Ibu aja, ya," rengek Wilona, menoleh ke belakang di mana Alex dan William tengah berjalan dengan ber-genggaman tangan.
"Iya, Sayang. Kita pulang naik motor Ibu," jawab Irene, berdiri tegak lalu meraih dan menggegam telapak tangan sang putri.
"Kita pulang sekarang, Bu," seru William, dengan wajah ceria, berdiri tepat di samping Wilona.
"Kita pulang naik motor Ibu aja, Will," pinta Wilona.
"Nggak, aku gak mau. Aku maunya pulang sama Ayah," jawab William, mengalihkan pandangan matanya kepada sang kakak.
"Nggak boleh, pokoknya kita pulang sama Ibu."
"Gak mau, Kakak. Naik motor panas. Mendingan naik mobil!"
Baik Alex maupun Irene memandang wajah si kembar secara bergantian dengan perasaan bingung. Mereka memiliki keinginan yang berbeda dan sepertinya, akan sulit mengikuti salah satu keinginan dari mereka. Wilona bersikukuh pulang bersama sang ibu, sementara William menginginkan hal sebaliknya.
Alex, memandang wajah Wilona dengan senyum. "Wilo, pulang sama Ayah aja, ya? Bener kata Willi, naik motor panas, enakan naik mobil lho," pintanya dengan lembut.
"Nggak mau! Pokoknya aku mau pulang sama Ibu aja," jawabnya dengan sinis lalu beralih memandang wajah William. "Kamu juga, Willi. Kamu harus pulang sama kami, titik!"
"Ikh, Kakak, aku 'kan udah bilang, aku maunya pulang sama Ayah!" tolak William dengan tegas.
"Gak boleh. Pokoknya kamu pulang sama kami."
Irene menarik napas dalam-dalam. "Udah cukup, jangan berantem di sini," ucapnya, memandang wajah si kembar secara bergantian.
"Ya udah gini aja, gimana kalau Willi pulang sama Ayah dan Wilo pulang sama Ibu. Nanti Ayah ngikuti kalian belakang," ucap Alex.
Si kembar terdiam seraya menatap wajah satu sama lain dengan tatapan sinis lalu membuang muka ke arah samping. Sementara Alex, menatap wajah Irene dengan tatapan sayu.
"Kamu duluan, ya. Nanti saya ikuti kamu dari belakang," ucapnya dengan lembut.
Irene hanya mengangguk dengan wajah datar. Menuntun telapak tangan Wilona, berjalan menuju motor matic miliknya yang diparkir di area parkir.
"Ya Tuhan, aku harus gimana? Baru kali ini si kembar nggak kompak. Semoga mereka gak berantem gara-gara masalah ini," batinnya dengan helaan napas panjang.
***
Di perjalanan, mobil yang dikendarai oleh Alex nampak mengikuti motor matic berwarna hitam yang ditumpangi oleh Wilona dan ibunya. Pelan tapi pasti, Alex mencoba mengimbangi laju motor yang berada di hadapannya, tidak ingin sampai tertinggal apalagi mendahului. Sementara William, begitu menikmati perjalanannya, duduk di jok depan wajah ceria.
Sosok sang ayah yang ia idam-idamkan, melebih ekspektasinya. Alex bukan hanya tampan, penuh karisma dan terlihat bahagia dengan pertemuan mereka, tapi juga memiliki apa yang tidak dimiliki oleh ayah-ayah di luaran sana yaitu, kekayaan yang melimpah.
"Ini mobil Ayah?" tanyanya dengan wajah ceria, menyentuh setiap bagian yang berada di dalam mobil.
"Tentu saja, mobil ini punya Ayah, Sayang. Kamu mau punya mobil kayak gini?" jawab Alex dengan senyum lebar, menoleh dan menatap wajah Willi sejenak lalu kembali memandang lurus ke depan.
William tersenyum lebar. "Mau, Yah. Mau banget," jawabnya dengan senang.
"Nanti kalau kamu udah cukup umur, Ayah bakalan beliin kamu mobil yang lebih bagus dari ini."
"Kenapa gak sekarang aja?"
"Sekarang kamu masih kecil, Sayang."
"Ya, beliin buat Ibu, Ayah. Biar Ibu gak kepanasan naik motor lagi."
Alex terdiam, memandang punggung Irene dan Wilona yang tengah mengendarai motornya di depan. Wilona nampak kepanasan, sinar matahari yang terik menyinari tubuh mungilnya. Ia bisa saja membelikan kendaraan beroda empat untuk Irene, tapi masalahnya, ia tidak yakin wanita itu akan menerima pemberiannya.
"Kalau Ayah cinta sama Ibu, perjuangin dong," celetuk William, anak berusia tujuh tahun lebih itu seolah paham dengan kondisi kedua orang tuanya.
Alex terkejut, kembali memandang wajah Willi dengan senyum lebar. "Astaga, putra Ayah yang ganteng ini pinter banget sih. Tau apa kamu tentang cinta, heuh?"
"Tau aja, eu ... pokoknya, aku mau Ayah sama Ibu menikah," jawab William seketika menundukkan kepala. "Aku pengen punya keluarga lengkap kayak temen-temen aku, Yah."
Alex kembali terdiam, menarik napas panjang lalu menghembuskannya secara perlahan. Ya, apa yang baru saja diucapkan oleh William benar adanya. Cinta butuh perjuangan dan perjuangannya di masa lalu terbilang kurang. Ia bahkan tidak mencari keberadaan Irene Larasati setelah wanita itu pergi.
"Kamu benar, Will. Cinta butuh perjuangan. Ayah janji akan memperjuangkan cinta Ibu kamu. Ayah janji akan memberikan keluarga lengkap buat kamu dan Wilona," batin Alex, bersungguh-sungguh akan memperjuangkan cintanya.
Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 30 menit, motor yang dikendarai oleh Irene akhirnya mulai melipir lalu memasuki gerbang perumahan sebelum akhirnya berhenti di depan rumah sederhana di mana halaman yang tidak terlalu luas berada didepannya. Alex sontak menepikan mobilnya lalu berhenti di tepi jalan.
"Ini rumah kamu?" tanya Alex, seraya membuka sabuk pengaman yang melingkar di tubuh William, lalu menatap keluar.
"Iya, Yah. Ini rumah kami," jawab William, dengan antusias segera membuka pintu mobil.
Alex tersenyum lebar, melakukan hal yang sama seperti William lalu keluar dari dalam mobil. Namun, senyuman yang terukir di kedua sisi bibir seorang Alex seketika sirna saat melihat Irene sedang berbincang dengan seorang pria yang sepertinya sudah menunggunya sedari tadi. Pria bertubuh tinggi dan berkulit putih itu nampak akrab dengan Irene bahkan Wilona yang selalu bersikap sinis kepadanya terlihat ceria bersama pria tersebut.
"Sial, siapa tuh cowok? Berani-beraninya dia ngobrol akrab banget sama Irene dan Wilona," batin Alex, kedua tangannya mengepal, menahan rasa cemburu yang terasa membakar.
Bersambung ....
mampus kau david,habis ni kau akan liat kemurkaan dan kemarahan bang alex 🤭😅😅