"Menikahi Istri Cacat"
Di hari pernikahannya yang mewah dan nyaris sempurna, Kian Ardhana—pria tampan, kaya raya, dan dijuluki bujangan paling diidamkan—baru saja mengucapkan ijab kabul. Tangannya masih menjabat tangan penghulu, seluruh ruangan menahan napas menunggu kata sakral:
“Sah.”
Namun sebelum suara itu terdengar…
“Tidak sah! Dia sudah menjadi suamiku!”
Teriakan dari seorang wanita bercadar yang jalannya pincang mengguncang segalanya.
Suasana khidmat berubah jadi kekacauan.
Siapa dia?
Istri sah yang selama ini disembunyikan?
Mantan kekasih yang belum move on?
Atau sekadar wanita misterius yang ingin menghancurkan segalanya?
Satu kalimat dari bibir wanita bercadar itu membuka pintu ke masa lalu kelam yang selama ini Kian pendam rapat-rapat.
Akankah pesta pernikahan itu berubah jadi ajang pengakuan dosa… atau awal dari kehancuran hidup Kian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26. Aroma dan Noda
Wajah kaya di balik cadar menegang. Ia baru teringat—mereka belum sempat saling bertukar kontak. Nomor itu… ia dapatkan dari ibu mertuanya.
"Astaghfirullah… aku gak nyebutin namaku."
Ia buru-buru kembali mengetik.
>"Ini Kanya."
Kembali… hanya centang dua. Tapi tetap tak dibaca.
Kanya mendesah panjang, meletakkan ponsel di sampingnya. "Kalau sampai nanti sore dia gak balas… ya sudah, aku pulang sendiri."
Namun belum sempat ia berdiri, sebuah suara lirih memecah kesunyian.
Ting.
Notifikasi masuk.
Dengan jantung yang berdegup cepat, Kanya menyambar ponsel. Matanya langsung tertuju ke layar.
Pesan masuk.
Dari dia.
Dan isinya?
Singkat. Padat. Jelas.
“Iya.”
Hanya satu kata. Tapi entah kenapa, rasanya mengguncang dadanya.
Kanya tersenyum. Senyum yang tak tahu harus ia artikan sebagai senang… atau sedih.
Dijawab, iya. Tapi… hanya iya.
Tanpa salam. Tanpa nama. Tanpa emotikon. Tanpa tanya balasan.
Ia menghela napas panjang.
Sambil menunggu sore, Kanya mengisi waktunya seperti biasa. Mengajar anak-anak mengaji, membantu Umi memasak, lalu sejak siang memilih mengurung diri di ruang menjahit. Mendesain satu-dua sketsa baru—padahal pikirannya tak benar-benar di situ.
"Kenapa aku deg-degan begini?" gumamnya.
Bayangan bahwa laki-laki itu—suaminya—akan datang menjemput, entah kenapa membuat hatinya tak bisa tenang.
Ada debar yang aneh.
Ada gugup yang tak bisa dijelaskan.
Dan pipinya… di balik cadarnya… merona begitu saja.
"Apa yang terjadi sama aku?" gumamnya lirih.
Setelah menunggu sore seperti menunggu hari berganti, akhirnya suara deru mobil itu terdengar di halaman depan.
Refleks, di balik cadarnya senyum lebar langsung merekah di wajah Kanya.
"Dia datang..."
Tanpa sadar, langkahnya ringan menuju pintu. Degup jantungnya berirama cepat. Ada bahagia yang tak bisa ia sembunyikan.
"Kenapa aku seperti ini hanya karena tahu dia sudah datang?"
Tapi begitu pintu terbuka dan sosok yang keluar dari mobil terlihat jelas, senyuman itu berubah.
Masih ada senyum di wajahnya, tapi bukan lagi bahagia.
Bukan kecewa, bukan juga marah—hanya… hampa.
"Bukan dia?"
Yang turun dari mobil adalah Aisyah dan Keynan—mama dan papa mertuanya.
"Bukan dia. Tapi Papa dan Mama menyempatkan waktu buat jemput aku. Aku harus bersyukur."
Kanya menarik napas dalam. Menyusun ulang suasana hatinya. Lalu melangkah maju.
"Assalamualaikum, Pa, Ma."
"Waalaikumsalam," sahut keynan dan Aisyah bersamaan. Senyum terukir di wajah mereka, meski wajah Aisyah ditutup cadar.
Dengan takzim Kanya menyalami serta mengecup punggung tangan keduanya.
Aisyah menggenggam tangannya hangat. “Maafkan, Nak. Suamimu tiba-tiba harus keluar kota. Karena itu... Mama dan Papa yang menjemputmu.”
Kanya mengangguk pelan. “Tidak apa-apa, Ma.” Suaranya lembut, tapi ada sehelai kecewa yang tak bisa sepenuhnya tersembunyi.
Namun seperti biasa, ia tahu cara menyimpannya rapat-rapat di dalam dada.
Kyai Zubair dan Umi Farida menyambut kedatangan tamu mereka dengan ramah.
"Assalamualaikum, Pak keynan, Bu Aisyah." Sapa beliau hangat.
"Wa'alaikumsalam," jawab keynan dan Aisyah bersamaan.
Setelah berjabat tangan dengan Kyai, Keynan menyampaikan maksud kedatangannya.
"Kyai dan Umi, kami mohon maklum izin untuk membawa barang-barang Kanya."
Kyai mengangguk pelan. "Silahkan."
Beliau memberi isyarat pada santri untuk membantu supir memasukkan koper ke bagasi.
Sementara orang-orang dewasa berbincang santai di serambi, Kanya berpamitan pada saudara-saudaranya di pondok. Peluk hangat dan ucapan doa mengiringi langkahnya. Beberapa mata bahkan sembab karena kepergiannya. Ia tak hanya pergi sebagai santri, tapi sebagai sosok yang telah menjadi bagian dari keluarga besar pondok.
Kyai menepuk kepalanya lembut. “Jangan lupa pulang sesekali, Nak. Rumah ini selalu terbuka untukmu.”
Umi memeluknya erat. “Dan bawa suamimu juga, ya. Umi penasaran ingin bertemu menantu. Kemarin gak sempet ngobrol.”
Di balik cadarnya Kanya tersenyum. Senyum penuh rasa.
Ia mengangguk. "Insyaallah, Kyai, Umi."
Beberapa saat kemudian, ia sudah duduk di dalam mobil, berdampingan dengan Aisyah di kursi belakang. Mobil melaju pelan meninggalkan halaman pondok. Kanya menoleh sekali ke belakang. Bangunan sederhana itu perlahan mengecil, lalu menghilang dari pandangan.
Yang tersisa hanya jejak-jejak kenangan dan doa yang terpatri dalam hati.
***
Tiga malam telah berlalu sejak Kanya kembali dari pondok.
Namun sosok yang paling dinantikannya belum juga pulang.
Kian masih di luar kota.
Di rumah megah bergaya semi-klasik itu, Kanya mencoba menyesuaikan diri. Bukan hal mudah, apalagi ketika ia sadar bahwa ini bukan hanya rumah mertuanya—ini juga tempat kenangan suaminya sejak kecil.
Tapi ia tidak menyerah.
Pagi itu, Kanya menghampiri Aisyah yang sedang duduk santai di ruang santap sambil menyeruput teh melati.
"Ma, boleh aku bertanya sesuatu?"
Aisyah menoleh, tersenyum hangat. “Tentu, Nak. Duduk sini dulu.”
Kanya duduk rapi di sebelah ibu mertuanya. Tangannya saling menggenggam di pangkuan.
"Aku ingin tahu... makanan favorit Kak Kian. Atau mungkin, hal-hal kecil yang disukainya."
Aisyah mengerling manja, matanya berbinar. “Wah... sudah mulai ingin ambil hati suami, ya?”
Kanya menunduk malu, tersenyum di balik cadarnya.
Aisyah tertawa pelan.
“Kian itu pemilih. Dari kecil gak suka makan sayur dan ikan—cuma doyan telur sama ayam.”
Ia tersenyum mengenang.
“Tapi makin dewasa, seleranya mulai berubah. Sekarang sih hampir semua makanan dia suka... tapi tetap tergantung dimasak apa.”
Kanya menyimak dengan saksama.
“Ikan? Dia cuma suka kalau dibakar atau dimasak sambal balado. Sayur? Karedok dan urap jadi favoritnya. Labu siam dia juga suka, asal dimasak bareng ayam atau daging.”
Aisyah terkekeh kecil, lalu menambahkan,
“Tapi dari semua itu... dia paling suka rendang. Kalau udah ada rendang, yang lain kayak gak dilirik.”
Kanya mencatat dalam hati. “Terima kasih, Ma.”
Aisyah menepuk punggung tangannya lembut. “Kian itu anaknya tertutup. Tapi kalau kamu sabar, kamu akan tahu... dia sebenarnya hangat.”
Siang harinya, Kanya meluangkan waktu masuk ke dapur. Ia tak segan berdiri di antara para pelayan, bertanya dan membantu langsung.
“Suami saya paling suka lauk apa, Bik?” tanyanya pada Bik Lastri, salah satu juru masak rumah itu.
“Paling suka rendang, Nyonya muda. Tapi bumbunya harus medok, dagingnya harus empuk dan dimasak sampai kering, katanya nggak berasa kalau masaknya kurang lama,” jawab Lastri sambil mengupas bawang.
Kanya mengangguk. “Kalau sarapannya?”
“Biasanya roti panggang sama telur setengah matang. Tapi kadang juga bubur ayam. Tergantung mood-nya. Selain itu, Tuan muda juga suka makan kue apa saja, asal buatan rumah.”
Sambil mencatat di ponsel, Kanya juga sesekali turun tangan. Mencoba resep-resep itu. Mencicipinya. Mengulang kalau belum pas.
Di malam ketiga, saat berdiri di balkon kamar yang menghadap taman belakang, ia berbisik lirih pada dirinya sendiri.
"Aku ingin jadi rumah. Tempat pulang yang nyaman. Bukan hanya karena status, tapi karena cinta yang tumbuh perlahan... dengan usaha dan doa."
Malam itu, rumah sudah sunyi.
Hanya suara detik jam terdengar pelan, bersaing dengan desau angin yang mengelus jendela.
Kanya belum tidur.
Tugas kuliahnya baru saja ia kirim, dan kini ia sedang di kamar mandi, membasuh wajah yang lelah.
Tiba-tiba—
Ceklek.
Pintu kamar terbuka… lalu tertutup kembali.
Langkah berat diseret pelan, menyusup ke dalam keheningan.
"Apa dia sudah pulang?" gumamnya dalam hati, buru-buru mengenakan cadar dan keluar dari kamar mandi.
Begitu pintu terbuka, matanya langsung menangkap sosok Kian.
Jas pria itu teronggok asal di atas ranjang. Dasi menggantung setengah terbuka.
Bahunya naik turun—tanda kelelahan yang jelas.
Sebelum Kanya sempat bertanya, suara Kian terdengar datar.
"Bantu aku lepas baju."
Kanya terdiam. Tapi hanya sejenak.
Tanpa kata, ia melangkah pelan.
"Dia terlihat sangat lelah... Apa karena kontrak yang dibatalkan ayah Friska?" batinnya. Ada rasa bersalah menyelinap.
Tangannya terangkat, menyentuh dasi suaminya, dan mulai melonggarkannya. Anehnya, tangan yang kemarin gemetar kini tak lagi. Rasa gugup itu sirna, seolah luruh oleh raut letih di wajah pria itu.
Namun saat wajahnya mendekat, aroma asing menguar... samar...
Tajam... manis... bukan miliknya.
"Parfum wanita?"
Degup jantungnya tiba-tiba berubah ritme.
Jemarinya sempat ragu, tapi tetap bergerak membuka kancing satu per satu.
Sampai…
Matanya terpaku.
Di kerah kemeja putih itu—noda tipis merah muda.
"L-Lipstik?"
Tangannya membeku.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
jika kamu ingin mendapatkan hakmu terimalah dulu Kanya dengan baik dan tulus saling nenerima walapun belum sepenuhnya,,minimal kamu bersikap baiklah pada Kanya jangan terlalu datar dan coba untuk mencintai Kanya...
kamu juga blum mengenal Kanya,
sebagai suami apa yang kamu ketahui tentang Kanya???
coba kamu mulai terima Kanya,jadikan dia prioritas mu, cintai dia setulus hati mu.
jangan hanya Friska doank yang kamu simpan dihati mu.
lagian kamu belum mengenal Kanya
merasa dikhianati padahal kamu dan Kian pasangan pengkhianat sebenarnya
untung Kanya wanita bijak dan taat agama,klo gak mungkin Friska udah viral karena mengambil suami orang...
Bagaimana Kian ????
Oooo....ternyata noda lipstik dan aroma parfum Friska yang mabuk di tolong Kian.
Kelakuan sang mantan yang hatinya sedang retak - di bawa mabuk rupanya.
Lanjutkan kak Nana... 🙏🙏🙏 Aku Hadir lagi kak,setelah Menunggu Cukup lama,agar Novel ini Menandatangani Kontrak Eksklusid. Dan Akhirnya Sekarang Aku Bisa Baca 😁😁😁