NovelToon NovelToon
Balas Dendam Putri Mahkota

Balas Dendam Putri Mahkota

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Fantasi Wanita / Mengubah Takdir
Popularitas:4.6k
Nilai: 5
Nama Author: Salsabilla Kim

Pada malam pernikahannya, Hwa-young seharusnya meminum racun yang memulai kehancurannya. Namun, takdir memberinya kesempatan kedua. Ia kembali ke malam yang sama, dengan ingatan penuh akan pengkhianatan dan eksekusinya. Kini, setiap senyum adalah siasat dan setiap kata adalah senjata. Ia tidak akan lagi menjadi pion yang pasrah. Menghadapi ibu mertua yang kejam dan suami yang penuh curiga, Hwa-young harus mengobarkan perang dari balik bayang-bayang untuk merebut kembali takdirnya dan menghancurkan mereka yang telah menghancurkannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salsabilla Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Api Perlawanan

Napas Hwa-young tercekat di tenggorokannya. Udara malam yang dingin terasa membakar paru-parunya. Matriarch Kang bergerak secepat kilat. Dia tidak hanya tahu mereka akan datang, dia menjadikan serangan itu umpan untuk memindahkan stok Garam.

"Sialan!" desis Yi Seon, matanya liar memindai kegelapan taman. "Kita harus pergi!"

Di belakang mereka, derap langkah kaki pengawal Matriarch Kang terdengar seperti genderang kematian yang semakin mendekat. Tidak ada waktu untuk berpikir. Mereka bertiga, Hwa-young, Yi Seon, dan Tuan Park yang gemetar hebat, berlari membabi buta.

"Pintu rahasiaku!" perintah Yi Seon, menarik lengan Hwa-young.

Mereka menyelinap kembali ke Paviliun Bulan Baru melalui celah tersembunyi di balik rumpun bambu. Begitu di dalam, Yi Seon membanting pintu-pintu besi hingga bergema, tangannya gemetar saat menyalakan lentera kecil. Ruangan itu terasa pengap, sesak oleh ketakutan mereka.

"Tuan Park, Anda harus bersembunyi," kata Hwa-young, mencoba mengatur napasnya yang tersengal. "Matriarch Kang akan menggeledah setiap sudut istana ini. Jika dia menemukanmu, habislah kita."

"Di-di mana?" bisik Tuan Park, wajahnya pucat pasi seperti mayat.

Yi Seon menendang sebuah lempengan batu di lantai. "Di bawah. Ruang penyimpanan rahasia Ibunda Ratu. Tidak ada yang tahu tempat ini."

Setelah Yi Seon menutupinya, keheningan yang mencekam menyelimuti mereka. Hanya ada suara napas mereka yang memburu dan detak jantung yang menggila.

"Sekarang apa? Kita punya buku besarnya, bukti korupsinya. Tapi dia punya Garam. Dia memegang leher rakyat. Apa yang bisa kita lakukan dengan secarik kertas ini?"

Ini adalah momen yang Hwa-young tunggu. Ujian sesungguhnya bukan tentang keberanian, tapi tentang pilihan. Dia teringat malam-malam tanpa tidur, memetakan setiap kemungkinan, setiap gerakan Matriarch Kang di kehidupan sebelumnya. Wanita tua itu selalu punya rencana cadangan, selalu selangkah di depan. Tapi keserakahannya adalah kelemahannya.

Hwa-young membuka gulungan kertas yang diberikan Tuan Park di gerbang. Tangannya sedikit gemetar. "Ini bukan tentang Garam, Yi Seon. Matriarch Kang menyiapkan jebakan yang lebih besar."

Yi Seon mendekat, cahaya lentera menyoroti kerutan di dahinya saat membaca catatan itu. Matanya melebar ngeri. "Pajak Komoditas Dasar? Gandum dan Minyak ... 30%? Dia sudah gila!"

"Gila? Tidak. Dia jenius," balas Hwa-young, nadanya dingin dan tajam. "Dia akan mengumumkan ini besok, tepat setelah persidangan palsuku. Seluruh ibu kota akan fokus pada nasib Putri Mahkota yang dituduh penyihir, sementara dia diam-diam meloloskan undang-undang yang akan membuat rakyat kelaparan."

Yi Seon membanting tinjunya ke meja kayu. "Dia menggunakan kita sebagai pengalih perhatian! Lalu menyalahkan krisis ekonomi yang timbul pada kerusuhan politik kita! Kaisar akan dipaksa menyetujuinya!"

Hwa-young menatap lurus ke mata Yi Seon. Bara api di dalamnya harus disulut sekarang, atau padam selamanya. "Lupakan Garam. Lupakan Gudang Selatan. Itu semua jebakan. Inilah kelemahan yang harus kita serang."

"Tapi Garam adalah nyawa rakyat!" protes Yi Seon.

"Dan Gandum adalah makanan mereka sehari-hari!" bentak Hwa-young. "Kau bisa menjadi pahlawan mereka, Yi Seon. Batalkan rencana pajak ini. Biarkan Matriarch Kang mengendalikan Garam, tapi kau rebut hati rakyat. Opini publik adalah senjata yang bahkan tidak bisa dia beli."

Yi Seon berjalan mondar-mandir seperti harimau dalam kurungan. Dia bergumul dengan sesuatu yang Hwa-young hanya bisa bayangkan,  hidup di bawah bayang-bayang Matriarch Kang, neraka nyaman yang membuatnya tetap hidup tapi membunuh jiwanya perlahan.

"Jika aku melakukannya ... itu deklarasi perang total," gumamnya. "Dia akan memotong semua aliran dana ke Istana Timur. Aku akan lumpuh."

"Kau sudah lumpuh!" desis Hwa-young, tidak memberinya ruang untuk bernapas. "Kau hanya bonekanya selama ini! Pilih, Yang Mulia! Kau Pangeran Mahkota Kekaisaran ini, atau sekadar bendahara Keluarga Kang?"

Yi Seon berhenti, matanya berkilat marah. "Jaga bicaramu!"

"Tidak akan!" Hwa-young melangkah maju, mendorong gulungan draf pajak itu ke dada Yi Seon. "Aku mempertaruhkan kepalaku untukmu malam ini! Aku mempertaruhkan segalanya untuk menunjukkan kebenaran ini! Matriarch Kang tidak peduli pada Kekaisaran, dia hanya peduli pada pundi-pundinya! Hentikan dia, Yi Seon. Sekarang juga."

"Bagaimana?! Dia akan menyajikannya pada Kaisar besok pagi! Aku tidak punya waktu!"

"Kau Pangeran Mahkota!" Suara Hwa-young menggema. "Gunakan hak protokolermu! Panggil pertemuan darurat Dewan Menteri dan Birokrasi Pajak sebelum fajar. Batalkan rencana ini dengan alasan melanggar Pasal 4 Undang-Undang Kesejahteraan Rakyat."

"Pasal 4? Itu pasal abu-abu! Dia bisa membalikkan interpretasinya dengan mudah!"

"Mungkin," Hwa-young mengakui, "tapi itu akan memberi kita waktu. Ini ujian untukmu, Yi Seon. Jika kau berani, para bangsawan netral akan melihatmu sebagai pemimpin sejati. Jika kau diam, mereka akan melihatmu sebagai pengecut yang membiarkan rakyatnya sendiri kelaparan demi kedamaian palsu."

Yi Seon memejamkan mata, rahangnya mengeras. Hwa-young bisa melihat pergulatan batin di wajahnya. Ketakutan yang mendarah daging melawan percikan harga diri yang baru saja menyala.

"Dia akan menghancurkan kita," bisiknya.

"Dia sudah berperang, Yi Seon," balas Hwa-young lembut, tetapi tegas. "Kau hanya perlu memutuskan, apakah kau akan bertahan atau mulai melawan."

Yi Seon membuka matanya. Ada sesuatu yang berbeda di sana, api yang baru, campuran antara kebencian dan tekad yang dingin. "Baik," katanya,  rendah tetapi mantap. "Aku akan memanggil Dewan Menteri jam tujuh pagi. Aku akan mengklaim darurat fiskal."

Hwa-young merasakan sedikit kelegaan. "Bagus."

"Tapi ada satu hal," Yi Seon menatapnya tajam. "Bagaimana kau tahu semua ini? Tuan Park ... apakah dia mata-matamu?"

Hwa-young menggeleng. "Kepercayaan tidak dibangun dengan membuka semua kartu kita, Yi Seon. Tapi dengan tujuan yang sama."

Yi Seon mendengus frustrasi. "Kau sangat dingin. Tapi baiklah. Lakukan tugasmu. Setelah aku membatalkan pajak ini, apa rencanamu?"

"Matriarch Kang akan panik," jelas Hwa-young. "Perhatiannya akan terpusat pada politik untuk membalikkan keputusanmu. Saat itulah dia lengah. Saat itulah Chungmae menyerang Garam di Gudang Selatan."

"Gudang Selatan?"

"Ya. Tuan Park memberikan rute patroli dan titik lemahnya. Aku harus mengirim pesan ini pada Sora sekarang juga."

"Semua kurir kita disadap," potong Yi Seon.

"Kecuali satu orang," kata Hwa-young. "Jenderal Kim. Pengawal pribadimu. Dia harus membawa pesan ini."

Yi Seon ragu sejenak. "Kim baru saja kembali dari misi. Dia kelelahan."

"Perang tidak mengenal lelah," desak Hwa-young.

Yi Seon mengangguk pasrah. "Aku akan memanggilnya."

*

Pertemuan darurat sebelum fajar adalah sesuatu yang belum pernah terjadi. Yi Seon duduk di singgasananya, wajahnya setenang danau beku. 

“Pangeran Mahkota!" memecah keheningan. "Apa-apaan ini? Saya tahu ini pasti ide dari istrimu yang gila itu!"

"Matriarch Kang," balas Yi Seon,  datar dan dingin, memotong ucapan wanita tua itu. "Saya memanggil pertemuan ini karena darurat fiskal. Darurat yang Anda ciptakan."

Yi Seon mengangkat draf pajak itu tinggi-tinggi. "Birokrasi Pajak! Benarkah Matriarch Kang telah menyusun undang-undang untuk mengenakan pajak 30% pada Gandum dan Minyak Goreng?"

Kepala Birokrasi Pajak menelan ludah, melirik takut ke arah Kang. "I-itu ... draf awal, Yang Mulia."

"Draf yang akan disahkan pagi ini!" seru Yi Seon,  menggelegar. "Saya, Pangeran Mahkota, menggunakan otoritas penuh saya untuk membatalkan rencana pajak ini! Ini melanggar Pasal 4 Undang-Undang Kesejahteraan Rakyat!"

Aula dipenuhi gumaman kaget. Perang telah diumumkan secara terbuka.

Matriarch Kang tertawa. Tawa yang dingin dan mengerikan. "Pasal 4? Kau dibodohi oleh penyihir itu!" Dia menunjuk Yi Seon. "Pajak ini diperlukan untuk menstabilkan Kerajaan dari kerusuhan Garam yang disebarkan oleh Putri Mahkota sendiri!"

"Kerusuhan apa?" tuntut Yi Seon.

"Dia menyebar rumor kelangkaan Garam!" teriak Matriarch Kang. "Pajak ini untuk mendanai impor darurat!"

Hwa-young melangkah maju. "Anda tahu Garam itu ada di Gudang Selatan, Matriarch Kang. Anda yang menciptakannya. Jangan berbohong di hadapan Dewan."

Matriarch Kang membeku sesaat. "Bagaimana kau tahu?"

"Saya tahu segalanya," gertak Hwa-young. "Saya juga tahu tentang korupsi tanah Anda di Provinsi Barat. Buku Besar Keuangan Anda ada pada kami."

Ancaman itu tepat sasaran. Wajah Matriarch Kang memucat. Korupsi tanah adalah kejahatan yang tak termaafkan. "Itu ... palsu!"

"Kami bahkan belum mempublikasikannya. Mengapa Anda begitu takut?" balas Hwa-young dengan senyum dingin.

Matriarch Kang tahu dia kalah dalam perdebatan ini. Dia berbalik ke arah Yi Seon. "Anda akan menyesali ini, Pangeran Mahkota!" desisnya sebelum pergi meninggalkan aula dengan langkah marah.

Yi Seon menghela napas lega. "Kita berhasil."

"Ini baru permulaan," kata Hwa-young. "Sekarang, kita hanya bisa berharap Jenderal Kim dan Sora berhasil."

*

Satu jam kemudian, ketenangan mereka pecah. Seorang kurir istana masuk dengan tergesa-gesa, wajahnya pucat.

"Yang Mulia! Matriarch Kang ... dia telah menangkap Tuan Park!"

Dunia Hwa-young seakan runtuh. Bagaimana dia tahu?

"Dia mengklaim Tuan Park adalah mata-mata yang mencuri draf pajak untuk Anda!" lanjut kurir itu, gemetar. "Dia akan dieksekusi di lapangan publik sore ini!"

Ini bukan sekadar penangkapan. Ini adalah pesan. Pesan untuk semua mata-mata mereka,  berkhianatlah, atau nasib kalian akan sama.

Tepat pada saat itu, Jenderal Kim masuk, baju besinya berdebu dan wajahnya penuh keringat. "Yang Mulia," lapornya dengan napas terengah. "Saya berhasil menyampaikan pesan itu. Tapi saat kembali, pasukan Matriarch Kang dalam jumlah besar ... mereka menuju ke Gudang Selatan."

Hwa-young merasakan hawa dingin menjalari tulang punggungnya. Dia tahu. Entah bagaimana, dia tahu semua rencana kita.

"Seseorang di Dewan Menteri pasti mata-matanya," desis Yi Seon.

"Tidak penting sekarang!" seru Hwa-young. "Kita harus menyelamatkan Tuan Park! Dan membantu Sora!"

"Saya tidak bisa, Yang Mulia," kata Jenderal Kim. "Semua jalan ke Selatan sudah ditutup."

Hwa-young berpikir cepat, otaknya berputar mencari jalan keluar. Matanya tertuju pada Buku Besar Keuangan di atas meja. "Yi Seon! Kirim pesan padanya sekarang. Ancam dia. Jika Tuan Park dieksekusi, kita akan sebarkan isi buku ini ke seluruh Kekaisaran!"

Yi Seon segera mengirim kurir. Lima belas menit terasa seperti selamanya.

Kurir itu kembali, membawa sebuah gulungan kecil. "Yang Mulia, Matriarch Kang menolak. Dia berkata, 'Pangeran Mahkota hanya anjing yang menggonggong.' Dan ... dia mengirim pesan ini untuk Putri Mahkota."

Kurir itu menyerahkan gulungan itu pada Hwa-young. Pesan itu singkat dan mengerikan.

'Jika kau begitu peduli pada pelayanmu, datanglah sendiri ke Istana Utama. Bawa buku besar itu. Aku menunggumu.'

"Jebakan," desis Yi Seon. "Dia ingin menangkapmu."

"Aku tahu," kata Hwa-young, menyembunyikan buku besar itu di balik jubahnya. "Tapi aku harus pergi. Tuan Park mempertaruhkan nyawanya untuk kita. Chungmae tidak akan pernah percaya lagi padaku jika aku membiarkannya mati."

"Tidak! Aku tidak akan mengizinkanmu!"

"Ini pertaruhan terakhir kita, Yi Seon," kata Hwa-young, menatap matanya. "Percayalah padaku."

Sebelum Yi Seon bisa mencegahnya, Hwa-young sudah melangkah keluar, diikuti oleh Jenderal Kim yang bersikeras menemaninya.

Mereka tiba di gerbang belakang Istana Utama. Ternyata, itu adalah penyergapan. Pertarungan pecah. Di tengah kekacauan, Hwa-young berhasil menyelinap masuk sementara Jenderal Kim menahan para pengawal.

Dia tiba di kantor Matriarch Kang. Wanita tua itu duduk di sana, tersenyum penuh kemenangan. "Aku tahu kau akan datang."

"Bebaskan Tuan Park," tuntut Hwa-young, melemparkan buku besar itu ke meja.

"Tentu," kata Matriarch Kang, memungut buku itu. "Aku tidak akan membebaskannya. Tapi aku akan membiarkanmu pergi."

Tepat saat itu, teriakan nyaring terdengar dari halaman istana. "MATRIARCH KANG! KITA DISERANG!"

Hwa-young tersenyum tipis. "Sora," bisiknya.

Matriarch Kang berlari ke jendela, wajahnya panik. Hwa-young menggunakan kesempatan itu untuk kabur. Dia berlari melintasi halaman, di mana Jenderal Kim telah mengalahkan para pengawal.

Tiba-tiba, Hwa-young melihat kilatan dari atas menara pengawas. Matriarch Kang berdiri di sana, memegang busur, anak panah diarahkan lurus padanya.

"Selamat tinggal, Putri Mahkota!"

Waktu seakan berhenti. Hwa-young membeku, tidak bisa menghindar.

"HENTIKAN!"

Suara Yi Seon menggelegar dari gerbang. Dia datang, membawa pasukan Istana Timur. Keraguan sesaat dari Matriarch Kang sudah cukup. Hwa-young berlari melewati gerbang, langsung ke pelukan Yi Seon.

"Kau baik-baik saja?"

"Ya, tapi..."

Ucapan Hwa-young terpotong oleh suara ledakan dahsyat dari arah pelabuhan. Asap hitam tebal membubung ke langit.

Yi Seon dan Hwa-young saling pandang, kengerian terpancar di mata mereka.

"Kapal-kapal suplai Garam..." bisik Yi Seon.

"Kita terlambat," balas Hwa-young, hatinya mencelos.

Ledakan kedua dan ketiga menyusul, lebih keras dan lebih dekat. Matriarch Kang, dari atas menaranya, tertawa terbahak-bahak,  yang serak terbawa angin.

"Dia tidak hanya memindahkan stok Garam," kata Yi Seon,  bergetar karena marah dan putus asa. "Dia menghancurkan semua pasokan yang masuk. Dia baru saja menciptakan kelangkaan Garam yang nyata. Dia menang."

Seluruh ibu kota akan segera dilanda kepanikan. Kelaparan. Kerusuhan. Dan mereka akan menyalahkan Yi Seon dan Hwa-young.

Hwa-young mundur selangkah, rasa dingin menjalari dirinya. Ini bukan sekadar pertarungan politik. Ini adalah pemusnahan massal yang terencana. Matriarch Kang tidak hanya ingin menang, dia ingin menghancurkan mereka hingga tak bersisa.

"Tidak," bisik Hwa-young pada dirinya sendiri. "Aku tidak akan membiarkannya."

Dia memejamkan mata, memaksa otaknya bekerja. Dia menyisir semua pengetahuannya dari masa depan, mencari celah, sekecil apa pun. Matriarch Kang mengendalikan pelabuhan, birokrasi, dan bangsawan. Dia mengendalikan semua jalur resmi.

Jalur resmi...

Hwa-young membuka matanya. Sebuah senyum dingin dan berbahaya terukir di bibirnya.

"Yi Seon," katanya,  tenang tetapi penuh racun. "Dia memang mengendalikan pelabuhan. Tapi dia tidak mengendalikan segalanya."

"Apa maksudmu?"

"Dia lupa satu hal," lanjut Hwa-young, tatapannya beralih ke utara, ke arah pegunungan yang terjal dan perbatasan yang liar. "Dia lupa pada orang-orang yang dia anggap sampah. Para penyelundup dan pedagang pasar gelap di perbatasan Utara."

Yi Seon mengerutkan kening. "Mereka tidak akan membantu kita. Mereka hanya setia pada uang."

"Tepat," kata Hwa-young. "Dan kita akan memberi mereka lebih banyak uang daripada yang pernah Matriarch Kang tawarkan. Kita tidak akan melawan monopoli Garamnya. Kita akan menciptakan pasar tandingan."

Rencana itu mulai terbentuk di benaknya, liar dan nekat. Tapi saat dia hendak menjelaskannya lebih lanjut, sebuah kesadaran yang mengerikan menghantamnya seperti gelombang es.

Ledakan itu. Waktunya terlalu sempurna. Penyergapan itu. Semuanya. Seolah-olah Matriarch Kang tahu setiap langkah mereka, bahkan sebelum mereka melakukannya.

Dia menatap Yi Seon, lalu ke Jenderal Kim. Kemudian dia teringat pada Tuan Park. Semua informasi krusial datang dari satu orang.

Jantung Hwa-young serasa berhenti berdetak.

Tidak mungkin, pikirnya. Dia tidak mungkin...

"Yi Seon," bisik Hwa-young. "Penyergapan di Istana Utama ... Ledakan di pelabuhan ... Matriarch Kang tahu kita akan menyerang Gudang Selatan, bahkan sebelum Jenderal Kim pergi."

Yi Seon menatapnya bingung. "Mata-mata di Dewan Menteri..."

"Bukan," potong Hwa-young, matanya melebar ngeri saat kepingan puzzle terakhir jatuh ke tempatnya. "Bukan mata-mata di Dewan. Jebakannya jauh lebih dalam. Selama ini ... kita tidak pernah punya mata-mata di dalam lingkarannya."

Dia menelan ludah, rasa pahit pengkhianatan memenuhi mulutnya.

"Selama ini," lanjutnya dengan suara gemetar, "dia yang punya mata-mata di dalam lingkaran kita.”

1
Noveni Lawasti Munte
ahhhh dialognya kek sinetron ikan terbang🙄🙄🙄😄😄😄😄
Putri Haruya: muasek?
total 1 replies
Putri Haruya
Mohon maaf ya buat yang menunggu aku update. Bulan November ini, aku sibuk dengan acara di rumah. Jadi, aku banyak bantu keluarga juga sampai gak sempat nulis. Aku ada penyakit juga yang gak bisa kalo gak istirahat sehabis bantu-bantu. Jadi, mohon pengertiannya ya. Nanti malam In Shaa Allah aku nulis lagi. Tapi, kalo besok-besok aku gak update berarti aku sedang ada halangan, ya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!