Ajeng merasa lega setelah mengetahui jika foto mesra suaminya dengan seorang wanita yang diterimanya dari seorang pengirim misterius hanyalah sebuah rekayasa. Ada seseorang di masa lalu suaminya yang ingin balas dendam. Namun, rasa lega itu tak berlangsung lama karena ini hanyalah pembuka dari sebuah pengkhianatan besar yang telah dilakukan oleh suaminya. Bisakah Ajeng memaafkan suaminya setelah mengetahui kebohongan itu.
Cakra, seorang pengusaha sukses yang mendambakan kehadiran seorang anak dalam pernikahannya, tapi istrinya yang merupakan seorang dokter di sebuah rumah sakit ternama belum ingin hamil karena lebih memilih fokus pada karirnya terlebih dahulu. Suatu waktu, Cakra mengetahui jika istrinya telah dengan sengaja menggugurkan calon anak mereka. Cakra murka dan rasa cinta pada istrinya perlahan memudar karena rasa kecewanya yang besar.
Dua orang yang tersakiti ini kemudian dipertemukan dan saling berbagi kisah, hingga benih-benih cinta muncul di hati keduanya.
Bagaimanakah kisah mereka selanjutnya? Ikuti ceritanya dalam 2 Hati yang Tersakiti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Annisa A.R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Missunderstanding
...🌷Selamat Membaca🌷...
Cakra kalang kabut saat Ajeng mempertanyakan maksud dari kalimatnya yang terdengar ambigu. Ia sendiri heran kenapa bisa berbicara seperti itu.
"Maksudku, menolong adalah suatu perbuatan yang baik, jadi aku suka melakukannya." Cakra berkilah. Jujur saja, jika orang itu bukan Ajeng, ia akan berpikir dua kali untuk membantunya, terkhusus bagi orang asing.
"Oh..." Wanita hamil itu mengangguk saja mendengar penjelasan Cakra, ia pun melanjutkan kegiatan makannya.
Cakra menghela napas lega, untung saja ia tidak berakhir dengan mempermalukan diri sendiri. Ajeng, wanita itu membuatnya tidak bisa abai begitu saja. Semua yang berhubungan dengan Ajeng, Cakra sangat ingin terlibat di dalamnya. Sejak awal mengenal wanita itu, mengetahui semua permasalahan yang dihadapinya, ia selalu ingin membantu. Entah perasaan apa yang hinggap di hatinya untuk wanita cantik itu, tapi satu yang pasti, perasaan ingin melindungi selalu mendominasi.
"Kenyang sekali..." Ajeng bersendawa keras disaat semua makanan yang dibawa Cakra habis tak bersisa. "Ups..." Setelah sadar jika di ruangan itu dia tidak sendiri, Ajeng langsung membekap mulutnya. "Maaf, aku tidak sopan sekali. Semoga kau tidak illfeel kepadaku," cicit Ajeng sambil memandang tak enak pada Cakra.
Lagi-lagi pria itu hanya tersenyum menyikapi polah Ajeng. "Wajar bersendawa bagi orang yang kekenyangan. Aku tidak akan illfeel hanya karena masalah itu. Tenang saja," ucap Cakra.
"Kau baik sekali..." Ajeng sungguh terharu bisa bertemu dan berkenalan dengan pria baik dan pengertian seperti Cakra. Pria itu selalu ada disaat dirinya susah dan butuh bantuan.
Cakra sedikit tersipu kala pujian akan dirinya dilontarkan oleh Ajeng. Pria itu berusaha sekuat tenaga agar tidak tersenyum. Ia akan terlihat bodoh jika sampai melakukan hal itu.
"Su-sudah jam dua, aku harus kembali ke kantor," ucap Cakra kemudian.
"Iya, sekali lagi terima kasih." Ajeng memberikan senyuman manisnya sebagai ungkapan rasa syukur karena kebaikan Cakra.
"Jangan sungkan, aku senang membantu. Kalau begitu aku pamit, sampai jumpa!" Cakra pun pamit.
"Apa kau akan datang berkunjung lagi?"
Saat pria itu sampai di ambang pintu, Ajeng bertanya dengan sedikit berteriak. Pria itu menoleh dan tersenyum. "Tentu. Jika kau tidak keberatan."
"Tidak. Aku tunggu," sahut Ajeng cepat.
.......
Cakra tidak tahu apa yang salah pada dirinya, hari ini ia banyak tersenyum dan semua itu karena Ajeng. Namun, bayangan wanita cantik yang baru saja ditemuinya itu pudar kala matanya melihat sang istri yang kini tengah berjalan menghampirinya.
"Mas, kau di sini? Ada apa? Kau baik-baik saja, kan?" Silvia bertanya khawatir. Ia langsung memeriksa tubuh tegap Cakra demi menemukan luka yang membuat suaminya harus datang ke rumah sakit.
Cakra mendorong pelan tubuh Silvia yang tengah menjamah tubuhnya. "Aku baik-baik saja," ucapnya.
"Lalu apa yang kau lakukan di sini?" tanya dokter wanita itu heran.
"Menjenguk teman."
"Siapa?"
"Untuk apa kau ingin tahu segalanya. Lagi pula itu tidaklah penting!" jawab Cakra dingin.
"Oh, maaf." Silvia menunduk. Merasa malu karena sikap dingin Cakra itu diperlihatkan di depan beberapa rekan dokternya yang lain.
"Aku pergi."
Silvia memandang kepergiaan suaminya dengan perasaan sedih bercampur kesal. Sedih karena belakangan ini Cakra sering mengabaikannya dan kesal karena pria itu telah membuat dirinya malu di hadapan rekan kerjanya.
"Seperti itu sikap suamimu? Apa kalian menikah karena dijodohkan?" Seorang dokter pria yang berdiri di samping Silvia berbisik pelan di telinga wanita itu. Nada suaranya terdengar meremehkan.
Silvia menatap tajam dokter pria yang kini tengah tersenyum mengejek ke arahnya. "Kami menikah karena saling mencintai. Jadi jangan sok tahu!" desisnya.
"Tapi jika ku lihat, tak ada cinta di mata suamimu itu."
"Sudah ku bilang, jangan sok tahu!" ucap Silvia geram.
"Dokter Satria, Dokter Silvia, kita harus bergegas ke ruang rapat!" kata salah satu rekan yang bersama kedua orang itu.
"Iya." Mereka menjawab kompak.
Sepanjang perjalanan, Silvia tak henti mengerling sinis ke arah dokter pria bernama Satria itu.
.......
Hari merangkak malam, tak terasa Radi sudah lima jam berada di rumah lamanya ditemani sang anak. Saat ini Maya sedang memasak makan malam ditemani pelayan. Sore tadi mereka sempat berbelanja.
"Mas, makan dulu. Biar Lingga bersamaku. Sudah waktunya dia menyusu." Maya mengambil alih bayinya dari gendongan Radi. Sedari siang tadi, pria itu tak pernah lepas dari sang anak. Terlihat asyik menggoda dan bermain dengan Lingga yang belum bisa apa-apa.
Ditemani Maya, Radi menyantap makan malamnya di meja makan dengan hikmat. Sedangkan Maya duduk di depannya sembari menyusui Lingga tanpa sungkan dengan keberadaan Radi yang bisa saja melihat bagian dadanya yang terbuka.
Sesekali pandangan Radi tertuju pada Lingga yang tengah asyik menyedot asi dari ****** sang ibu, mau tak mau hal itu juga membuat Radi melihat bulatan sintal milik Maya yang merupakan sumber makanan bagi bayinya. Jakun pria itu naik turun demi menyaksikan semua itu. Ia membayangkan jika dirinyalah yang saat ini tengah menyusu.
"Shit!" Radi menggeram pelan. Sesuatu di bawah sana terasa sesak. Dengan cepat pria itu menyudahi makannya dan berlari cepat menuju toilet. Menuntaskan hasrat yang tak bisa tersalurkan ke tempat semestinya.
.......
"Apa kau baik-baik saja?"
Radi terperanjat saat keluar kamar mandi karena langsung berhadapan dengan Maya. Pria itu bergerak canggung takut jika Maya tahu apa yang baru saja dilakukannya di kamar mandi.
"Aku akan pulang sekarang," ucap Radi tanpa mau menjawab pertanyaan Maya sebelumnya. Pria itu hendak melangkah pergi, tapi sebelah tangannya ditahan oleh ibu dari anaknya itu.
"Aku tahu apa yang baru saja kau lakukan. Kalau kau mau, aku bisa bantu." Maya berbisik di belakangnya.
"Apa-apaan kau ini!" Radi menyentak tangan Maya agar melepaskan pegangannya. Bisa-bisanya wanita itu menggodanya dalam keadaan seperti ini. "Jaga batasanmu!" peringat Radi.
Maya merengut tak senang mendapati reaksi Radi yang terang-terangan menolaknya. "Aku hanya ingin membantu ayah dari anakku, apa itu salah?" tanyanya mengiba.
"Salah, karena aku sudah punya istri!"
"Kalau begitu jadikan aku istrimu juga," pintanya.
"Jangan melunjak!"
"Lingga butuh kedua orang tuanya. Apa salahnya jika kita menikah dan kita rawat anak kita bersama."
Radi mengetatkan rahang mendengar permintaaan tak masuk akal wanita di depannya. "Jadi maksudmu aku harus menceraikan istriku, begitu?"
"Kita tidak perlu mendaftarkan pernikahan kita secara resmi, nikah secara agama saja cukup buatku," bujuk Maya.
Radi tertawa sumbang. "Buatmu? Bukankah kau tadi mengatakan jika itu semua buat Lingga?"
Maya tertohok, jelas sekali niatnya ingin menikah dengan Radi itu bukan semata-mata karena sang anak, tapi ada niat terselubung lainnya.
"Percuma saja menikah jika tidak resmi, Lingga juga tidak akan tercatat sebagai anakku," kata Radi.
"Kita menikah resmi saja!" Dengan seenaknya Maya kembali berkata.
"Kau sudah tidak waras? Aku sama sekali tidak mencintaimu dan juga aku tidak ingin memiliki dua istri!" bentak Radi yang sudah muak mendengar rengekan Maya.
"Ceraikan saja istrimu lalu menikah denganku!"
PLAKK
Satu tamparan dihadiahi Radi untuk Maya. "Jangan mimpi! Aku tidak akan pernah menikahimu. Aku hanya bertanggung jawab pada Lingga, bukan padamu. Ingat hal itu baik-baik! Sekali lagi kau merengek seperti ini, maka akan ku pisahkan kau dari anakmu!" ancam Radi. Ia berjalan meninggalkan Maya tapi lagi-lagi wanita itu menghentikannya. Kali ini Maya memeluk erat tubuh Radi dari belakang.
"Aku mencintaimu, Mas. Aku mencintaimu."
"Aku hanya mencintai istriku!" Radi melepas paksa pelukan Maya dan segera berlari pergi dari rumah itu.
Tubuh Maya jatuh merosot ke lantai. Sepertinya cara apapun yang ia lakukan tidak bisa membuat Radi lebih dekat dengannya. "Baiklah. Jika kau tidak mau menceraikan istrimu, maka akan ku buat istrimu yang akan melepaskanmu." Wanita itu tersenyum miring. Bagaimana pun ia harus mengamankan posisinya dan juga bayinya di dalam kehidupan Radi. Jika masih ada Ajeng, hidupnya tidak akan bisa tenang.
...🌼 🌼 🌼...
Hari ini Ajeng keluar dari rumah sakit. Robi mengantarkannya ke apartemen karena wanita itu yang meminta. Sampai di rumah keduanya itu, Ajeng disambut oleh Bagas dan Tania.
Berbagai hidangan telah disediakan demi menyambut kedatangan Ajeng. Tania dan Bagas lah yang telah menyiapkan semua itu.
"Ayo kita makan, aku tahu saat di rumah sakit pasti makanmu tidak enak." Tania membimbing Ajeng menuju meja makan.
"Kau salah, Tan. Di rumah sakit aku selalu mendapat makanan yang enak. Mas Cakra datang setiap hari dan membawakanku makanan yang lezat untukku." Ajeng membatin.
.......
Selesai makan, Robi dan Bagas sibuk di dapur membersihkan bekas makan mereka. Tania menyusui Arka di kamar, sedangkan Ajeng beristirahat di ruang tengah. Tak berselang lama, terdengar suara bel berbunyi. Ajeng berjalan pelan ke pintu masuk dan membukanya.
"Hai..."
Ajeng melotot tak percaya. "Mas Cakra? Kenapa kau ada di sini?"
"Apa aku tidak boleh ke sini?" tanya Cakra yang merupakan tamu Ajeng.
"Eh ... boleh, kok. Ayo masuk!"
"Ini, aku bawakan sesuatu." Sampai di ruang tamu, Cakra menyerahkan kotak yang dibawanya kepada Ajeng.
Ajeng mengernyit saat melihat logo pada kotak yang dibawa pria itu, seperti familiar untuknya.
"Ini kue dari tokoku?" tanya Ajeng setelah menyadarinya.
"Iya, toko kuemu adalah yang terbaik di kota ini."
"Ah ... kau bisa saja." Ajeng tersenyum sipu karena pujian Cakra.
Saat Ajeng akan mevmbuka kotak kue itu, suara bel kembali terdengar. "Tunggu sebentar, akan ku lihat siapa yang datang." Ajeng berdiri dan berjalan pelan ke arah pintu masuk.
Cakra yang merasa kasihan melihat Ajeng yang begitu hati-hati saat berjalan, memilih bangkit dari duduknya. "Biar aku yang buka," katanya.
Cklekk
Pintu terbuka, tampaklah seorang pria berambut kusut dengan dandanan yang sedikit berantakan berdiri di ambang pintu.
"Pak Radi?" sapa Cakra kaget.
"Pak Cakra?" Radi menatap bingung. Menurut informasi dari orang suruhannya, apartemen ini adalah milik Ajeng, tapi kenapa malah Cakra yang ditemukannya.
"Siapa yang datang, Mas?" Ajeng muncul dari belakang.
Deg
Radi terbelalak melihat kemunculan sang istri dari dalam dan tadi apa ia tidak salah dengar, Ajeng memanggil pria di depannya dengan panggilan 'mas'. Sudah sedekat apa hubungan mereka.
"Mas Radi?" Ajeng tergagap. Ia tidak menyangka jika Radi akan menemukannya.
Suami Ajeng itu menyelonong masuk ke dalam apartemen, ia mendorong tubuh Cakra agar menyingkir dari jalannya. Sampai di dalam, Radi mencengkram kedua bahu Ajeng, matanya menatap istrinya tajam. Ada kilat amarah di manik berkilat pria itu.
"Bagus. Aku mencarimu susah payah, sementara kau, berdua-duaan dengan pria lain di dalam apartemen ini? Istri macam apa kau, hah?!" teriak Radi tepat di muka Ajeng.
"A-aku..." Ajeng ketakutan. Baru kali ini ia menghadapi kemarahan Radi yang terlihat sangat mengerikan.
"Pak Radi, bisakah kau bersikap sedikit lembut pada istrimu?" Cakra yang tak suka melihat Ajeng diperlakukan seperti itu, mulai memprotes. Ia melepaskan tangan Radi pada bahu Ajeng.
"Jangan ikut campur urusanku, Cakra Adibrata!" bentak Radi emosi.
Cakra terhenyak. Pria itu diam mematung di tempatnya.
"Jawab, Jeng! Apa yang kau lakukan dengan pria brengsek ini di dalam apartemen berduaan?"
"A-aku ti-tidak ... hiks." Ajeng tergugu. Ia sungguh takut.
"JAWAB!" Radi mengguncang tubuh Ajeng menuntut jawaban.
"Sakit..." rintih Ajeng.
"Kau keterlaluan, Bung!" Cakra sudah tidak bisa diam lagi, ia membalik tubuh Radi dan mencengkram erat kerah kemejanya.
Radi tersenyum sinis. "Kenapa? Kau marah karena aku menyakiti selingkuhanmu?"
BUGHH
Satu bogem mentah diberikan Cakra di pipi Radi, pria itu langsung jatuh tersungkur. "Aku dan istrimu tidak ada hubungan apa-apa, kami hanya berteman." Cakra menjelaskan.
"Teman? Cuihhh...." Radi meludahkan darah yang terasa anyir di mulutnya. Sudut bibir pria itu pecah hingga mengeluarkan darah. "Aku tidak menyangka jika pengusaha ternama seperti dirimu ini adalah seorang perebut istri orang."
"KAU!"
"CUKUUUUUP!"
Cakra yang hendak meninju kembali Radi, dihentikan oleh teriakan Ajeng. Mendengar teriakan itu, Robi, Bagas dan Tania langsung menuju tempat kejadian.
"Ajeng!" pekik Tania saat melihat Ajeng limbung. Wanita itu langsung berlari dan membantu temannya.
"Radi, apa yang kau lakukan di sini?" Itu adalah suara Bagas.
"Bagas?" Radi mengucap nama itu dengan terbata. Dilihatnya jika di sana, ada beberapa orang lagi, tidak hanya Ajeng dan Cakra. Jadi, apakah dia sudah salah sangka?
...Bersambung...
...Jangan lupa Vote & Comment ya, Readers......
...🙏🏻😊...
...Terima kasih...