Ustadz Yusuf, I Love You

Malam itu, desa diselimuti keheningan yang dalam. Sekitar pukul 02.00 dini hari, sebuah mobil MPV hitam mewah, dikendarai oleh Pak Budi, memasuki jalan utama desa, tetapi berhenti di mulut gang. Pak Budi tahu betul tugasnya, penjemputan rahasia, cepat, dan tanpa jejak.

Di dalam rumah ibu Suci,Zora dan Bu Suci bergerak dalam diam. Barang-barang mereka sedikit, satu koper Zora, beberapa tas pakaian Bu Suci dan yang paling penting, kitab-kitab dan mushaf Al-Qur'an Zora yang kini menjadi harta paling berharga.

Zora terakhir kali menatap kamar kecilnya, tempat ia bergumul dengan sambal, ranjang ambruk, dan hafalan. Air matanya tidak menetes, tetapi hatinya terasa perih. Ia meninggalkan tempat ini, bukan karena gagal, tetapi karena cintanya terlalu besar untuk dikendalikan.

ibu Suci hanya mengunci pintu rumahnya. Ia membawa tasbih di tangannya, siap untuk memulai kehidupan baru yang tak terduga di kota besar. Ia melihat Zora dengan penuh kasih, tahu bahwa gadis itu sedang berperang.

Pak Budi masuk ke dalam, menyapa ibu Suci engan hormat, dan segera mengangkat barang-barang mereka.

Pak Budi Berbisik"Semua aman, Nona. Tidak ada yang melihat."

Zora dan Bu Suci masuk ke mobil. Mereka berdua duduk di belakang, dan Zora memegang tangan Bu Suci erat-erat. Zora tahu betul, keberangkatan ini akan melukai Yusuf, tetapi ia tidak melihat jalan lain untuk melindungi hijrah-nya dan hatinya.

Saat mobil mulai melaju perlahan meninggalkan desa, melewati area pesantren, Zora menunduk. Ia tahu di balik tembok-tembok itu, Ustadz Yusuf sedang tidur atau mungkin sedang salat malam.

Mereka pergi tanpa sepengetahuan siapapun tidak ada salam perpisahan, tidak ada pesan, hanya keheningan. Zora membawa kembali semua kecerdasannya dan semua kekayaannya ke kota besar .tetapi ia juga membawa tekad baru untuk mencintai Tuhannya lebih dulu, sekaligus membawa patah hati yang mendalam terhadap pria yang ia cintai....

Di dalam keheningan mobil mewah yang melaju membelah malam menuju kota metropolitan, Zora menangis dalam diam.

Ia duduk di kursi belakang, menyandarkan kepala ke jendela mobil, membiarkan kegelapan menyembunyikan air matanya dari pandangan Bu Suci yang duduk di sampingnya. Hanya Bu Suci yang menyadari bahu Zora sedikit bergetar.

Air mata Zora adalah perwujudan dari dua konflik besar di hatinya,

Sebenarnya, Zora sudah sangat betah berada di lingkungan Pesantren. Ia telah menemukan kedamaian yang hilang dalam kesederhanaan, dalam lantunan Al-Qur'an, dan dalam rutinitas ibadah. Ia mencintai rumah kecil Bu Suci dan tulus mencintai hijrah-nya. Lingkungan yang dulu ia anggap asing, kini terasa seperti rumah sejati.

Namun, ia tidak bisa mengalahkan rasa sakit yang menusuk. Hatinya terlalu sakit membayangkan Yusuf, pria yang ia cintai dan kagumi kesalehannya, akan segera bersanding dengan wanita lain.

Zora terpaksa memilih antara ketenangan spiritualnya di desa dan menjaga kesehatan emosinya. Ia memilih yang terakhir. Ia sadar, tidak mungkin mempertahankan fokusnya pada ini dan mendekatkan diri kepada Tuhan jika setiap hari ia harus melihat wajah Yusuf dan tahu bahwa Yusuf sedang disiapkan untuk menjadi milik orang lain.

 "Aku harus pergi. Aku tidak akan menghentikan hijrah-ku, tapi aku harus menjauhkan hati ini dari cobaan yang tak tertahankan. Biarlah aku membiarkan Yusuf bahagia, dan biarlah aku mencari damai dalam hafalan Al-Qur'anku, jauh dari pandangannya." gumam Zora dalam hati merasa perih.

bu Suci merasakan kesedihan Zora. Ia tidak bertanya atau berbicara, hanya memegang tangan Zora erat-erat. Ia tahu, tugasnya sekarang adalah menjadi jangkar Zora, memastikan gadis itu tidak hanyut kembali ke kehidupan lamanya, meskipun terdampar di tengah gemerlap kota metropolitan.

Air mata Zora terus membasahi pipinya, menjadi perpisahan yang pahit dengan desa yang telah mengajarkannya arti dari cinta, kesederhanaan, dan pengorbanan...

**"

Pagi itu, saat Zora dan ibu Suci sedang dalam perjalanan kembali ke kota metropolitan, di Pesantren, suasana sudah ramai. Keluarga Ayudia datang dengan niat baik untuk melanjutkan pembicaraan perjodohan. Namun, mereka disambut dengan suasana yang serius dan tak terduga.

ayudia masuk ke ruang tamu keluarga Kyai Rahman dengan perasaan yang sangat campur aduk. Ia sudah mengetahui rumor tentang Zora, dan meskipun ia mencoba menepisnya, ia tahu Ustadz Yusuf mencintai Zora. Kesalehan dan kecerdasannya tidak bisa menipu hatinya sendiri.

Ayudia sangat mencintai Ustadz Yusuf. Ia melihat Yusuf sebagai sosok suami ideal, baik secara spiritual maupun intelektual. Namun, sebagai seorang wanita yang dididik dalam adab dan rasa malu , ia tidak mungkin mengungkapkan perasaannya kepada Yusuf. Ia memilih memendamnya, meskipun kini rasa cintanya berubah menjadi rasa perih karena tahu hati Yusuf bukan miliknya

 Ia duduk dengan tegak, berusaha keras menutupi luka di hatinya dengan sikap penerimaan yang anggun, siap menerima apapun keputusan yang terbaik bagi keluarga Pesantren.

Kyai Rahman dan Ibunda Yusuf menyambut keluarga Ayudia dengan penuh rasa hormat, namun dengan ekspresi yang jelas menunjukkan beratnya keputusan yang akan disampaikan.

Kyai Rahman dengan bijaksana membuka pertemuan, menjelaskan bahwa pernikahan ini adalah untuk kemaslahatan dakwah dan lembaga. Kemudian, ia menyampaikan inti permasalahannya.

"Saudara-saudara, kami memohon maaf sebesar-besarnya. Yusuf telah menyampaikan kebenaran hatinya. Dia tidak bisa melanjutkan niat baik ini. Namun, kami tidak ingin memutuskan hubungan mulia ini. Kami ingin mengalihkan akad ini..." ucap kyai Rahman dengan sopan.

Kyai Rahman kemudian menoleh ke arah Ridwan, yang duduk di samping Yusuf.

 "...Kami ingin memohon restu Anda sekalian, agar Ayudia bersedia menjadi pendamping bagi putra kami yang lain, Ridwan." kata kyai Rahman tegas namun lembut.

Keluarga Ayudia terkejut, apalagi bibi Lasmi, ia menahan amarahnya, karena ia tahu semua gara-gara gadis gila itu , namun mereka menghormati kejujuran Ustadz Yusuf. Mereka melihat sosok Ridwan, seorang duda yang matang, menjabat sebagai Kepala Sekolah, dan memiliki wibawa.

Semua mata tertuju pada ayudia , Meskipun hatinya berdarah karena impian bersanding dengan Yusuf hancur, Ayudia adalah wanita yang cerdas. Ia menyadari bahwa Ridwan menawarkan stabilitas dan peran yang jelas di Pesantren. Ia tahu bahwa pernikahan adalah ibadah, bukan hanya tentang cinta.

ayudia dengan suara yang lembut dan tenang, mengangguk.

"Jika ini adalah keputusan terbaik yang membawa maslahat bagi kedua keluarga dan bagi Pesantren, dan jika mas Ridwan bersedia, saya menerima." ucapnya lembut.

Penerimaan Ayudia disampaikannya dengan rasa malu yang terhormat. Meskipun perih, ia telah menunjukkan ketaatan dan keikhlasan.

**"

Sementara itu, saat semua kesepakatan tengah dicapai, Yusuf yang sedang berada di luar ruang tamu, merasakan firasat yang sangat tidak enak. Ia teringat akan ucapan Ayudia bahwa Zora sangat rentan terhadap emosi.

Yusuf segera berlari menuju rumah ibu Suci, tetapi ia hanya menemukan pintu yang terkunci dan rumah yang sunyi senyap. Bu Suci dan Zora telah pergi tanpa jejak.

 Yusuf merasa hatinya hancur untuk kedua kalinya dalam satu hari. Ia kehilangan Zora, tepat pada saat ia berjuang untuk mendapatkan restu menikahinya....