NovelToon NovelToon
Jerat Cinta Tuan Mafia

Jerat Cinta Tuan Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Kriminal dan Bidadari
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: Qwan in

Dewi, seorang pelayan klub malam, tak sengaja menyaksikan pembunuhan brutal oleh mafia paling ditakuti di kotanya. Saat mencoba melarikan diri, ia tertangkap dan diculik oleh sang pemimpin mafia. Rafael, pria dingin dengan masa lalu kelam. Bukannya dibunuh, Dewi justru dijadikan tawanan. Namun di balik dinginnya Rafael, tersimpan luka dan rahasia yang bisa mengubah segalanya. Akankah Dewi bisa melarikan diri, atau justru terperangkap dalam pesona sang Tuan Mafia?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 12

Malam-malam berikutnya berubah menjadi neraka yang hidup bagi Dewi. Setiap kali matahari tenggelam dan cahaya bulan menyelinap melalui sela tirai kamar, ia tahu mimpi buruk yang nyata akan dimulai. Rintihan dan jeritan kesakitan kembali terdengar, begitu memilukan dan menusuk hingga tubuh Dewi bergetar hebat. Suara-suara itu seperti hantu yang tak henti-hentinya menghantuinya, seakan berasal dari dinding rumah ini yang menyimpan luka dan darah tak terlihat.

Ia duduk di sudut ranjang, lututnya ditarik ke dada, kedua telapak tangan menutupi telinga sekuat tenaga. Tapi jeritan itu menembus semuanya. Menembus tulang, masuk ke dalam jiwa. Matanya merah, wajahnya pucat seperti mayat hidup. Ia tahu, ia tak bisa tidur. Ia tahu, jika ia terus mendengar suara-suara itu, ia akan gila. Pikirannya tak kuat menampung semua teror yang menari-nari di depannya malam demi malam.

"Berhenti... tolong... berhenti..." bisiknya lirih, hampir tak terdengar. Ia berharap itu hanya mimpi buruk yang akan berakhir saat ia membuka mata. Tapi ini nyata. Semua ini nyata.

Yang paling menghancurkannya adalah saat Rafael menarik tangannya malam itu, menyeretnya ke halaman belakang rumah yang gelap, hanya diterangi obor-obor besar. Ia memaksanya menyaksikan apa yang ia sebut sebagai ‘hukuman untuk penghianat.’

Seorang pria muda diikat tangan dan kakinya, tubuhnya penuh luka lebam, darah mengalir dari pelipisnya. Rafael, dengan mata dingin tak berperasaan, menatap Dewi lalu berkata dengan suara tenang yang membuat darah Dewi membeku,

“Kau harus tahu seperti apa rasanya dikhianati. Ini pelajaran.”

Dewi memekik tertahan saat pintu kandang besi dibuka. Dua ekor harimau putih melangkah keluar, gerakan mereka lambat namun mengancam. Dalam hitungan detik, suasana berubah jadi ladang pembantaian. Jeritan si pria meledak, melengking, mengaduk isi perut Dewi. Ia ingin lari, ingin muntah, ingin pingsan. Tapi Rafael memaksanya untuk tetap melihat.

“Jangan tutup mata. Lihat!” bentaknya sambil mencengkeram dagunya.

Ia melihat. Ia benar-benar melihat. Gigi-gigi tajam mencabik kulit. Cakar menghantam dada hingga daging terkoyak. Darah muncrat ke tanah. Jeritan itu... jeritan yang seolah terus terngiang bahkan setelah semuanya sunyi.

Malam itu Dewi menangis tanpa suara. Air matanya jatuh satu per satu, hingga ia tak lagi sanggup merasakannya. Jiwanya terasa sekarat. Tubuhnya dingin. Bahkan rasa takut pun seperti mati dalam dirinya, tergantikan oleh kehampaan yang membunuh perlahan.

Saat Rafael membawanya kembali ke kamar, tubuh Dewi menggigil. Ia meringkuk di lantai, menolak naik ke ranjang. Ia merasa lantai pun lebih aman daripada tempat tidur yang pernah disentuh Rafael.

“Aku harus pergi,” bisiknya pada dirinya sendiri malam itu. “Aku harus keluar dari rumah ini. Sebelum aku kehilangan akal sehatku. Sebelum aku jadi mayat hidup seperti orang-orang yang dia siksa...”

Namun keluar dari rumah Rafael bukan perkara mudah. Rumah itu dijaga ketat. Kamera tersembunyi di setiap sudut. Para pria bersenjata patroli bergantian. Bahkan pintu kamar dikunci dari luar setiap malam.

Tapi Dewi tahu, jika ia tidak menemukan jalan keluar... maka satu-satunya hal yang tersisa dari dirinya hanyalah jasad tanpa jiwa.

...

Dewi mendengarnya secara tidak sengaja, saat Rafael berbicara melalui telepon di ruang kerjanya. Suaranya yang berat dan dingin terdengar jelas dari balik celah pintu yang sedikit terbuka.

"Besok sore kita bertemu di villa tua itu. Aku membawa istriku, dia harus tau apa saja yang di lakukan suaminya."

Dewi menahan napas. Tubuh nya sempat bergetar. Ia tidak yakin, apakah besok ia akan selamat atau tidak. Yang pasti itu adalah satu-satunya kesempatan yang ia miliki.

Begitu Rafael selesai bicara dan menjauh, Dewi mundur perlahan dari pintu, jantungnya berdetak kencang seolah hendak meloncat keluar dari dada.

Malam itu Dewi tak tidur. Ia duduk menatap jendela kamar, merencanakan semuanya. Ia tak punya siapa-siapa untuk dihubungi, tak ada ponsel, tak tahu arah kota atau peta jalan. Tapi ia tahu: selama ia bisa lari sejauh mungkin dari Rafael, dari monster itu. maka semuanya layak dicoba.

Keesokan harinya, mata Dewi bengkak, tubuhnya lemah, tapi semangatnya bertahan. Ia mengenakan gaun panjang selutut berwarna hitam, diperintahkan Rafael agar tampil pantas di hadapan para relasi gelapnya. Sepasang heels hitam mengkilap menghiasi kakinya, tapi baginya sepatu itu terasa seperti borgol yang akan memperlambat langkahnya menuju kebebasan.

“Cantik.” Rafael menggenggam tangannya. “Jangan berbuat macam-macam di depan mereka. Tersenyumlah.”

Dewi mengangguk, bibirnya menekuk membentuk senyum tipis yang palsu, matanya tidak memancarkan kebahagiaan sedikit pun. Dalam hati, ia terus mengulang mantra penyemangat: Hari ini aku akan bebas. Hari ini aku akan pergi.

Mobil hitam itu melaju pelan keluar dari gerbang besar rumah Rafael. Dua pria duduk di depan sebagai pengawal. Dewi duduk di belakang bersama Rafael. Matanya mencuri-curi pandang ke luar jendela, menghafal jalan, melihat kondisi jalanan, menghitung peluang.

Dan lalu, saat mobil berhenti di lampu merah. saat waktu seperti menahan napas bersama Dewi. ia tahu ini saatnya.

Ia memalingkan wajah ke arah Rafael, tersenyum manis seolah berbicara manja,

“Aku haus...”

Rafael baru akan menjawab saat.

klik!

Dewi membuka pintu mobil.

Lalu ia berlari.

Tanpa menoleh, tanpa berpikir, hanya berlari.

Heels di kakinya membuatnya nyaris terjatuh. Nafasnya memburu. Mobil di belakang membunyikan klakson. Teriakan terdengar. Tapi ia tak peduli.

Dengan gerakan kasar, ia menunduk, melepaskan sepatu itu dari kakinya dan membuangnya ke arah tak tentu. Kakinya kini menginjak aspal panas, tajam, menyakitkan. tapi itu tidak lebih menyakitkan dari apa yang telah ia alami selama ini.

Tangisnya pecah di tengah lari, antara rasa takut, rasa lega, dan ketidakpastian. Orang-orang di pinggir jalan menoleh, beberapa berteriak, tapi ia tidak berhenti. Ia tak akan berhenti. Ia bahkan tak tahu ke mana harus pergi. yang ia tahu, ia hanya harus menjauh dari mobil itu, dari Rafael, dari semua jeritan malam yang menghantuinya.

Di belakangnya, suara langkah kaki mulai terdengar. Suara teriakan samar memanggil namanya.

Tapi Dewi terus berlari. Tubuhnya gemetar. Kakinya berdarah. Tapi jiwanya mulai hidup kembali.

Teriakan itu makin dekat. Nafas Dewi tersengal, dadanya seperti diremas dari dalam. Setiap langkah terasa seperti ditusuk duri. Ia tak peduli. Ia menyeberang jalan tanpa memperhatikan kendaraan, hampir ditabrak sebuah motor. Si pengendara memaki, tapi Dewi bahkan tak sempat menoleh. Ia terus berlari, masuk ke gang sempit yang hanya muat satu badan.

Suara sepatu menghentak aspal. “DEWI!”

Itu suara Rafael.

Panik memuncak. Ia tersandung batu, jatuh menabrak dinding gang. Lututnya tergores kasar. Tapi ia bangkit lagi. Luka fisik bukan masalah. Yang ia khawatirkan hanyalah jika Rafael berhasil menangkapnya kembali. Ia tak akan selamat untuk kedua kalinya.

Saat gang berakhir, Dewi mendapati dirinya berada di jalan pasar kecil yang mulai ramai. Ia menyelinap di antara penjual sayur, sembunyi di balik tumpukan karung. Nafasnya tercekat. Jantungnya berdentum kencang. Ia memeluk tubuhnya sendiri, gemetar.

Di kejauhan, langkah kaki berat terdengar. Rafael.

Ia melihat ke sekeliling. Tak ada jalan kabur. Ia mendongak, melihat seorang ibu paruh baya yang sedang mengatur dagangannya. Mata mereka bertemu.

Ibu itu memicingkan mata. “Kamu kenapa, Nak?”

Dewi tak bisa bicara. Air matanya menetes lagi. Ia hanya menggeleng, bibirnya bergetar.

Ibu itu mendekat, lalu menyentuh lengan Dewi pelan. “Kamu lari dari seseorang?”

Dewi mengangguk cepat, seperti anak kecil yang ketahuan berbuat salah.

Tanpa bertanya lebih lanjut, ibu itu menarik Dewi masuk ke balik lapaknya. Ia menunjuk ke tumpukan kain dan menyuruh Dewi tiarap, lalu menutupinya dengan karung bekas.

Tak lama kemudian, suara berat itu terdengar jelas. “Lihat perempuan lewat sini?”

“Iya, barusan. Lari ke arah sana.” si ibu menunjuk ke arah berlawanan. Rafael mengumpat lalu berlari pergi.

Dewi menahan napas selama beberapa menit. Setelah semuanya sunyi, ibu itu membuka karung dan menarik Dewi keluar.

“Nama Ibu Rahayu. Kamu ikut ke rumah Ibu dulu. Aman di sana.”

Dewi menatap wajah Ibu Rahayu yang keriput namun bersinar dengan ketulusan. Tangannya masih menggenggam lengan Dewi, hangat, seperti pelukan yang sudah lama tak ia rasakan. Hatinya bergetar, keinginan untuk bersandar dan menerima tawaran itu begitu besar. Tapi lalu bayangan Rafael kembali menyergap pikirannya—mata dingin itu, suara mengancam itu, binatang buas di halaman belakang rumah, dan darah.

Jika Rafael sampai tahu siapa yang membantunya, Dewi tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada ibu penjual sayur ini.

Ia menarik napas dalam-dalam, lalu perlahan melepaskan genggaman tangan Ibu Rahayu.

“Ibu... terima kasih,” ucapnya lirih, matanya mulai berkaca-kaca. “Kalau bukan karena Ibu, mungkin aku sudah tertangkap.”

Ibu Rahayu mengangguk penuh pengertian. “Sudah, Nak. Yang penting kamu selamat. Ikut saja ke rumah Ibu. Biar nanti kita cari cara sama-sama.”

Dewi menggeleng dengan lembut. Ia menunduk, lalu tersenyum getir. “Maaf, Bu. Aku tidak bisa. Aku... aku takut kalau mereka tahu Ibu menolongku. Aku gak mau Ibu kenapa-kenapa.”

“Tapi, Nak...”

“Ibu sudah bantu aku lebih dari cukup. Tolong... jangan ingat wajahku, jangan ingat namaku. Anggap aku cuma orang asing yang lewat,” ucap Dewi sambil menahan isak. Ia tahu, jika ia tetap tinggal, ia akan menyeret orang baik ini ke dalam bahaya.

Ibu Rahayu menatapnya lama, lalu akhirnya mengangguk pelan. “Kalau begitu, hati-hati, ya, Nak. Tuhan jaga kamu...”

Dewi hanya bisa membalas dengan senyuman samar yang hancur, lalu memeluk Ibu Rahayu sebentar. pelukan singkat yang penuh rasa syukur dan duka. Setelah itu, ia bangkit, menyeka air mata yang masih terus mengalir, dan melangkah keluar dari balik lapak, kembali ke jalanan.

Langkahnya pincang, lututnya masih berdarah, telapak kakinya penuh luka, tapi ia tak berhenti. Ia harus terus berjalan. Meninggalkan pasar, meninggalkan kebaikan singkat yang ia temui, demi menyelamatkan orang-orang yang tak bersalah dari bayang-bayang Rafael.

Ia melewati gang sempit, lorong-lorong lengang, lalu trotoar berdebu. Dunia tampak asing. Wajah-wajah orang-orang seolah tak memperhatikannya, padahal di balik pandangan kosongnya, Dewi sedang bertarung untuk hidup. Jantungnya berdetak tak beraturan, perutnya kosong, tubuhnya lemah, tapi setiap langkah adalah kemenangan kecil atas ketakutan yang selama ini mengurungnya.

1
Myōjin Yahiko
Bikin nagih bacanya 😍
Silvia Gonzalez
Gokil abis!
HitNRUN
Bingung mau ngapain setelah baca cerita ini, bener-bener seru!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!