Aku hidup seperti mengikuti sebuah alur dunia fiksi sebagai figuran tak terlihat. Semuanya membuatku muak. Seandainya kita hidup dalam sebuah simulasi komputer yang dapat mengalami hal yang namanya glitch in the matrix, namun semua itu hanya ilusi semata. Banyaknya keinginan yang kuinginkan hanya bisa kutulis dalam sebuah fiksi.
Hingga aku mulai menjalani hidupku tanpa ketergantungan dari sebuah fiksi. Melepas semua belenggu yang kutakuti dan mulai terbang seperti burung samurai. Disini, aku mulai menulis kisahku mengubah dialogku dari peran figuran menjadi peran utama.
Bukan tentang transmigrasi maupun reinkarnasi seperti kebanyakan novel, aku berubah karena kata-kata seseorang. Aku tidak ingin menjadi orang idiot yang menganggap kata motivasinya sebagai kata yang tidak mungkin terjadi. Dengan kata katanya yang kadang setajam silet, aku mampu mengubah diriku menjadi seekor burung samurai yang bangga.
Dan yang terpenting ini nyata bukan fiksi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zero 0, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
“Antagonis yang bertindak bagai protagonis. Mungkin...
“Antagonis yang bertindak bagai protagonis. Mungkin jika dia mengikuti sebuah ajang pencarian bakat akan lebih bermanfaat.”
Seperti yang telah diperintahkan oleh majikan, aku berlari menuju kelas Raka untuk menjemputnya. Kalau dipikir aku sudah seperti babu yang dapat di andalkan saat pertama kalinya menjadi seorang babu, napasku sedikit terengah saat aku telah mencapai gedung tingkat kedua yang berarti jajaran kelas dua di sekolah ini. Sekolah terdiri dari tiga lantai, lantai pertama untuk kelas sepuluh dan seterusnya hingga lantai tiga untuk kelas sebelas.
Ini kedua lakinya aku menginjak lantai kelas sebelas. Pertama tadi pagi dan kedua sekarang ini, sedikit gugup karena aku berjalan lawan arah yang lain ke kantin dan aku menyusuri lorong untuk ke kelas apalagi kini aku seperti tengah menjadi tokoh utama yang kemanapun aku pergi mereka menoleh kearahku. Yah, pesona si protagonis di dalam novel. Huh. Lagi-lagi dunia novel.
Sampai di depan kelas Raka aku mengintip terlebih dulu dari pintu kelas yang terbuka, untungnya di dalam hanya ada Raka dan beberapa orang hingga mataku menemukan sesuatu yang unik. Dia Alexa Ginanjar yang tengah menatap Raka tanpa berkedip, aku takut ia akan menelan Raka sekali tanpa mengunyahnya.
Alexa Ginanjar orang yang menyebutku buluk waktu perkemahan, dia si antagonis yang menyamar menggunakan wajah munafiknya. Aku sedikit merinding saat aku tahu dia juga sekelas dengan Raka, aku tidak tahu nasibku akan seperti apa jika aku sekelas dengan Alexa. Masih untung aku berbeda satu tahun darinya yang membuat kelasku satu tingkat lebih rendah darinya.
Memberanikan diri aku melonggokkan kepalaku ke dalam kelas, “kak Raka.” Hanya panggilan itu yang ada di benakku.
Seketika, ruang kelas yang tadinya sedikit ramai senyap seketika bahkan Alexa yang dari tadi memandang Raka seperti kesurupan kini kembali dan mereka menatapku penuh tanda tanya. Alexa sendiri ketika melihatku seperti ingin menelanku hidup-hidup seolah berkata bahwa aku mengganggu kesenangannya. Ia menatapku kesal dan memelototiku seakan berkata ; lo ngapain kesini, bukannya gue udah bilang sama lo buat nggak jadi cicak yang nemplok sama Raka.
Raka yang tadinya tengah bergelung dengan ponsel segera menyimpan ponselnya dan berjalan kearahku. “Oh. Babu gue yang ucul udah muncul.” Raka berbisik di telingaku.
Sia-lan. Sepertinya Raka berniat mencari gara-gara denganku, aku memutar kedua bola mataku dan mataku bertemu dengan mata Alexa. Aku terdiam sesaat sebelum menatap tepat di kedua bola mata Raka, “kak. Lo nggak takut di kelas ini?” tanyaku tanpa alasan.
Raka mengernyit, “takut kenapa?” tanyanya bingung.
Aku melangkah maju mendekatinya, dengan berani tanganku mencapai dasi yang berada di lehernya dengan centil berpura-pura memperbaiki dasinya yang berantakan.
Kurasakan tubuhnya menegang ketika aku melakukan serangan ini, dia menatapku tak percaya. “Lo sekelas sama nenek lampir,” ucapku padanya.
Tiba-tiba Raka mencengkeram satu tanganku yang berada di lehernya dan satu tangannya mencengkeram pinggangku membuatku gelagapan. Aku tidak mengharapkan dia akan melakukan serangan balik seperti ini. Semua yang berada di kelas memekik kaget dengan apa yang dilakukan Raka padaku.
“Oh, siapa nenek lampirnya. Coba kasih tahu gue,” Raka menarik pinggangku membuat jarak kami menyempit.
Aku mencoba mendorongnya sedikit, mencoba terlihat biasa saja dengan perlakuannya. Melirik Alexa yang kini sedang terbakar api cemburu di dalam sana, aku tidak mengira drama ini akan mengasikkan.
“Lihat ke belakang kak, gue nyium bau gosong.” Aku tertawa kecil setelah mengucapkan itu.
Bodohnya Raka mengikutiku perkataanku dia sedikit menoleh ke belakang menatap mereka satu per satu dan menatap laser ke arah mereka, yang tidak kusangka wajah Alexa yang sudah berganti mimik dengan mimik menyedihkan benar-benar membuatku ingin marah.
Wajah itu cepat sekali untuk berganti ekspresi mungkin jika dia ikut ajang pencarian bakat, Alexa akan menjadi pemenangnya. Alexa, dia teratai putih yang harus aku jauhi. Wajahnya memang terlihat elok dimata tapi hatinya elok ditendang.
“Biarin aja.” Raka melepaskan ikatan tangannya pada tubuhku membuatku segera mundur. “Rea. Kalau bisa jangan seperti itu lagi di masa depan, gue nggak tahu gimana cara mengendalikan diri ketika binatang buas gue lepas,” lanjut Raka yang tak ku mengerti.
“Maksud lo?” tanyaku bingung.
“Lupakan.” Raka melengos pergi.
Aku mengikutinya dari belakang seperti anak ayam sambil memikirkan apa yang Raka katakan padaku. Sampai di kantin masih banyak orang yang menoleh ke arah kami berdua hingga membuatku sedikit tidak nyaman.
“Kak, gue ikut Cila ya. Ini kan udah di kantin,” aku mencoba bernegosiasi sambil menatap adanya Cila yang juga menatapku dengan senyum miringnya.
“Oke. Babu, tugas lo hari ini selesai. Nggak susah kan jadi babu gue,” kata Raka dengan salah satu alisnya yang terangkat.
Aku hanya mengangguk. Dasarnya aku ingin sekali berteriak pada Raka mending gue mau jadi babu lo padahal jadi babu buat diri sendiri aja gue ogah! Jadi ini terpaksa ingat terpaksa!
“Rea! Sini!” seruan Cila memenuhi kantin.
Cila. Jika begini terus hanya dengan teriakan Cila aku khawatir akan langsung menjadi terkenal jika terus berkelanjutan, apalagi kini aku resmi menjadi babu idola sekolah.
“Cila. Nggak usah teriak bisa nggak sih,” ucapku setelah sampai di mejanya.
Cila menatapku berbinar. “Rea, ternyata ini tugas negara yang lo maksud tadi. Tugasnya jemput pacar di kelas,” kata Cila menggoda.
Aku mendengus, “jangan harap Cila. Gue kesana sebagai babu Cila. BABU.” Aku menekankan kata terakhir dengan jelas.
Cila tertawa geli. “Iya. Babu. Babu hati, eak...” Cila tertawa sampai mati menertawakanku.
“Sumpah gue nggak bohong. Tadi pagi gue resmi jadi babunya, seharusnya lo dengar desas desus tadi pagi kalau gue ke kelas kak Raka bawa tasnya dia dan itu awal mula gue jadi babunya.” Aku berkata bersungguh-sungguh mengadu.
Dengan sifat Cila yang meledak-ledak seperti petasan kecil semuanya pasti akan tertolong. Apalagi jika Cila membantuku berbicara pada Raka untuk melepaskanku sebagai babu pribadinya tapi tidak mungkin begitu aku mengingat betapa tergila-gilanya pada Raka.
Mungkin jika aku ingin dia membantuku untuk lepas dari Raka aku malah akan diberi wejangan. Rea. Lo itu beruntung banget bisa sedekat itu sama kak Raka, coba gue yang ada di posisi lo. Gue pasti natap dia kayak mau nelen orang, gue juga bakal ngambil keuntungan dari kak Raka. Akhh!!! Rea!!! Gue juga mau!! Kurang lebih Rea pasti berbicara seperti itu.
“Gue nggak percaya, tapi juga percaya sih. Kak Raka jadiin lo babu ada maksud lain,” Cila melirik Raka yang berada dua meja di samping tempat kami duduk.
“Iya. Ada maksud lain dengan tujuan nyiksa gue,” timpalku membuat Cila terdiam.
“REA! CILA! GUE KE KELAS LO! LO MALAH PADA DISINI!” Suara menggelegar Aca membuat kantin terdiam.
Sungguh ajaibnya suara Aca, aku menggeleng pelan. Kenapa aku punya dua teman yang sifatnya tidak beda jauh dari sifat gila. Aca dengan gaya premannya duduk di sebelahku. Gayanya memang keren, lengan baju dilipat ke atas, dasi tidak beraturan dan bajunya di keluarkan juga sepatu mirip gulali.
“Ca.” Aku memanggilnya dan memberinya dua jempol. Sungguh hebat, bad girl sejati.
Aca membalas dengan menepuk dadanya bangga jelas sekali jika dia sedang menyombongkan diri. Yah, inilah sifat-sifat manusia semuanya berbeda.
..."Aku nggak tahu apa yang salah sama aku sampai kamu berkata seperti itu. Ingin aku berteriak pada dunia, memangnya kamu siapa?"
...
...
...
Air memercik pada wajah yang ku basuh, siang ini terasa sangat panas hingga rasanya akan membakar kulitku. Padahal di kelas ada ac tapi aku lebih memilih keluar untuk mencuci muka sekalian. Air dingin menjernihkan pikiranku yang buteg akan pelajaran, kelas siang ini adalah matematika yang benar-benar pelajaran membakar serta menguras pikiran ditambah dengan hawa panas membuat pikiran ingin meledak.
Pelajaran matematika adalah pelajaran yang membagongkan jika saja aku bisa memilih belajar matematika menggunakan metode menghitung uang plus ada uangnya langsung. Aku jamin aku akan mendapatkan nilai matematika yang paling tinggi di sekolah, sayangnya semua itu hanya angan-anganku yang berpikir terlalu jauh.
Satu lagi, kenapa banyaknya ilmu menggunakan rumus matematika yang tidak logis contoh saja x+y \= 0 soal itu kenapa harus ada, kita bisa menjadikannya 0+0 \= 0 itu lebih mudah daripada harus mencari x dan y. Aku tidak tahu ke mana yang namanya x dan y hingga membuat seluruh sekolah harus mencarinya sampai ketemu.
Ada lagi soal U²+U²\= n.
Apalagi itu. Apa itu U² aku tidak tahu yang pasti akan ada U¹, U²,...,....,...,...,..., U (ada n kecil di atas U) dan kita harus mencari hasil akhirnya. Siapa yang tahu akan hasil akhirnya mungkin happy ending atau sad ending, atau mungkin plot twice.
Karena banyaknya ilmuwan menggunakan rumus matematika membuat pelajaran ini diharuskan dipelajari di sekolah. Siapa yang tidak tahu kalau membuat pesawat juga membutuhkan perhitungan matematika, arsitek juga membutuhkan matematika dan bahkan sains juga ada matematikanya contoh saja mengukur hukum newton dan mengukur getaran gelombang suara. Sepertinya hidup memang tidak bisa lepas dari matematika.
Aku menatap wajahku di cermin aku mendesah lega saat menemukan wajahku tidak lagi kucel seperti babu dan bagusnya tidak akan ada orang yang tahu kalau aku seorang babu di dunia nyata. Kenapa saat di fiksi aku menjadi putri raja yang dimanja sedangkan di dunia nyata aku menjadi babu seorang pangeran.
Ceklek.
Suara pintu dibuka dari luar membuat atensiku terjaga, tanpa sadar aku melihat siapa gerangan yang masuk. Sial. Kenapa dia bisa disini! Jika dia beralasan toiletnya macet masa bodoh dengan alasan, aku tidak akan percaya aku hanya percaya bahwa dia ingin mengobrak-abrikku disini. Aku tidak asal menduga karena tidak mungkin jika semua toilet dilantainya macet.
“Ck. Jablay kalau nggak laku pasti nemplok sana sini mungkin orang nggak jelas juga di templokin, udah kayak cicak aja kalau nggak dapat pegangan jatuh.”
Suara saiton yang tidak ku perdulikan, aku hanya menatap wajahku di cermin dengan santai. Memoleskan sedikit cream bedak yang aku bawa dari kelas ke wajahku aku juga menata rambutku yang sedikit berantakan dengan jari-jari tanganku.
“Gue juga bingung sih kenapa orang nggak pernah sadar sama diri sendiri apalagi yang mukanya tebal banget. Orang dikasih tahu ngeyel banget merasa paling cantik makanya mau sana sini, kalau gue sih ogah banget kelihatan murahannya.”
.
Tak.
Tak.
Tak.
Suara sepatu menggema di ruangan menjadi penambah suasanya ramai, sepatu itu menuju ke arah tempatku berada dan berdiri tepat di sampingku. Dia Alexa. Mengulurkan tangannya dengan anggun membasuh dengan air seolah dia tidak berbicara apapun dan kepada sipapun, dia sedikit membenahi poni di rambutnya dan melirikku.
Alexa menyenderkan dirinya di tembok samping wastafel dan menatapku lamat. “Kalau orang pd nya selangit bahkan kalau dibilangin langit runtuh nggak bakal percaya. Gue salut sih, orang yang pendengarannya baik mendadak jadi budeg.”
Aku melirik Alexa yang terus mencibirku. Tidak perlu banyak berpikir untuk menemukan orang yang dibicarakannya karena itu aku sendiri, “gue heran. Anjing menggonggong kok di tempat sepi, baru lihat gue karena biasanya gue lihat anjing kalau menggonggong di tempat ramai.”
Aku pergi setelah mengucapkan itu. Tidak perlu meladeni orang seperti dia karena pada dasarnya dia takut menggonggong di depan banyak orang dan hanya menggonggong di tempat sepi.
“Jadilah anjing yang baik, dan jangan menggonggong. Takutnya nanti ada yang denger malah nyalahin gue.”
Setelah itu aku benar-benar pergi meninggalkannya yang tengah diliputi amarah. Menurutku lebih sulit meladeni soal matematika daripada meladeni anjing menggonggong yang sedang menggonggong merasa dirinya terlihat galak padahal salah lawan. Aku menggeleng miris mengasihani anjing itu.