Sudah empat tahun lamanya Aini menikah dengan suaminya Rendra. Namun dia tahun terkakhir Rendra tak bekerja. Sehingga kebutuhan sehari-hari di bantu bapak mertuanya. Terkadang Aini terpaksa memasak sebungkus mie instan untuk lauk makannya dirinya dan anaknya.
Disaat himpitan ekonomi, suaminya pun bertingkah dengan kembali menjalin hubungan dengan mantan kekasihnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tika Despita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
“Aini dan Ibuk, tumben datang malam-malam. Ada apa? Ada yang bisa Tante bantu?” tanya Tante Ratna yang saat ini duduk di depan kami. Wajahnya terlihat heran, tapi tetap ramah seperti biasa.
Aku dan Ibuk saling pandang sebentar sebelum akhirnya aku memberanikan diri bicara.
“Begini Tante,” aku menarik napas pelan, mencoba menahan gugup.
“Aini mau minta maaf sama Mas Arsya dan Tante. Gara-gara masalah Aini dan mantan suami Aini, Mas Arsya malah ikut kebawa. Apalagi sekarang ada yang videoin insiden tadi dan nyebarin. Aini takut Tante dan Mas Arsya jadi tersangkut masalah ini.”
Tante Ratna tersenyum tipis, ekspresinya jauh dari marah. “Oh, jadi kalian ke sini karena video yang viral itu?”
Aku mengangguk pelan. “Iya Tante.”
Tante Ratna menatapku lembut, lalu berkata, “Tante dan Arsya sudah lihat videonya. Dan justru Tante bangga sama Arsya. Dia berani berdiri di pihak kamu saat mantan suamimu itu bicara seenaknya di depan banyak orang. Harusnya laki-laki memang seperti itu.”
Aku dan Ibuk otomatis saling melirik, merasa lega mendengar nada suara Tante Ratna yang begitu tenang.
“Soal video itu,” lanjut Tante Ratna, “Tante sama sekali nggak mempermasalahkan. Biarkan saja orang berkomentar apa pun tentang Arsya. Tante tahu persis bagaimana anak Tante.”
Rasa sesak yang dari tadi menumpuk di dadaku tiba-tiba luruh. Aku menunduk, mencoba menahan haru.
Mas Arsya yang sejak tadi duduk di sebelah mamanya, ikut menimpali, “Kamu nggak usah mikirin video itu, Aini. Kamu fokus aja sama diri kamu dan Keenan.”
Nada suaranya tegas, dan cukup menenangkan. Aku bisa merasakan ketulusan di setiap kata yang keluar dari bibirnya.
“Tapi kalau kamu ngerasa dirugikan,” lanjutnya, “kamu bisa tuntut orang yang memvideokan dan menyebarkannya. Itu sudah masuk pelanggaran UU ITE.”
Ibuk ikut mengangguk, suaranya lirih tapi penuh keyakinan.
“Benar yang dibilang Bu Ratna dan Arsya. Gak usah kamu pikirkan terlalu jauh, Nak. Sekarang fokus saja menata hidupmu yang baru. Lupakan Rendra. Biarkan Tuhan yang balas apa pun yang sudah dia lakukan sama kamu.”
Ibuk memegang punggung tanganku, memberi kekuatan. Aku tersenyum kecil dan akhirnya beban di bahuku sedikit terangkat.
Suasana ruang tamu kembali hening beberapa detik. Tante Ratna menatapku hangat, lalu berkata, “Kamu anak baik, Aini. Tante tahu kamu berusaha. Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri.”
Ucapan itu membuatku benar-benar terharu.
Aku berdiri perlahan. “Baiklah… kalau begitu, kami pamit dulu, Tante. Mas Arsya.” Aku membungkuk sedikit sebagai tanda terima kasih.
Mas Arsya ikut berdiri. “Hmmm baiklah” katanya singkat, namun tatapannya penuh kepedulian yang membuatku semakin merasa dihargai.
Setidaknya untuk malam ini,aku cukup merasa tenang. Namun masih ada satu kecemasan dalam diriku ini. Bagaimana kalau orang-orang tempat aku bekerja melihat video tersebut? Pasti mereka jadi heran,sejak kapan aku dekat dengan atasan mereka. Bahkan bisa-bisanya pergi kondangan bareng.
**
Seperti hari-hari biasanya, aku berangkat kerja cukup pagi. Jam segini biasanya jalanan masih sepi dan udara masih dingin. Sebagai cleaning service, aku harus datang lebih dulu supaya semua ruangan sudah rapi sebelum karyawan berdatangan.
Sampai di kantor, aku langsung ganti pakaian dengan seragam. Setelah itu, aku mengambil sapu, kain pel, dan kemoceng dari gudang kecil di pojokan. Hari ini aku mulai dari ruangan Mas Arsya seperti biasa. Syukurlah ruangannya nggak terlalu kotor. Hanya butuh dilap dan dipel sedikit.
Selesai dari ruangan beliau, aku lanjut ke meja sekretaris tepat di depan pintunya. Meja Mbak Risa dan Mbak Vera seperti biasa pasti penuh kertas dan barang-barang kecil yang nggak jelas letaknya dari mana. Aku mulai merapikan, mengelap, lalu mengumpulkan kertas-kertas yang sudah tidak terpakai ke tong sampah.
Tapi saat aku mau buang beberapa lembar kertas, mataku menangkap sesuatu. Sebuah foto.
Aku mengangkatnya pelan. Di foto itu, terlihat Mbak Risa dan Mas Arsya waktu masih kuliah. Mereka terlihat akrab. Tapi yang bikin aku diam bukannya fotonya, tetapi melainkan tulisan di belakangnya.
"Cinta kita akan selalu abadi. Kamu tetap milikku, Arsya. Tunggu saatnya,akan aku buat kamu bersujud dan meminta kembali padaku."
Aku mengerjap. Bukan kalimat manis menurutku. Lebih kayak ke obsesi seh. Jujur saja bikin merinding membacanya.
Tanpa berpikir panjang, aku kembalikan foto itu ke tong sampah. Rasanya nggak enak kalau pegang-pegang barang pribadi orang terlalu lama.
Aku baru mau pergi ketika Mbak Risa muncul dari arah lorong. Wajahnya cemberut, bahkan nggak menyapaku sama sekali. Padahal kemarin dia masih ramah. Hari ini? Benar-benar dingin.
Aku cuma menunduk sopan. “Pagi, Mbak.”
Dia lewat begitu saja.
Belum sempat mikir kenapa dia begitu, Yuni,sahabatku yang membuat aku bisa kerja di sini,tiba-tiba muncul. Ia buru-buru menghampiri aku.
“Yuni? Tumben kamu ke sini,” kataku heran. Biasanya dia super sibuk di lantai lain karena bagian pemasaran.
“Aini, ikut aku ke pantry bentar,” katanya cepat. Matanya sekilas melirik ke arah Mbak Risa.
Aku mengangguk dan membawakan alat-alat kebersihan sambil mengikutinya dari belakang.
Sampai di pantry, ternyata sudah ada Bu Siska dan Mbak Cici. Begitu aku masuk, mereka langsung memandangku dengan tatapan aneh. Aku otomatis berhenti di depan pintu.
“Ada apa sih? Kok lihat aku segitunya?" tanyaku bingung.
Yuni langsung maju dan membungkuk sedikit menatapku. “Ayo jujur, sejak kapan kamu dekat sama monster perusahaan ini?”
“Monster? Siapa?”
“Aini..itu Pak Arsya maksudnya Yuni,” jelas Mbak Cici.
Aku langsung melotot kecil. “Hah? Enggak, aku nggak dekat sama siapa-siapa.”
“Hmmm, bohong,” Yuni melipat tangan.
“Kami udah lihat videonya. Yang Pak Arsya megang tangan kamu itu! Dan dia bela kamu waktu mantan suamimu ngegas nggak jelas!”
“Itu cuma kebetulan,” kataku buru-buru.
"Cuma kebetulan tapi bisa kondangan bareng," sindir Yuni lagi.
Bu Siska ikut menimpali. “Aini, kita ini satu kantor. Kita tahu banget sifat Pak Arsya. Dia bukan tipe yang gampang ramah, apalagi datang ke pesta sama orang yang bukan siapa-siapanya.”
“Jadi hubungan kalian itu apa? Satu kantor heboh semua, tau!” sambung Yuni.
“Jadi, video itu kalian juga sudah lihat?” tanyaku pelan ada rasa takut-takut.
Tiga-tiganya mengangguk bersamaan.
Aku langsung menutup wajahku dengan kedua tangan. “Aduh, mampus aku.”
Yang paling aku takuti benar-benar kejadian. Seluruh kantor salah paham. Semua mengira aku dan Mas Arsya punya hubungan. Padahal, kami cuma tetangga dan kebetulan dia menemani aku ke pesta mantan suamiku yang laknat itu. Hingga membuat semuanya menjadi rumit seperti ini!
Dan entah kenapa, itu saja sudah cukup bikin gosip satu kantor meledak.