SUDAH TERBIT CETAK
"Aku mau riset ke Jepang."
Menjadi awal dari kandasnya mimpi indah Anggi bersama Dio, the first love never die.
Ditambah tragedi yang menimpa kedua orangtua Dio, membuat masa depan yang sejak lama diangankan harus pupus dalam sekejap.
Namun ketika Anggi masih berusaha menata hati yang retak, Rendra datang hanya untuk berkata,
"I just simply love you."
"Gimme a chance."
A romantic story about Dio-Anggi-Rendra
--------------
Season 1 : Kisah Tak Berujung Bad Senior in love
Season 2 : Always Gonna be You
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sephinasera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29. "You're Every Reason"
"You're Every Reason"
(Engkaulah (yang menjadi) alasannya -mengandung makna kiasan-)
------------------
Anggi
Ia tahu betul apa yang akan dilakukan Rendra, meski tak pernah terucap. Jadi, ia berusaha untuk menutup semua kemungkinan yang bisa dijadikan akses masuk oleh Rendra.
Pertama, ia mengunci pintu depan dan pintu belakang kostnya dengan kunci baru. Yang sengaja dipesan secara khusus di tukang kunci tadi siang.
Ia bahkan tak memedulikan protes seluruh penghuni Raudhah, yang keberatan karena harus mengeluarkan uang iuran tambahan guna membuat kunci cadangan baru. Agar bisa dipegang oleh masing-masing orang. Baginya, safety's first.
Kedua, memanggil tukang langganan Mba Suko. Untuk menambah beberapa selot baru di setiap pintu dan jendela utama kost. Baik di bagian depan, samping, maupun belakang. Guna menutup semua kemungkinan akses masuk bagi Rendra.
Kalaupun nekat, minimal selot tambahan bisa memperlambat waktu. Saat Rendra berusaha masuk ke Raudhah. Sehingga ia bisa menyusun plan b. Dan memikirkan cara lain untuk tetap bersembunyi agar tak diketemukan.
Urusan jalan masuk utama selesai, kini konsentrasi beralih ke kamar kostnya. Ia juga mengganti kunci kamarnya dengan yang baru. Menambah selot di beberapa titik. Termasuk untuk 2 buah jendela di kamarnya.
Meski jendela telah diberi teralis, namun selot tambahan jelas berguna untuk mengulur waktu. Saat Rendra tetap berusaha memaksa masuk.
Sekaligus memberi label semua kunci baru sedetail mungkin. Agar tak sampai tertukar saat diperlukan. Tentu ia tak mau tertangkap basah dengan konyol. Seperti para pencuri di sekuel film Home Alone, yang lupa akan kunci yang tepat untuk sebuah pintu. Hell no.
Langkah antisipasi terakhir adalah membuat daftar panggilan darurat di ponsel, dengan urutan :
Nomor Polisi 110.
Nomor Ambulans 118 dan 119.
Nomor Pemadam Kebakaran 113.
Nomor Badan SAR Nasional 115.
Nomor Posko Bencana Alam 129.
Nomor Darurat Telepon Seluler dan Satelit 112.
Tersimpan juga di ponselnya nomer telepon ambulans untuk wilayah Jogja, Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan hotline Konseling Masalah Kejiwaan. Direktorat Bina Pelayanan Kesehatan Jiwa Kemenkes RI.
Berlebihan? Namanya juga antisipasi. Mencegah semaksimal mungkin setiap celah yang bisa membuat Rendra masuk ke kamar kostnya. Sekaligus menyusun rencana selanjutnya jika Rendra berhasil masuk.
Jadi, menyimpan nomor hotline dari Kepolisian, Komnas HAM, Komnas Perempuan, lembaga manapun yang bisa memperkarakan Rendra, akan sangat membantunya dalam menentukan langkah ke depan.
Setelah semua checked, ia bisa sedikit bernapas lega. Malam ini akan dilalui dengan tenang. Bisa tidur dengan nyenyak. Jikalau bahaya mengancam, ia telah siap dengan rencana cadangan selanjutnya.
Namun sukses tak bisa diraih, malang tak dapat ditolak. Baru tertidur sebentar, sebuah ketukan pelan terdengar di pintu kamarnya.
Tok Tok Tok
"Anggi ...."
Ia terperanjat. Sudah berapa lama ia tertidur? Perasaan baru sebentar.
Dilihatnya jam dinding menunjukkan pukul 01.30 WIB. Tidur selama 3 jam pastinya bukan waktu yang sebentar. Tapi ia merasa baru memejamkan mata.
Tok Tok Tok
"Anggi ...." itu suara Salsa.
"Iya, Mba?"
"Tolong buka pintunya, ada tamu."
Ia mengkerut, ada orang bertamu dinihari? Yang benar saja.
"Siapa, Mba?"
"Ada Pak Polisi nyari kamu."
Polisi? Apakah Polisi telah berhasil meringkus Rendra? Dengan tuduhan mengganggu ketertiban umum?
Tapi bukankah ia bahkan belum membuat laporan kepada pihak kepolisian? Sungguh tak disangka, Polisi bahkan langsung bisa mengetahui isi hatinya. Such a miracle.
Tanpa memperhatikan penampilannya yang baru bangun tidur, ia pun membuka pintu kamar.
"Saudara Anggi, sebagai pihak pertama. Kami menerima laporan dari saudara Rendra, pihak kedua. Bahwa saudara telah melakukan perbuatan ilegal dan tidak menyenangkan dalam usaha menghindari pertemuan dengan saudara pihak kedua. Dengan ini, kami memanggil saudara pihak pertama untuk mempertanggungjawabkan perbuatan melanggar hukum dan menimbulkan keresahan masyarakat ke kantor kepolisian terdekat. Keputusan ini bersifat mutlak dan mengikat."
APA?
"Jika saudara pihak pertama menolak panggilan ini, akan dikategorikan sebagai tindak pidana menurut KUHP. Adapun ancaman hukuman bagi orang yang menolak panggilan sebagai saksi, telah diatur dalam pasal 224 ayat (1) KUHP."
Ia melotot tak percaya melihat 2 orang aparat kepolisian berseragam Densus 88 lengkap dengan kokangan senapan laras panjang berdiri di depan pintu kamar kostnya.
"Karena beratnya pelanggaran yang telah dilakukan, saudara pihak pertama tidak akan didampingi kuasa hukum selama proses penyelidikan berlangsung."
Berdiri di antara dua aparat, seorang berjaket hijau dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana jeans. Sembari memasang wajah sengak penuh kemenangan, dengan dagu yang sedikit terangkat ke atas sambil tersenyum miring, all hail Rendra.
Sementara Salsa memperhatikan dari belakang. Diikuti oleh seluruh penghuni Raudhah yang memandanginya dengan mata berkaca-kaca.
"Apa-apaan? Di sini yang menjadi korban adalah saya. Kenapa justru ditangkap? Di mana letak keadilan di negeri ini?!" ia meraung marah.
"Sweetie, bangun tidur aja cantik," senyum Rendra semakin miring.
"Dia yang salah pak! Dia yang jahat! Dia pernah melecehkan saya!" ia terus meraung.
"Ssshhhh ... sweetie," tuduhanmu sangat menyakitkan dan sungguh tak berdasar," lagi-lagi bukan aparat yang menjawab, tapi Rendra. Huh!
"Tahu nggak, aku udah berusaha sabar menghadapi kamu. Menunggu sampai kamu siap bicara denganku. Tidak melakukan hal-hal yang sebenarnya sangat bisa dan biasa kulakukan. Ini adalah cobaan paling berat yang pernah terjadi dalam hidupku," ucap Rendra dengan senyum miring yang khas.
"Apa kamu tahu ... berapa banyak usaha yang telah kulakukan agar bisa berkomunikasi denganmu?" lanjut Rendra.
"Apa kamu tahu ... seberapa besar ujian yang kuhadapi dalam usaha ketemu kamu?"
"Apa kamu tahu ... berapa banyak kerugian materiil dan immateriil yang kualami dalam usaha tersebut?"
Ia menggeleng-gelengkan kepala sambil terus menangis. "Tidak! Pergi! Pergi semua!!"
"Saudara pihak pertama, tolong kerjasamanya!" bentak salah satu aparat mulai hilang kesabaran.
"Jangan memaksa kami melakukan tindak kekerasan!" tangan aparat tersebut mulai mengokang senapan dan mengarahkannya dalam posisi menembak, tepat ke kepalanya.
"Tenang Pak, biar saya yang handle," bisik Rendra, tenang dan lembut.
Persis seperti saat Rendra memeluknya dari belakang di dapur Pitaloka. Sambil berbisik halus, mowning babe.
Dan pikiran aneh ini berhasil membuat bulu kuduknya meremang, hanya demi mengingat kejadian tersebut.
Sementara itu, kedua aparat menuruti kemauan Rendra bagai dicokok hidungnya. Mereka langsung menurunkan senapan.
"Biar bagaimanapun, saya sangat mencintainya, Pak. Saya tahu ... dia juga sebenarnya mencintai saya. Hanya karena rasa malu dan ego, dia enggan mengakuinya," lanjut Rendra yakin dengan kepercayaan diri tingkat dewa.
"Jadi, terima kasih atas kerjasama bapak-bapak sekalian. Saya sangat menghargainya," Rendra mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan kedua aparat tersebut.
"Tugas Bapak-bapak sudah selesai, sekarang bagian saya," ujar Rendra sambil tersenyum.
Kedua aparat mengangguk setuju. Namun mereka masih berdiri mematung di depan pintu.
"Sweetie,
(sayang)
some things you see with your eyes,
(beberapa hal kau lihat dengan matamu)
others you see with your heart.
(tapi hal lain -seharusnya- kau lihat dengan hatimu)
I'm not the same person since i met you.
(aku bukanlah orang yang sama sejak bertemu denganmu)
I just simply love you.
(aku hanya mencintaimu)
Iam who iam because of you.
(aku adalah diriku karenamu)
You're every reason, every hope, and every dream i've ever had
(kaulah alasan, harapan, dan semua mimpi yang pernah kumiliki)
no matter what happens."
(walau apapun yang akan terjadi)
"Tutup mulutmu dan PERGI!!!!" ia menjerit marah sambil membanting pintu. Napasnya tersengal karena kemarahan yang memuncak.
Bagaimana bisa seluruh usaha keras dan maksimal mencegah Rendra masuk ke kamar kostnya gagal total? Bahkan tanpa usaha dan perlawanan sedikitpun. Pihak kepolisian pun justru berpihak pada Rendra. God damn it!
Tok Tok Tok
Pintu kamarnya kembali diketuk. "Sweetie, gimme a chance (sayang, berilah aku kesempatan) ...." suara Rendra tak berubah, tetap lembut dan tenang.
"Pergi! Dan jangan pernah kembali!" teriaknya histeris sambil menangis tersedu-sedu.
Kini ia terduduk di lantai kamar dengan air mata mengalir deras di kedua pipi. Napasnya semakin tersengal karena amarah yang memuncak.
Tok Tok Tok
"Pergi!!!" teriakannya semakin keras.
Tok Tok Tok
"Anggi!"
"Anggi!"
"Anggi!"
Sayup-sayup suara Rendra terdengar semakin menjauh dan mengecil. Digantikan oleh suara lain yang lebih menggelegar.
Tapi sebentar, mengapa suara Rendra berubah menjadi suara perempuan?
Tok Tok Tok
"Anggi!"
Ke mana Rendra pergi? Itu jelas suara perempuan.
Ia mencoba menajamkan pendengaran sambil mengerjapkan mata yang terasa lengket.
Apa keadaan di luar sudah aman? Rendra dan dua aparat tadi sudah pergi?
"Anggi ... kenapa teriak-teriak? Udah hampir subuh," begitu suara Salsa sayup-sayup terdengar di telinganya.
"Kamu ngigau ya? Bangun dulu Nggi, bangun!"
Ia tersentak bangun lalu melihat sekitar.
Ia kini sedang duduk di atas kasur, bukan lantai kamar.
Bajunya basah kuyup karena keringat dingin yang membanjiri seluruh tubuh. Hingga membekas di atas bantal dan kasur. Meninggalkan tanda seperti gugusan pulau-pulau besar.
Sisa air mata masih mengalir di pipi. Sebagian mulai mengering. Membuat pipinya terasa kaku dan lengket saat menelan ludah. Napasnya bahkan masih tersengal-sengal.
"Anggi, istighfar, kamu mimpi buruk ya?"
Astaghfirullahaladzim, ia berusaha mengatur napas agar kembali normal. Apa yang baru saja terjadi?
"Anggi?"
"I-iya Mba Salsa, aku udah bangun," ia terpaksa setengah berteriak memberitahu Salsa, jika tak lagi sedang bermimpi.
Jam dinding menunjukkan pukul 04.30 WIB. Dengan napas memburu, ia langsung meraih ponsel yang tersimpan di atas nakas.
"Mal, aku pengin ngobrol."
"Jir?!" terdengar suara teriakan tertahan dari seberang telepon. "Apa-apaan sih pagi-pagi random! Bangunin orang tidur aja!"
"Aku pingin ngobrol nanti abis kelas, please."
Tapi Mala malah langsung menutup ponselnya kesal. Klik.
***
peuyeum kali ya