Dunia pernah mengenalnya sebagai Theo Vkytor—penulis jenius di balik Last Prayer, karya horor yang menembus batas antara keimanan dan kegilaan. Tapi sejak kemunculan Flo Viva Mythology, game yang terinspirasi dari warisan kelam ciptaannya, batas antara fiksi dan kenyataan mulai runtuh satu per satu. Langit kehilangan warna. Kota-kota membusuk dalam piksel. Dan huruf-huruf dari naskah Theo menari bebas, menyusun ulang dunia tanpa izin penciptanya.
Di ambang kehancuran digital itu, Theo berdiri di garis tak kasat mata antara manusia dan karakter, penulis dan ciptaan. Ia menyaksikan bagaimana realitas menulis ulang dirinya—menghapus napasnya, mengganti jantungnya dengan denyut kode yang hidup. Dunia game bukan lagi hiburan; ia telah menjadi kelanjutan dari doa yang tidak pernah berhenti.
Kini, ketika Flo Viva Mythology menelan dunia manusia, hanya satu pertanyaan yang tersisa.
Apakah Theo masih menulis kisahnya sendiri… ataukah ia hanya karakter di bab yang belum selesai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Girenda Dafa Putra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Permainan Kata dan Ekspresi
...Chapter 10...
Kehadirannya di Akademi Bintang pun bukan karena kemauan bebas, tetapi karena cara-cara picik yang ia gunakan untuk menembus tembok penindasan keluarga.
Lebih dari itu, pengingat Erietta tentang pengawasan yang terus-menerus membuat Theo sadar bahwa setiap interaksi dengan gadis ini harus penuh kehati-hatian.
Ia tahu bahwa gadis itu tidak akan segan menghukum siapapun yang melanggar kepercayaan nan baru saja diberikan.
Semua gerak-gerik, semua kata, bahkan ekspresi sekecil apa pun akan dicatat dan dianalisis olehnya.
Theo menelan napas panjang, menyadari bahwa di balik wajah datar dan senyum tipisnya, Erietta bukan hanya seorang murid pendukung Ilux, tetapi seorang penguasa kecil atas rahasia yang bisa mengguncang jalannya cerita secara penuh.
‘Pada pandangan pertama, Aldraya dan Erietta tampak serupa.
Keduanya terlihat kaku, seperti seluruh diri mereka terbelenggu aturan yang tak boleh dilanggar.
Dari tutur kata, raut wajah, hingga sorot mata mereka memandang dunia, semuanya terkesan diprogram untuk tidak mengungkap perasaan sejati.
Mereka bukan manusia tanpa emosi, tapi orang yang terbiasa menutupinya, sampai dunia mengira mereka hanya terdiri dari kedinginan dan logika.'
Fuuuuh!
'Tapi ada satu hal yang tak mungkin kusamakan, rambut Aldraya.
Putih.
Bukan putih biasa, putih yang begitu murni sampai debu pun enggan menempel.
Halus, lembut bersih, nyaris menyerupai cairan perak.
Panjangnya menjulur melewati pinggul, dan di setiap langkahnya, rambut itu bergerak bagai gelombang cahaya bulan.
Itu adalah hal pertama yang terbayang ketika namanya disebut, Aldraya Kansh Que.
Perempuan dengan rambut putih yang mampu menghentikan waktu sejenak saat ia lewat.
Dan mungkin, karena itulah aku selalu dapat membedakannya dari Erietta, meski keduanya sama-sama tak paham cara menunjukkan bahwa mereka masih hidup.’
Wussssh!
‘Sudah pergi, ya?'
Dari semua karakter nan pernah Theo amati dalam dunia Flo Viva Mythology, Aldraya selalu muncul sebagai bayangan yang hampir mirip dengan Erietta.
Kaku, tanpa ekspresi, dan gerakannya seolah dikalkulasi oleh mesin, Aldraya menyerupai manusia buatan nan dikemas dalam bentuk wanita.
Rambutnya yang putih hampir menyerupai perak, panjang menjuntai hingga menyentuh punggung dan melewati batas pinggul, menjadi ciri fisik yang membekas kuat di ingatan Theo.
Setiap kali ia menutup mata atau menghela napas setelah menulis terlalu lama, bayangan Aldraya selalu muncul di pikiran, seolah menjadi cermin gelap dari keseriusan Erietta yang dingin namun hidup.
Dalam refleksi, Theo menyadari bahwa dunia ini—meski sama dalam aturannya—menyimpan nuansa nan berbeda di setiap individu.
Dan setiap perbedaan itu menjadi petunjuk penting bagi seorang pengamat sepertinya.
Kembali pada ingatan yang lebih hangat, setelah interaksi singkat dengan Theo, Erietta bergerak perlahan meninggalkannya.
Langkahnya tenang, mantap, seolah setiap gerakan sudah terprogram untuk meminimalkan suara dan gangguan.
Ia mendekati Ilux, yang tengah membasuh luka, memeriksa setiap goresan dengan ketelitian nan sama seperti ia memantau lawan dalam pertarungan.
Tak ada kata nan terucap, hanya tindakan yang berbicara, pergerakan yang menandakan koordinasi tanpa perlu komunikasi verbal.
Sore itu terik, cahaya matahari menyapu sisi-sisi akademi dengan hangat namun keras, menciptakan bayangan panjang dari tubuh mereka berdua saat melangkah meninggalkan lokasi pertempuran.
Theo hanya bisa menonton dari kejauhan, menyimpan setiap detil dalam benaknya.
Ia tahu bahwa momen ini—Erietta yang mendekati Ilux, yang kemudian keduanya melangkah pergi—adalah salah satu titik penting yang tidak boleh ia ganggu, meskipun dorongan nalurinya sebagai pengamat dan pemain lama selalu ingin ikut campur.
Dan dengan langkah-langkah itu, sore hari perlahan berganti senja, meninggalkan Theo dalam kesendirian, di tengah hiruk-pikuk dunia yang kini telah menyatu dengan kenyataan.
‘Hahaha, cermat sekali.
Perempuan itu memang ahli dalam membuat kesepakatan tampak penting.
Bahkan caranya memberi sogokan begitu terstruktur, tidak berlebihan, namun cukup untuk membuat orang ragu menolak.'
Wuuuuhh!
'Uang suap, begitukah? Sungguh menggelikan.
Biasanya aku yang menyogok orang, bukan yang disogok.
Tapi untuk kali ini aku paham tujuannya.
Ini bukan tentang nominal, melainkan sebuah peringatan.
Supaya aku tutup mulut tentang rahasia kelam, masa lalu yang bahkan terdata dengan lengkap di catatan game.'
Huuuuuhh!
'Ancamanmu masih bergema di kepalaku, Erietta.
Caramu mengingatkanku untuk “menjaga ucapan” sampai-sampai membuat suasan sekitar terasa dingin.
Anehnya, saat memikirkan hal ini, yang kurasakan justru rasa kasihan.
Baik kepadamu, dan juga kepada Ilux.’
Tsuuuuuhh!
‘Ilux, yang dipaksa kuat di setiap episode, terus menyandang dosa orang lain di tangannya.
Sedangkan kau, Erietta, gadis dengan rambut hijau nan rimbun, lembut laksana siluet daun dalam terang bulan.
Sulit membayangkan seseorang yang begitu cantik pada akhirnya mati di tangan orang yang paling dipercayai.
Kali ini aku bahkan tak mampu tertawa.
Kau, Erietta, bukanlah karakter figuran.
Kaulah bos utama, musuh terakhir di arc pertama, episode dua belas ini.
Dan di sinilah seluruh kesengsaraanmu memuncak, dan aku tahu bagaimana nasib tersebut dituliskan.
Ilux akan menghabisi, tubuhmu akan membeku, lalu terhapus dari data game bagai tak pernah ada.’
Sambil melempar dan menangkap karung uang sogokan dari Erietta, Theo masih teringat jelas perkataan gadis itu.
‘Rahasianya tidak boleh bocor, jangan sampai ada celah untuk berbicara.’
Ia menahan diri, tetap diam di tempat, menatap kedua karung kecil di tangannya dengan rasa berat nan sulit dijelaskan.
Ada perasaan getir nan merayapi hati Theo, kesadaran bahwa apa yang sedang terjadi hanyalah fragmen kecil dari rantai nasib tragis yang menunggu di depan.
Terutama bagi Erietta Bathee, yang keberadaannya akan mengalami nasib paling kejam dalam skema cerita ini—dieksperimen secara gila-gilaan oleh Ilux Rediona, tubuhnya nan dulu sempurna dihancurkan hingga tak tersisa, bahkan seujung rambutnya pun dijadikan konsumsi bagi sang pahlawan.
Theo menunduk sejenak, membayangkan skenario yang pernah ia ketahui dari gameplay yang biasa ia jalani.
Erietta bukan sekadar karakter pendukung.
Ia adalah boss utama yang muncul di akhir arc kesatu, tepatnya episode dua belas, sosok yang menjadi rintangan terakhir sebelum cerita berpindah ke arc kedua.
Setiap gerakannya, setiap keputusan yang dibuat, selalu membekas dalam memori Theo, karena ia tahu bagaimana game ini memaksa pemain untuk menghadapi tragedi sekaligus strategi.
Bahkan meski di permukaan Erietta terlihat dingin dan tak tersentuh, Theo paham bahwa kekuatannya bukan sekadar kemampuan bertarung.
Ia adalah simbol dari ujian terakhir bagi siapa pun yang menganggap diri pemenang.
Lebih jauh lagi, Erietta termasuk dalam daftar sepuluh wanita penting yang menjadi antagonis dalam Flo Viva Mythology.
Dari awal, dunia ini menyiapkan mereka sebagai penghalang bagi kemajuan Ilux, masing-masing dengan kekuatan dan sifat unik yang dirancang untuk menguji batas kemampuan manusia dan Human Change.
Theo tahu bahwa walau kini Erietta tampak tenang dan mematuhi perjanjian kecil dengannya, tak ada yang bisa memprediksi kegilaan yang akan datang.
Setiap interaksi, setiap pertemuan, hanyalah bayangan dari masa depan nan kejam, yang akan menjebak karakter-karakter ini dalam lingkaran nasib tanpa bisa dihindari.
'Tugasku hanya memastikan semua berlangsung seperti seharusnya.
Tidak kurang dan lebih.'
Sambil berbalik, menjauh dari bayangan Erietta yang perlahan menyatu dengan keramaian sore, Theo menggeleng pelan.
Di dalam hati, ia menuturkan kata-kata yang hanya didengar oleh diri sendiri, mantra sunyi seorang pengamat nan terperangkap di antara realitas dan naskah.
Setiap tindakan yang ia lakukan, setiap intervensi yang disempatkan, bukan untuk kepentingannya sendiri, melainkan untuk menjaga agar jalannya cerita tetap sesuai skenario.
Bersambung….