“Apa ... jangan-jangan, Mas Aldrick selingkuh?!”
Melodi, seorang istri yang selalu merasa kesepian, menerka-nerka kenapa sang suami kini berubah.
Meskipun di dalam kepalanya di kelilingi bermacam-macam tuduhan, tetapi, Melodi berharap, Tuhan sudi mengabulkan doa-doanya. Ia berharap suaminya akan kembali memperlakukan dirinya seperti dulu, penuh cinta dan penuh akan kehangatan.
Namun, siapa sangka? Ombak tinggi kini menerjang biduk rumah tangganya. Malang tak dapat di tolak dan mujur tak dapat di raih. Untuk pertama kalinya Melodi membuka mata di rumah sakit, dan disuguhkan dengan kenyataan pahit.
Meskipun dirundung kesedihan, tetapi, setitik cahaya dititipkan untuknya. Dan Melodi berjuang agar cahaya itu tak redup.
Melewati semua derai air mata, dapatkah Melodi meraih kebahagiaan? Atau justru ... sayap indah milik Melodi harus patah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SPMM29
Hari ini aku bermimpi. Mimpi yang terlalu indah untuk jadi kenyataan. Dalam mimpi itu, aku sembuh. Aku dan Aldrick menjalani hidup seperti suami istri normal—tanpa jarak, tanpa rasa sakit. Kami tertawa bersama, bercanda seperti dulu, sebelum semua ini terjadi. Aldrick bahkan memelukku tanpa ragu, tanpa dingin. Tapi ... aku tahu itu hanya mimpi. Mimpi yang pastinya tidak punya kesempatan untuk terwujud.
Aku takut. —Aku takut nggak ada waktu buat kita memperbaiki semuanya. Aku takut aku pergi sebelum tahu apa rasanya dicintai kamu sepenuhnya.
Aku takut ....
Melodi.
Nadia menutup buku itu perlahan, menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. Catatan harian Melodi selalu berhasil membuatnya menangis pilu. Nadia menatap lekat Melodi yang sudah tiga hari ini masih berbaring di atas ranjang dengan kondisi tak sadarkan diri. Sungguh ia tak tega, sahabat yang selalu menemaninya selama masa suka dan duka, kini hanya bisa terbaring tak berdaya.
Nadia menyeka air bening di sudut matanya. Tapi, sebelum ia sempat menghapus semua jejak kesedihannya, suara lantang Olive terdengar dari belakang.
"Buuuk ... kok mata Ibuk pipis?!" Bocah berusia tiga tahun itu memiringkan kepalanya, menatap jejak air mata di wajah bulat sang ibu.
Sedari pagi, Ratna, ibunya Nadia, mengantarkan Olive ke rumah sakit untuk langsung dijaga sang ibu. Ratna berkata bahwa hari ini ia diterima bekerja sebagai buruh upah cuci gosok, di mana pekerjaan itu akan selesai di sore hari. Padahal, Nadia sudah melarang sang ibu untuk bekerja karena ia merasa, ia mampu untuk menafkahi sang ibu. Namun, Ratna menolak secara halus dengan berdalih bahwa ia merasa : suntuk. Namun Nadia tau, itu bukanlah alasan yang sebenarnya.
Nadia menatap lembut sang putri. "Ini nangis, Sayang. Bukan pipis. Olive belajar kata-kata seperti ini dari mana hayooo?"
"Dali cabang campe malouke," jawab Olive asal.
'Halal nggak sih nih anak gue pites? Nih bocah kalau ngomong suka asal nyablak, mirip siapa sih kelakuannya?!' sungut Nadia di dalam hati.
"Olive nggak boleh berisik ya. —Jangan jerit-jerit, Tante Melodi lagi bo?"
"Booook," sambung Olive. "Kok, Tante Melodi nggak bangun-bangun cih, Buk? Apa, Tante Melodi nggak lindu Olip?"
Bocah kemasan sachet itu mendekati Melodi, menekan-nekan pipi Melodi yang tirus dengan ujung telunjuknya yang mungil.
"Tante Melodi tel-luka ya, Buk?" Olive menoleh ke arah Nadia. "Kok kepalanya di pelban?"
"Iya, kepala Tante Melodi lagi sakit," suara Nadia bergetar. "Makanya Olive jangan nakal ya, nanti Tante Melodi makin lama sembuhnya. Olive main di sudut sana aja ya, nih, main ini."
Olive mengangguk. Bibirnya tersenyum cerah menatap mainan jadul tamagotchi yang disodorkan oleh sang ibu. Mendapatkan mainan favoritnya, bocah berusia tiga tahun itu berlari kencang sanking senang. Sampai-sampai, ia tak lagi melihat, ada seseorang yang berdiri tak jauh di depannya.
BRUGH!
Olive menubruk seseorang. Tubuh bocah itu terhuyung, nyaris ia terjerembab. Namun, kedua tangan kokoh langsung menahan kedua bahunya.
"Hati-hati ya, Cantik." Dokter Andra bercangkung di depan Olive. Mengelus lembut puncak rambut berkepang dua yang membuat Olive tampak sangat menggemaskan.
Kedua mata Olive berkedip-kedip lucu, ia memiringkan kepalanya. Namun, jelas ia sedang terpana. Bocah itu berbalik badan, menatap sang ibu yang tampak terguncang melihat ke arah dirinya dan Andra.
"Buuuuk!" jerit Olive lantang. "Ciapa plia tampan bel-aloma olang kaya ini? —Apa dia calon Ayah Olip?"
Tubuh gempal Nadia langsung merosot dari kursi, wajahnya merah padam. Dengan setengah merangkak, ia lekas berdiri. Buru-buru menghampiri Olive dan Andra.
'Mampusss gue mampuuuus!' teriak Nadia di dalam hati.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Aldrick baru saja dibuat terkejut setengah mati. Karin tiba-tiba saja memeluk tubuhnya dari belakang, pelukannya erat, seolah ia tidak ingin melepaskan.
"Apa-apaan, sih?!" Aldrick lekas meloloskan diri dari pelukan Karin. Ia langsung mundur beberapa langkah, mengikis jarak di antara mereka.
Karin menanggapi penolakan itu dengan senyuman tipis, tetapi, jelas tetap menggoda. "Rileks, Drick. Kamu terlalu tegang. —Apa karena ... akhir-akhir ini kamu udah hampir nggak dapat pelukan?"
Aldrick menghela napas panjang. Ia menatap Karin dengan mata yang penuh emosi. "Aku nggak tau apa yang kau inginkan, Karin. Karena yang kau inginkan sudah jelas bukanlah hal yang penting untukku. —Tapi, setidaknya, berhentilah menjatuhkan harkat dan martabat mu sebagai seorang wanita. Kau ... benar-benar menggelikan."
Karin tersenyum tipis. Seperti biasa, wajahnya tetap tenang saat menghadapi Aldrick yang selalu kesal menanggapinya. "Kamu terlalu kuno, Drick."
"Kuno atau apapun itu, aku nggak peduli. Yang pasti, saat Ijab Kabul itu terjadi, wanita yang aku cintai hingga mati hanya Melodi. Sampai sini, apa kau paham? —Lagipula, bukankah, aku sudah menolak perasaan mu berkali-kali, Karin? Tetapi, kenapa kau selalu bersikap seperti ini? Jika ini urusan laku tak laku, aku akan membantumu mencari pria yang kau ing—"
Belum selesai Aldrick berbicara, Karin sudah lebih dulu membungkam bibir Aldrick dengan ciuman panas. Tentu saja, Aldrick lekas mendorong kasar tubuh Karin.
"APA-APAAN KAU?! DASAR GILA! —PERGI DARI RUANGAN INI SEKARANG JUGA, DAN BAWA BERKAS-BERKAS YANG SUDAH SELESAI KU TANDATANGANI SEJAK TADI! JANGAN JADIKAN PEKERJAAN SEBAGAI ALAT UNTUK MENGGODA KU!" Telunjuk Aldrick mengacung ganas ke arah pintu.
Karin hanya menanggapinya dengan senyuman. Senyuman yang terlihat remeh. "Bagaimana rasanya, Drick? Lebih enakan siapa? Aku? Atau— istrimu yang penyakitan itu?"
Tangan Aldrick bergetar. Mati-matian ia menahan diri agar tak lepas kendali. Bagaimanapun juga, ia sedang berada di tempat kerja. Namun, Karin benar-benar sudah melewati batas.
"Ternyata, memang benar kata pepatah, buah jatuh tak jauh dari pohonnya." Ucap Aldrick tenang, tetapi, penuh dengan makna yang mematikan.
Karin yang semula nya selalu menyikapi amarah Aldrick dengan santai, kini, ekspresi wajahnya berubah total. Jelas ia tahu, ke mana arah pembicaraan Aldrick. Dan ... dia tidak suka akan hal itu.
Sepasang mata tajam milik Karin, menatap gusar ke arah Aldrick yang berjalan menuju pintu. Napas Karin menggebu-gebu, menahan amarah yang nyaris membuncah. Bibirnya tersenyum licik. Tiba-tiba, sebuah ide tak bermoral tercetus di dalam otaknya.
Karin menarik kancing kemejanya sendiri hingga copot beberapa bagian. Kemudian ia berlari ke arah Aldrick sebelum pria itu berhasil membuka pintu. Tangannya menyambar belakang kemeja Aldrick.
KRAK!
Belakang kemeja Aldrick robek, membuat pria itu terperanjat dan menoleh ke belakang. Buah dada Karin yang hampir terekspos seluruhnya, semakin membuat Aldrick terkejut. Ia paham, ke mana arah permainan Karin.
Aldrick berusaha berontak, nyaris kemejanya terlepas dari genggaman Karin. Namun, Karin tak menyerah, ia mempererat genggaman itu lalu berteriak. "TOLOOOOOONG! PRIA INI HENDAK MEMPERKOSA KU ...!"
*
*
*
itu rumah makan menyediakan saksang,yg dari daging *bebi* kan?