NovelToon NovelToon
Kala Rembulan Menyentuh Bhumi

Kala Rembulan Menyentuh Bhumi

Status: sedang berlangsung
Genre:Crazy Rich/Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / Keluarga / CEO
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: Lacataya_

Rembulan Adreyna—seorang wanita muda yang tumbuh dari kehilangan dan kerja keras, hidupnya berputar di antara deadline, tanggung jawab,dan ambisi yang terus menekan. Hingga satu hari, langkahnya membawanya ke Surabaya—kota yang menjadi saksi awal pertemuannya dengan seorang pria bernama Bhumi Jayendra, CEO dingin pemilik jaringan hotel dan kebun teh di kaki gunung Arjuno.
Bhumi, dengan segala kesempurnaannya, terbiasa memegang kendali dalam segala hal—kecuali ketika pandangannya bertemu Rembulan untuk pertama kali. Di balik sorot matanya yang dingin, tersimpan sunyi yang sama: kehilangan, tanggung jawab, dan kelelahan yang tak pernah diucapkan.
Pertemuan mereka bukan kebetulan. Ia adalah benturan dua dunia—teknologi dan tradisi, dingin dan hangat, ambisi dan rasa takut. Namun perlahan, dalam riuh kota dan aroma teh yang lembut, mereka belajar satu hal sederhana: bahwa cinta bukan datang dari siapa yang lebih kuat, melainkan siapa yang lebih berani membuka luka lama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lacataya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 4 Pertemuan yang Tidak Diniatkan

Beberapa menit kemudian, Marvin Nalendra berjalan kembali ke meja. Dari jauh, dia masih tampak tenang — langkahnya mantap, ekspresinya datar, auranya “CEO of not giving a damn”. Hanya satu hal yang mengkhianatinya: noda foundation warna beige yang masih jelas menempel di dada kemeja putihnya.

Bhumi, yang baru saja menutup laptop, menatap sekali… dua kali… lalu tiga kali, untuk memastikan dia tidak halu. Dan ketika yakin noda itu bukan efek cahaya lampu, alisnya naik perlahan.

“Vin,” panggilnya datar, “lo abis pelukan sama siapa?”

Marvin duduk santai, seperti tidak ada yang aneh sama sekali. “Enggak.”

Bhumi menatap noda itu lagi. “Terus itu apa? Warisan?”

Marvin mengambil napkin, menatap bekasnya sebentar, lalu dengan tenang berkata, “Kolaborasi tak terencana.”

Bhumi menatapnya lama, menahan diri buat tidak tertawa. “Gue tidak tahu lo bisa pake kalimat puitis buat bencana di baju lo.”

Marvin meneguk airnya santai. “Gue juga tidak nyangka makeup bisa punya insting bunuh diri seakurat ini.”

Bhumi menatapnya penuh rasa ingin tahu. “Jadi siapa pelakunya?”

Marvin tetap datar. “Seorang wanita… dengan kecepatan bicara di atas rata-rata dan koordinasi fisik di bawah standar.”

Bhumi nyaris tersedak teh. “Kedengarannya… mengesankan.”

Marvin menatapnya datar. “Lebih ke menegangkan.”

Bhumi tersenyum kecil. “Hati-hati, tanda itu bisa berlanjut jadi kutukan.”

Marvin cuma menjawab pendek, “Udah terburu kena.” Lalu Marvin menatap kembali noda makeup di kemeja putihnya; entah apa yang dia pikirkan, hanya Marvin yang tahu.

Sementara itu, di meja dekat jendela, Liora baru balik dari toilet dengan langkah limbung seperti habis joging 10 km.

Bulan, yang lagi menyeruput wine, langsung menatap curiga. “Lo mengapa? Mukanya kayak abis dikejar utang.”

Liora duduk, menaruh clutch-nya di meja, lalu menatap kosong ke luar jendela beberapa detik sebelum akhirnya berkata pelan, “Bul... lo percaya tidak kalau malaikat bisa jatuh di dunia nyata?”

Bulan menaikkan alis. “Tergantung. Ini konteks spiritual apa gosip?”

Liora menatapnya dramatis. “Konteks cowok.”

Bulan langsung batuk hampir nyembur wine-nya. “APAAN?!?”

Liora menutup wajahnya dengan tangan. “Gue tabrakan, Bul. Di lorong sempit. Sama cowok... tinggi, dingin, cakep, dan... kemejanya linen Italia.”

Bulan udah ngakak setengah mati. “Oh Tuhan — jangan bilang lo ninggalin jejak dosa di situ.”

Liora mendesah, menatap langit-langit restoran. “Foundation-ku. Nempel. Di. Dada. Dia.”

Bulan tidak bisa nahan diri — tawa kecilnya berubah jadi tangis bahagia campur malu. “Lo nyerang cowok pake makeup?! Ini Surabaya, bukan fashion week!”

“Gue panik, Bul!” Liora membela diri. “Gue udah mau bayar dry clean-nya, tetapi dia malah bilang ‘gak usah diganti’. Dengan nada kayak kulkas bersertifikat Eropa Timur! DINGINNYA TULUS.”

Bulan nyoba serius tetapi gagal. “Lo yakin itu bukan trauma, Li?”

“Trauma? Gue malah langsung jatuh cinta setengah detik abis gue nabrak dada linen-nya!”

Mereka berdua ngakak, dan beberapa pengunjung di sekitar meja sempat melirik — tetapi tidak peduli. Untuk Liora, malam itu resmi berubah jadi episode cinta pertama versi absurd.

Di sisi lain restoran, seseorang yang tak sengaja mendengar suara tawa lembut itu kembali melirik ke arah jendela — Bhumi, yang diam-diam masih memperhatikan sosok Bulan.

Di antara aroma steak dan cahaya lembut restoran, ada dua dunia yang belum saling kenal, tetapi malam itu — Surabaya seolah tersenyum, karena dua takdir baru sedang mulai berirama di tempat yang sama.

**

Matahari Surabaya menembus kaca tinggi gedung PT Global Teknologi, memantulkan cahaya ke lantai yang masih beraroma kayu baru. Karyawan berlalu-lalang membawa laptop dan map presentasi; beberapa staf masih menata pot tanaman di sudut ruang kerja yang belum sepenuhnya rapi. Hari itu, suasana kantor terasa lebih sibuk dari biasanya — hari rapat besar pertama sejak cabang Surabaya berdiri.

Di ruangan rapat utama, Bulan berdiri di depan layar besar yang menampilkan logo biru:

“PT Global Teknologi × Bhumi grup — Digital Hospitality Integration proyek.”

Rambutnya diikat rapi, blus putihnya dipadukan dengan celana panjang hitam yang membuatnya tampak profesional tetapi tetap lembut. dia sedang memeriksa ulang data di tablet-nya, jemarinya menelusuri grafik dengan fokus penuh.

“Udah siap semua? Proposal, flow sistem, dan simulasi digital-nya?” tanyanya tenang.

Dari sudut ruangan, Liora menatapnya sambil mengaduk kopi tanpa minum. “Siap. Tim IT udah standby di ruang server, tim finance udah ngecek semua laporan. Yang belum siap cuma…” dia berhenti sejenak, mengangkat alis menggoda. “…kemeja linen Italia di pikiran gue.”

Bulan mendesah kecil, menatapnya tanpa ekspresi tetapi dengan senyum tipis. “Lo masih kepikiran cowok semalem?”

“Masih. Gue tuh kayak punya PTSD tiap liat foundation sekarang,” jawab Liora dramatis.

“Coba fokus ke rapat, bukan ke dada orang.”

“Kalau dada-nya seindah coding lo, gue bakal fokus,” Liora membalas cepat, membuat dua staf yang lewat nyaris menahan tawa.

Bulan menggeleng sambil menahan senyum. “Lo tuh beneran ajaib, Li. Bisa ngomongin cinta di antara spreadsheet.”

Liora menaruh kopi, nadanya sedikit lebih serius. “Gue cuma bilang, Bul. Kadang hal besar dimulai dari hal sepele. Lo tabrakan sama ide, gue tabrakan sama manusia.”

Bulan terdiam sejenak. Entah mengapa, kalimat itu terasa punya bobot aneh di dadanya. dia menatap layar di depan, lalu berkata pelan, “Mungkin… dua-duanya sama-sama bikin hidup berubah.”

**

Beberapa kilometer dari sana, di lantai tiga puluh Arjuno Grand Hotel, Bhumi Jayendra sedang berdiri di depan jendela kaca besar ruang kerjanya. Langit pagi cerah, tetapi pikirannya tidak. dia sudah membaca ulang jadwal hari ini lebih dari tiga kali, dan setiap kali, matanya selalu berhenti di satu nama yang sama.

Rembulan Adreyna — COO, PT Global Teknologi.

Satu nama yang sudah berputar di kepalanya sejak event marketing itu. Dan entah mengapa, kali ini dia tidak menepis rasa penasarannya. dia justru membiarkannya tinggal lebih lama.

Arsen, sekretarisnya, masuk sambil membawa dua map biru. “Agenda hari ini, Pak. Rapat internal jam sembilan, lalu meeting dengan PT Global Teknologi jam sebelas. Mau saya ubah urutannya?”

Bhumi menoleh pelan. “Enggak. Biarkan tetap jam sebelas.”

Arsen mengangguk. “Baik. Saya juga sudah siapkan semua data kerja sama mereka, dan—”

“Gak perlu,” potong Bhumi tenang. “Saya ingin dengar langsung dari mereka.”

Arsen menatap tuannya sejenak, matanya sempat berkedip heran. “Langsung dari mereka?”

“Ya,” jawab Bhumi, menatap kembali ke arah kota di bawah sana. “Beberapa hal lebih menarik kalau didengar tanpa filter.”

Arsen menatap Bhumi — aura bosnya pagi itu terasa sedikit… berbeda. Bukan tegang, bukan juga gugup. tetapi ada ketenangan yang terlalu hati-hati, seolah seseorang yang sedang menunggu sesuatu yang bahkan dia sendiri belum bisa jelaskan.

Sementara Bhumi masih berperang dengan pikirannya sendiri. Seperti ada magnet yang menariknya untuk selalu berpikir tentang Rembulan Adreyna. Setiap kali memikirkan nama dan wajah itu, jantungnya juga ikut berdetak cepat. dia hanya tersenyum karena pikirannya sendiri, sambil berbisik dalam hati, ‘ada yang salah sama otak gue’.

**

Pukul sebelas kurang sepuluh menit, Bulan dan Liora tiba di lobi Arjuno Grand Hotel. Hari masih terang, udara sejuk dari pendingin ruangan bercampur dengan aroma mawar putih khas hotel itu. Langkah Bulan mantap, clipboard di tangannya penuh catatan rapi, sementara Liora di sebelahnya sibuk memastikan blazer-nya tidak kusut.

“Gue masih tidak ngerti mengapa harus di hotel ini,” gumam Liora pelan. “Gue tuh punya trauma sama tempat ini, Bul.”

Bulan melirik sekilas. “Trauma atau nostalgia gara-gara cowok yang lo tabrak semalem?”

Liora menatapnya penuh drama. “Dua-duanya.”

Mereka berhenti di depan lift. Bulan memeriksa jadwal di ponselnya sekali lagi. “Meeting-nya jam sebelas tepat, ruang pertemuan lantai dua puluh tujuh.”

Liora bersiul pelan. “Dua puluh tujuh? Tinggi sangat. Bos mereka pasti suka drama langit.”

Bulan hanya menggeleng kecil. “Atau suka lihat hal dari atas.”

Lift terbuka, dan keduanya masuk. Musik instrumental lembut mengalun di dalam.

Liora berdiri bersedekap, menatap pantulan mereka di dinding kaca. “Eh Bul, lo sadar tidak sih? Ini rapat pertama kita di kota baru. kalau sukses, bisa jadi awal yang bagus sangat.”

Bulan menatap pantulan dirinya — wajah tenang, tetapi matanya menyimpan sesuatu. “Iya. tetapi kayaknya… ada yang lebih besar nunggu di atas.”

Liora menatapnya. “Lebih besar dari proyek kolaborasi digital?”

Bulan menatap lampu lift yang naik perlahan. “Lebih besar dari sekadar bisnis, mungkin.”

**

Di ruang kerja pribadi lantai tiga puluh, Bhumi Jayendra duduk di balik meja kayu hitam besar yang menghadap langsung ke jendela kaca tinggi. Pemandangan kota Surabaya terbentang di depan matanya — tenang, teratur, dan jauh di bawah sana, semuanya tampak kecil. Di seberang ruangan, Marvin Nalendra duduk santai di kursi tamu, memeriksa dokumen proyek di tangannya.

Di antara mereka, uap teh melati naik pelan dari cangkir porselen putih. Bhumi menatap cangkir itu sejenak sebelum akhirnya berkata tenang, “Mereka udah datang?”

Marvin mengangguk tanpa mengalihkan pandangan dari berkas. “Barusan. Gue denger Arsen ngasih tahu tim PT Global udah masuk ke ruang meeting.”

Bhumi mengangguk pelan. “Oke.”

“Gue bantuin lo nyaring data vendor dahulu, Bhum. tetapi gue masih tidak ngerti mengapa lo ingin ikut rapat kayak begini,” ujar Marvin tanpa menatap.

Bhumi menatap cangkirnya lama sebelum menjawab. “Kadang, keputusan bagus datang dari hal yang tidak direncanain.”

Marvin mengangkat alis. “Lo mulai ngomong kayak orang jatuh cinta sama spreadsheet.”

Bhumi tersenyum kecil. “Atau mungkin sama orang di balik spreadsheet-nya.”

Marvin menatapnya sekilas. “Ah, jadi lo udah mulai gila.”

Bhumi tidak langsung menjawab. dia hanya menatap keluar jendela, menyesap tehnya pelan.

“Hati-hati, Vin,” katanya akhirnya, suaranya rendah tetapi tenang. “Gue cuma ingin pastiin semua berjalan lancar. Gak lebih.”

Marvin tersenyum kecil. “Lucu. Biasanya lo gak pernah repot buat hal yang ‘gak lebih.’”

Bhumi menatapnya sekilas — tatapan dingin tetapi berisi sesuatu yang samar. “Gue cuma ingin lihat langsung... sejauh apa mereka bisa kerja sama.”

“Hmm,” Marvin menggumam pelan, setengah tertawa. “Kerja sama ya? Kita lihat nanti siapa yang ngerjain siapa.”

Bhumi hanya menghela napas kecil, merapikan jasnya, lalu berdiri.

“Siapin berkasnya. Kita turun sepuluh menit lagi.”

**

Ruang meeting di lantai dua puluh tujuh Arjuno Grand Hotel tampak seperti sesuatu yang diambil langsung dari majalah bisnis bergengsi. Langit-langitnya tinggi dengan pencahayaan lembut berwarna keemasan, dindingnya dilapisi panel kayu gelap dan kaca besar yang memperlihatkan panorama kota Surabaya di bawah sana. Di tengah ruangan, meja oval panjang dari marmer abu keperakan berdiri kokoh, dikelilingi kursi kulit hitam yang tampak empuk tetapi berwibawa.

Aroma samar teh melati dan wangi kayu manis dari diffuser ruangan bercampur di udara. Layar LED besar di ujung ruangan sudah menyala, menampilkan logo kolaborasi dua perusahaan:

PT Global Teknologi × Arjuno grup

Digital Hospitality Integration proyek

Hari itu, Bulan akan menjadi pembicara utama dalam presentasi — menjelaskan sistem digital dan strategi integrasi yang mereka kembangkan khusus untuk jaringan hotel Arjuno grup. Sedangkan Liora, dengan keahliannya di bidang negosiasi dan hubungan klien, akan mengambil alih bagian marketing pitch dan diskusi kerja sama.

Dua peran berbeda, tetapi saling melengkapi: Bulan dengan ketenangan dan ketajamannya; Liora dengan kehangatan dan pesonanya yang komunikatif.

“Gila… tempat meeting-nya kayak ruang rapat presiden,” gumam Liora pelan, suaranya penuh kekaguman tetapi juga sedikit gugup.

“Lihat tuh — bahkan diffuser-nya kayaknya lebih mahal dari skincare gue.”

Bulan tersenyum kecil tanpa mengalihkan pandangan dari laptopnya. “Fokus, Li. Kita diundang buat kerja sama, bukan review interior.”

Liora meliriknya, bibirnya membentuk senyum nakal. “Iya, iya. tetapi kalau ruangan meeting saja kayak begini, gue tidak bisa bayangin kayak apa ruang CEO-nya. Pasti lebih mewah, lebih tinggi...”

Dia berhenti sebentar, menatap ke arah jendela besar dengan pandangan dramatis. “Dan mungkin, lebih dingin.”

Bulan melirik sekilas, ekspresinya masih tenang tetapi matanya menyimpan sedikit senyum. “Kayaknya lo masih belum move ons dari cowok yang lo tabrak, ya?”

Liora menghela napas panjang, lalu menopang dagu. “Itu trauma estetika, Bul. Lo tidak ngerti — tampangnya kayak koleksi patung marmer yang hidup. kalau bukan kemejanya yang linen, mungkin gue tidak bisa pergi.”

Bulan menahan tawa, lalu akhirnya berkata pelan, “Coba inget saja, kita di sini buat bisnis. Bukan kencan buta korporat.”

Liora pura-pura menutup mulutnya dramatis. “Ih, siapa juga yang mikir kencan. Gue profesional sangat, tahu.”

“Profesional dari Hong Kong,” balas Bulan sambil mengetik sesuatu di laptop, membuat Liora nyengir.

Beberapa menit berlalu. Suasana ruang meeting itu berubah perlahan — dari riuh kecil jadi hening berisi. Hanya suara klik-klik keyboard dan hembusan pendingin ruangan yang terdengar. Bulan mengecek ulang file presentasi, memastikan tidak ada detail yang tertinggal. dia menatap layar LED besar di depannya, lalu memejamkan mata sebentar untuk menarik napas panjang.

Ada sensasi halus di dadanya — bukan gugup, tetapi seperti insting kecil bahwa rapat hari ini tidak akan sesederhana biasanya. Entah mengapa, pikirannya menolak tenang.

Liora memperhatikan Bulan sejenak, lalu bertanya dengan nada lembut, “Lo oke, kan?”

Bulan membuka matanya dan menatapnya sambil tersenyum. “Iya. Cuma... kayak ngerasa hari ini penting saja. tetapi belum tahu mengapa.”

“Insting Bul,” kata Liora cepat. “Biasanya tidak pernah salah.”

“Semoga kali ini pun enggak,” balas Bulan pelan.

Suara ketukan lembut di pintu membuat mereka berdua menoleh hampir bersamaan. Seorang staf hotel masuk, membungkuk sopan.

“Selamat pagi, Ibu. Tim dari Bhumi grup akan segera menuju ke ruangan ini. Mohon ditunggu sebentar.”

Bulan menutup laptopnya perlahan, merapikan posisi duduknya. “Baik, terima kasih.”

Setelah pintu kembali tertutup, Liora berbisik pelan sambil merapikan rambutnya. “Gue deg-degan kayak mau wawancara kerja, Bul.”

“Tenang. Lo CEO. Gak ada yang bisa nginterogasi lo selain Tuhan,” jawab Bulan tenang, tetapi sudut bibirnya naik sedikit.

Liora tertawa kecil, menepuk tangan Bulan. “Gue suka sangat gaya lo. Kalem tetapi nyenggol.”

“Terbiasa hidup di Jakarta,” jawab Bulan datar, tetapi matanya berkilat geli.

Detik terasa melambat. Jam digital di dinding menunjukkan pukul sebelas lewat dua menit. Dan di luar ruangan itu, suara langkah kaki mulai terdengar dari koridor — langkah yang berat tetapi ritmis, seperti seseorang yang terbiasa memegang kendali di setiap ruang yang dia masuki.

Bulan menatap sekilas ke arah pintu, sementara Liora perlahan menegakkan posisi duduknya. Keduanya tidak tahu siapa yang akan muncul di balik pintu itu. tetapi di antara keheningan dan aroma teh melati, ada semacam ketenangan yang justru terasa berdebar.

**

tbc

1
Bia_
kasian si Arsen 🤣
Bia_
ow udah masuk konflik nih 🤭
KaosKaki
wk wk wk
Bia_
/Facepalm/🤣
Bia_
alurnya emang agak slow tapi Lumayan bagus, alur pdkt nya kaya di Real Life lambat tapi kena.
Bia_
suka banget pas adegan serangan hacker
Lacataya_: makasih yaaa, di bab bab selanjutnya juga ada serangan serangan manis kok 🤭
total 1 replies
Edna
Mantap!
Lacataya_: mohon ditunggu bab selanjutnya ya, makasih
total 1 replies
Khabib Firman Syah Roni
Jlebbbbb!
Lacataya_: mohon ditunggu bab selanjutnya ya, makasih
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!