Luna punya segalanya, lalu kehilangan semuanya.
Orion punya segalanya, sampai hidup merenggutnya.
Mereka bertemu di saat terburuk,
tapi mungkin… itu cara semesta memberi harapan baru..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CHRESTEA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah Kita
Sudah hampir seminggu sejak Damian berangkat ke Jakarta. Selama itu pula, rumah kecil di belakang St. Claire itu terasa benar-benar hidup. Setidaknya dengan kehadiran Orion, membuat Luna sedikit melupakan kesedihannya.
Bohong jika Luna tidak ingin datang ke pernikahan ayahnya. Tapi, dia harus sadar diri. Kehadirannya bukan hal baik untuk hari yang baik. Karena itu, Luna memutuskan untuk tetap tinggal disini bersama dengab Orion.
Setiap pagi, Luna akan menyiapkan sarapan sementara Orion duduk di kursi makan di dekat dapur. Orion yang dulu tidak pernah menyentuh dapur,kini malah terduduk santai. Dia mengupas buah, memotong roti, atau sekadar mengomentari rasa masakan Luna.
“Jangan banyak garam, nanti darahku naik,” katanya pagi itu dengan nada setengah bercanda.
Luna menatapnya sambil tersenyum. “Kamu ngomong kayak orang tua aja.”
“Karena aku udah lewat masa anak muda,” balas Orion cepat. “Sekarang aku cuma mau hidup tenang, makan enak, dan nggak denger suara dokter yang nyuruh terapi tiap lima menit.”
Luna tertawa kecil. “Kalau gitu setiap lima menit aku akan minta kamu latihan terapi."
“Oh C'mon,” Orion tersenyum tipis, menatap gadis itu lama.
Suasana rumah kecil itu seperti dunia mereka sendiri. Kadang mereka menonton film sampai larut malam di sofa kecil, kadang Luna tertidur di sana dengan kepala bersandar di bahu Orion.
Kadang Orion yang lebih dulu tertidur, sementara Luna diam-diam menatap wajahnya lama,wajah yang dulu penuh luka, kini mulai tenang.
Mereka tak pernah membicarakan perasaan itu secara langsung. Tapi setiap tatapan, setiap senyum kecil di antara jeda hening, sudah cukup menjadi bahasa yang mereka pahami tanpa kata.
Sore itu hujan turun deras, membasahi halaman rumah kecil itu. Luna sedang sibuk di dapur memasak sup merah kesukaan Orion. Lengan kokoh memeluk tubuh Luna dari belakang.
"Masak apa?" ucap Orion lembut sambil mencium lembut tengkuk Luna.
“Sup merah." jawab Luna sambil tersenyum kecil.
"Ohh..aku suka itu."
"Iya, aku tau."
“Lucu ya.."
"Apa yang lucu?”
“Rumah ini. Kecil, tapi hangat.” ucap Orion lirih.
Luna tersenyum samar. “Karena kamu di sini?”
Orion mengangkat bahu. “Mungkin karena kamu.”
Luna balik badan,menatapnya lama, lalu berbisik pelan. “Kamu nggak tahu aja seberapa banyak kamu berubah sejak datang ke rumah ini.”
Orion tersenyum kecil. “Kamu juga.”
“Kenapa?”
“Karena sekarang kamu kelihatan hidup.”
Kalimat itu sederhana, tapi menancap dalam.
Luna menunduk, menyembunyikan senyum kecil yang muncul tanpa sadar. Pelukan mereka ditutup dengan ciuman lembut. Entah sudah berapa banyak ciuman yang Luna dapatkan dari Orion sejak pria itu datang ke rumah ini.
Malamnya, setelah makan malam dan obrolan ringan yang entah kenapa selalu terasa lebih dalam dari seharusnya, Luna dan Orion duduk di ruang tamu, menonton film lama.
Tidak ada suara selain hujan di luar dan cahaya lembut dari layar TV yang menari di wajah mereka. Orion tengah memeluk tubuh Luna dalam dekapannya, kepala Luna bersandar lembut di dada Orion.
Bagi orang luar, mungkin ini hanya pemandangan sederhana.Tapi bagi mereka berdua, ini adalah bentuk paling nyata dari rumah yang selama ini hilang.
"Rion.." panggil Luna lembut.
"Hmm.."
"Aku mau waktu berhenti seperti ini saja, kita bahagia, tersenyum,bersama." ucap Luna.
"Aku juga.. kamu seperti rumah buat aku, nyaman dan hidup."
Luna bangkit dari posisinya, dia menoleh kebelakang. Wajahnya hanya terpisah beberapa inci dari Orion. Sejenak mereka saling menatap lembut tapi dalam.
"Apa salah kalau aku ingin kamu?" ucap Orion memecah keheningan.
Tak ada jawaban dari Luna, hanya gelenggan kecil yang sudah menjadi jawaban atas pertanyaan Orion.
Orion mendekatkan wajahnya, melumat lembut bibir Luna untuk kesekian kalinya. Tapi kali ini ciuman itu berbeda, terasa lebih dalam dan intens. Ciuman itu terasa memabukan bagi mereka berdua.
Deru nafas mereka berdua saling bergantian, menjadi alunan suara di ruangan itu. Kini Luna duduk di atas pangkuan Orion, tangan kekar itu menyusup jauh kedalam baju tidur Luna. Mengusap lembut punggung gadis itu.
Erangan kecil lolos dari bibir Luna, seakan memberi sinyal pada Orion. Orion semakin menggila, dia sudah tidak bisa mengontrol dirinya untuk tidak lebih jauh. Hujan malam itu menjadi saksi dimana dua manusia itu telah menyatu dan perlahan mulai saling mengobati.
Sinar matahari menyinari masuk lewat celah jendela rumah yang tidak sepenuhnya tertutup tirai. Suara ponsel berdering menyadarkan Luna dan Orion bersamaan. Mereka berdua masih berbaring di atas sofa dengab tangan Orion yang memeluk tubuhnya erat.
Wajah Luna memanas, melihat pakaian mereka berdua berserakan di lantai. Senyum lebar di bibirnya tidak bisa berhenti, membayangkan hal semalam. Itu kali pertama bagi Luna, dan dia memberikannya pada Orion.
Luna bergerak lembut, agar tidak membangunkan Orion. Tapi, rupanya pria itu sudah bangun lebih dulu.
"Mau kemana? Seperti ini sebentar lagi." bisiknya lirih di telinga Luna.
"Kamu udah bangun.."
"Ehem.. Mau makan apa?" tanya Luna.
"Kamu.." jawab Orion sambil tersenyum kecil.
Jantung Luna semakin berdebar, di perutnya terasa banyak kupu-kupu yang beterbangan.
"Kamu ngomong apa sih.. udah kita harus bangun." ucap Luna sambil berusaha melepas pelukan Orion.
Tapi sepertinya pria itu tidak bercanda, dia mencium tengkuk Luna lembut, menyisakan bekas kepemilikannya disana. Orion benar-benar menggila semalam, dia seakan melepaskan semua hasrat yang sudah dia tahan selama ini.
Bahkan pagi ini di buka dengan erangan mereka berdua yang kembali memenuhi ruang tamu.