Di Benua Angin Dewa, di mana langit menjadi saksi lahir dan matinya para kultivator,
seorang pemuda fana bernama Liang Chen menapaki jalan yang tak seharusnya ditempuh manusia. Terlahir tanpa meridian, ia menolak menyerah pada takdir yang menutup gerbang menuju keabadian.
Namun di balik kehendak baja dan tekad yang murni, tersembunyi sesuatu yang lebih purba, warisan berdarah yang berdenyut di dalam jiwanya. Saat dunia menatap langit untuk mencari kekuatan, ia menemukan kekuatan itu di dalam gelap yang mengintai dirinya sendiri.
Perjalanan Liang Chen bukanlah pencarian keabadian, melainkan perjuangan melawan dirinya sendiri, antara manusia yang ingin tetap hidup… dan bayangan Asura yang menuntut untuk lahir kembali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Saga 13: Puncak Amuk Liar
Langit di atas hutan tampak muram, seolah bumi sendiri enggan menyaksikan langkah makhluk yang kini bergerak di bawahnya. Liang Chen, pemuda yang dahulu membawa cahaya kecil dari Desa Hijau, kini hanyalah bayangan merah yang berjalan di antara pepohonan mati.
Tubuhnya digerakkan oleh sesuatu yang bukan lagi kehendaknya. Nafasnya berat, seperti hembusan dari jurang yang dalam. Setiap gerakannya mengguncang udara, dan setiap langkah meninggalkan bekas terbakar di tanah yang ia injak.
Hutan itu, yang biasanya dipenuhi kehidupan, kini sunyi. Burung-burung telah lama terbang menjauh, binatang-binatang kecil mengendap di liang terdalam, bergetar tanpa tahu mengapa.
Energi Pembantaian yang menyelimuti Liang Chen menari seperti kabut berdarah di sekitar tubuhnya, berputar perlahan lalu menyentak setiap kali dadanya naik-turun.
Tidak ada tujuan di langkahnya, tidak ada arah yang ingin dicapai. Yang ada hanyalah naluri purba yang terus menuntut: bunuh, bakar, hancurkan.
Matanya, dua pusaran merah yang berputar lambat, menatap kosong, namun di kedalamannya tersimpan sesuatu yang menggigilkan. Itu bukan amarah manusia, bukan pula kesedihan fana. Itu adalah amarah dunia, amarah yang telah menelan cinta, amarah yang tak lagi mengenal makna pengampunan.
Liang Chen tak lagi tahu siapa dirinya, tak tahu di mana ia berada. Dalam ruang kesadarannya yang jauh, yang tersisa hanyalah gema samar jeritan ibunya, dan suara logam pedang ayahnya yang tak sempat lagi berdering.
Pedang Kesunyian Malam di tangannya bergetar halus, seolah ikut mengeluh. Bilahnya kini tak lagi memantulkan cahaya, melainkan menyerapnya.
Setiap goresan darah yang menempel di sana diserap perlahan, menghilang ke dalam permukaan hitam itu, memberi makan pada entitas yang lebih besar di dalam tubuh Liang Chen. Pedang itu, yang dulunya simbol keteguhan dan kasih seorang ayah, kini menjadi perpanjangan dari kehancuran sang anak.
Angin malam bertiup pelan, membawa aroma darah yang pekat. Liang Chen berhenti di tengah hamparan pepohonan raksasa yang terbelah dua, hasil dari satu tebasan buta sebelumnya. Dadanya naik-turun keras, dan dari kulitnya memancar uap tipis berwarna merah.
Suhu tubuhnya terlalu tinggi untuk manusia, namun Warisan Asura menolak membiarkannya mati. Tulang-tulangnya mengeras seperti logam, ototnya menegang, dan setiap tetes darah yang menetes dari luka lama segera menguap sebelum menyentuh tanah.
Ia mengangkat pedangnya lagi, menebas udara kosong. Gerakannya cepat dan brutal, namun tidak efisien. Setiap ayunan tampak seperti upaya membunuh sesuatu yang tak terlihat, mungkin bayangan dirinya sendiri,
mungkin kenangan yang tak ingin ia lihat. Hutan bergetar setiap kali pedang itu melintas, meninggalkan garis hitam membara di udara yang lambat-lambat memudar.
Di sela kekacauan itu, sesuatu yang menyerupai kesadaran berusaha muncul di dalam dirinya. Sekilas, wajah ayahnya muncul di antara pusaran merah yang menguasai pikirannya, senyum lembut, tangan kasar yang dulu membimbing cara menggenggam pedang.
Namun sekejap kemudian, wajah itu terpecah menjadi serpihan darah, larut ke dalam pusaran hitam yang lebih besar. Liang Chen, atau apa pun yang tersisa darinya, mengeluarkan raungan rendah yang tidak menyerupai suara manusia.
Hutan pun menjawab. Burung pemangsa di kejauhan terbang panik, dan seluruh makhluk hidup di radius seratus langkah lenyap tanpa suara. Di bawah kakinya, tanah merekah, membentuk garis-garis merah yang menyala seolah magma mengalir di bawahnya.
Pohon-pohon di sekitar mengering mendadak, dedaunannya luruh tanpa angin. Energi Samawi di udara pun menyingkir, menolak mendekat pada aura kegelapan yang melingkari pemuda itu.
Lalu, tanpa peringatan, Liang Chen memukul dadanya sendiri, keras sekali. Sebuah dorongan asing muncul, seperti ada dua kekuatan yang saling tarik-menarik di dalam tubuhnya. Warisan Asura yang liar menuntut untuk terus mengamuk,
sementara sisa kecil kesadarannya mencoba bertahan, mencoba memohon pada dirinya sendiri untuk berhenti. Namun suara itu terlalu lemah, tenggelam di tengah raungan energi yang mendidih.
Satu lagi ayunan pedang, dan satu pohon besar berusia ratusan tahun terbelah dari akar hingga pucuk. Liang Chen berdiri di tengah hujan serpihan kayu dan bara, matanya tak berkedip, wajahnya pucat. Namun di balik kegilaan itu, di kedalaman hatinya yang terkoyak,
muncul rasa sakit yang lebih halus, sebuah rasa kehilangan yang bahkan kemarahan tidak bisa sembunyikan. Ia tidak tahu lagi siapa yang dibenci, siapa yang dicintai. Dunia baginya kini hanya dua warna: merah darah dan hitam kehampaan.
Dan di tengah kehancuran itu, Warisan Asura berdenyut semakin cepat. Setiap detak jantung Liang Chen kini terdengar seperti palu yang menumbuk logam panas, menempanya menjadi sesuatu yang baru. Entah manusia, entah iblis.
Di kejauhan, di balik kabut yang memerah oleh cahaya darah, seorang pria berjubah hitam bergerak perlahan di antara pepohonan yang merunduk. Napasnya panjang dan tertahan, matanya menyipit menembus kegelapan yang berdenyut di hadapannya.
Elder itu, salah satu tetua Sekte Raja Naga Berdarah, telah kehilangan hampir semua pengikutnya dalam perburuan anak yang seharusnya sudah mati. Namun harga diri dan rasa takutnya terhadap Raja Naga mendorongnya kembali ke tempat yang bahkan iblis pun enggan mendekat.
Udara di sekitarnya begitu berat hingga setiap langkah terasa menembus air kental. Daun-daun yang disentuhnya segera kering, dan burung malam jatuh membatu sebelum sempat berkicau.
Di kejauhan, suara sesuatu yang besar, bukan manusia, bukan binatang, menggema lirih, seperti detak jantung bumi yang dipaksa berdegup kembali. Elder itu tahu, suara itu berasal dari anak itu. Liang Chen.
Ia berhenti di tepi sebuah lembah kecil. Dari sana, ia bisa melihat kilatan merah yang berputar-putar di antara pepohonan, seperti sekelompok roh jahat yang menari di sekitar altar tak terlihat.
Tubuhnya merinding, tapi ia memaksa diri tersenyum sinis. “Energi Asura…” gumamnya, suaranya pelan namun bergetar. “Begitu kuat… bahkan tanpa kendali pun, bocah ini telah menjadi wadah sempurna.”
Elder itu mengangkat tangannya, dan dari dalam jubahnya keluar sebuah benda berbentuk gulungan perak. Ia membuka segelnya, dan gulungan itu melepaskan cahaya putih kebiruan.
Di dalamnya tersimpan Jaring Penahan Jiwa, senjata spiritual yang diciptakan khusus untuk menahan roh dan energi liar. Senjata itu hanya digunakan dalam perang sekte atau untuk menaklukkan binatang spiritual kelas tinggi. Namun malam ini, ia gunakan untuk seorang bocah.
“Aku tidak akan gagal lagi,” bisiknya, seolah menenangkan dirinya sendiri. “Artefak itu akan jadi milikku, dan darahmu… akan jadi persembahan untuk Raja Naga.”
Ia menjentikkan jari, dan jaring itu melesat ke langit, membentang di atas pepohonan seperti sarang laba-laba raksasa. Dari setiap simpulnya memancar cahaya spiritual, menyelimuti lembah dalam lingkaran yang tak terlihat mata biasa.
Angin berhenti. Kabut berhenti bergerak. Bahkan suara air di kejauhan lenyap. Dunia seolah menahan napas.
Liang Chen, di bawah cahaya merah yang redup, mendongak. Matanya masih berputar ganas, tapi sesaat berhenti ketika cahaya putih itu menyentuh kulitnya.
Ada sesuatu yang aneh: Warisan Asura di dalam dirinya bereaksi seperti binatang yang terluka. Liang Chen mengerang, bukan karena rasa sakit, tapi karena Warisan itu menolak ditundukkan.
Elder itu memutar kedua tangannya, dan jaring itu menutup lebih rapat, memancarkan bunyi seperti belenggu logam. Cahaya putihnya beradu dengan aura merah yang menyalut tubuh Liang Chen,
menghasilkan letupan kecil seperti percikan petir. Tanah bergetar. Pepohonan di sekitar mereka merunduk lebih dalam, seolah takut disentuh oleh kekuatan yang sedang bertarung di udara.
Namun sesuatu yang tak ia duga terjadi. Liang Chen menunduk perlahan, dan dari bibirnya keluar desahan panjang, bukan bahasa manusia, tapi suara dari dunia yang lebih tua dari kata-kata. Seperti gemuruh petir di bawah air.
Seperti doa yang diputarbalikkan. Dalam hitungan detik, jaring itu mulai bergetar hebat. Cahaya putihnya yang murni mulai ternoda oleh garis-garis merah, seolah darah mengalir di serat-seratnya.
Elder itu terkejut. “Mustahil!” teriaknya. Ia mencoba memperkuat kendali spiritualnya, tetapi energi di dalam jaring justru menyerap ke tubuh Liang Chen, bukan sebaliknya.
Liang Chen mengangkat kepalanya, mata merahnya kini memantulkan cahaya putih yang sedang layu. Dari tubuhnya memancar uap panas, dan udara di sekeliling berubah menjadi gelombang yang berdenyut, seperti panas dari besi cair. Ia berteriak, suara itu bukan jeritan manusia, melainkan raungan dunia yang menolak dirantai.
Jaring itu pecah. Cahaya putih memancar, lalu lenyap, meninggalkan abu perak yang berputar di udara. Elder itu mundur beberapa langkah, wajahnya pucat. Ia merasa tulang-tulangnya bergetar karena tekanan energi yang lepas. Di depan matanya, bocah itu berdiri diam, dikelilingi pusaran merah yang perlahan menebal.
Pedang Kesunyian Malam di tangan Liang Chen kini menyala lembut, hitam pekat dengan garis-garis merah yang berdenyut seperti nadi. Elder itu, yang seumur hidupnya terbiasa menatap darah dan kematian, kali ini benar-benar takut.
Ia sadar, Warisan Asura bukan hanya kekuatan, tapi kehendak. Ia tidak bisa dikendalikan, bahkan oleh pemilik tubuhnya sendiri.
Dalam keheningan yang menelan seluruh hutan, Liang Chen melangkah satu kali. Langkah itu saja cukup membuat Elder menggigit bibirnya sampai berdarah, menahan dorongan untuk lari. Aura bocah itu kini tak berbeda dari dewa pembantaian dalam legenda kuno.
Dan untuk pertama kalinya, Elder itu tahu, jika ia mendekat satu langkah lagi, ia tidak akan pulang dengan nyawa.
Udara di hutan itu seolah membeku setelah letupan cahaya putih hancur berhamburan. Butir-butir abu perak turun perlahan seperti salju, menempel di kulit liang Chen yang memerah oleh panas darah.
Dunia menjadi sunyi; tidak ada suara serangga, tidak ada desir angin, bahkan gemerisik ranting pun hilang. Segalanya terhenti seolah waktu menunduk di hadapan sesuatu yang tak seharusnya hidup.
Liang Chen berdiri di tengah lingkaran tanah yang hangus. Di bawah kakinya, tanah itu menghitam, berdenyut pelan seperti jantung yang baru saja berhenti. Mata merahnya memudar, berganti warna hitam kusam yang lelah, namun aura di sekelilingnya belum menghilang.
Energi Asura itu masih berputar di dalam tubuhnya, menolak untuk diam, menolak untuk tunduk. Ia menggenggam Pedang Kesunyian Malam di tangannya, tetapi bilah hitam itu kini terasa berat, bukan karena logam, melainkan karena darah dan jiwa yang terserap ke dalamnya.
Di dalam dirinya, dua kekuatan beradu: sisa energi fana yang lemah melawan badai pembantaian yang tak mengenal arah. Warisan Asura yang liar berusaha memperluas wilayahnya, ingin memakan segalanya, jiwa,
kesadaran, tubuh. Namun tubuh manusia Liang Chen bukanlah wadah sempurna. Retakan kecil muncul di sepanjang meridiannya, seperti kaca yang mulai pecah di bawah tekanan air.
Ia berlutut perlahan. Dari mulutnya keluar darah hitam kental yang beruap seperti asap. Setiap hembusan napas membawa bau besi dan bara. Ia tidak sadar, tetapi jiwanya mulai menolak Warisan itu. Dalam kegelapan jiwanya sendiri, dua suara bergema, satu lembut, satu menggema seperti guruh jauh di dalam lembah.
Suara lembut itu milik ayah dan ibu. Mereka tidak berbicara, hanya hadir seperti bisikan yang dikenali oleh hati. Di antara gema amarah dan panas, Liang Chen merasa sesuatu yang dulu disebut kasih masih bertahan, sekecil percikan cahaya di dalam badai darah.
Namun di sisi lain, suara Warisan Asura kembali, kali ini bukan bisikan, tetapi perintah: “Kau tidak boleh berhenti. Dunia tidak mengenal belas kasih. Dunia adalah darah dan keteguhan. Jadilah pedang yang tak patah.”
Liang Chen menggigil. Tubuhnya gemetar, tapi bukan karena ketakutan, melainkan karena benturan dua kehendak yang saling memakan. Cahaya merah di kulitnya menyala lagi, namun tak sekuat sebelumnya.
Setiap denyut membuat nadi di lehernya membengkak dan pecah. Ia menjerit, kali ini dengan suara manusia. Jeritan yang tidak hanya berisi sakit, tetapi juga penolakan.
Lalu sesuatu terjadi. Warisan Asura, seperti menyadari bahwa wadahnya mulai runtuh, melepaskan satu denyutan terakhir. Denyutan itu meluas ke seluruh hutan, menumbangkan pepohonan di sekelilingnya.
Gelombang panas menyapu udara, membuat abu dan dedaunan berputar membentuk pusaran yang membara. Di tengah pusaran itu, Liang Chen terangkat beberapa jari dari tanah, seolah ditarik oleh tangan tak terlihat.
Tubuhnya bergetar, dan dari luka di dada keluar cahaya merah gelap, berwujud kabut yang bergulung-gulung. Itu bukan darah, bukan roh, melainkan inti amarah Asura yang telah menyerap terlalu banyak kematian.
Energi itu menjerit tanpa suara, melayang naik ke langit lalu pecah menjadi percikan merah yang jatuh kembali seperti hujan darah.
Ketika semuanya berakhir, Liang Chen jatuh. Tubuhnya menghantam tanah dengan suara berat. Aura merah itu menghilang, lenyap seperti asap tersapu angin.
Ia terbaring diam, wajahnya pucat, dan matanya setengah terbuka menatap langit malam yang kosong. Bintang-bintang berkelip di atasnya, tidak peduli pada tragedi kecil yang terjadi di bawah sana.
Elder yang sejak tadi bersembunyi di balik pepohonan akhirnya melangkah keluar. Langkahnya pelan, penuh kewaspadaan, namun sorot matanya memancarkan kerakusan yang sulit disembunyikan.
Di hadapannya kini terbaring seorang bocah tanpa kesadaran, tubuhnya penuh luka, tapi di dalam dadanya masih berdenyut samar kekuatan yang tak ternilai.
Ia menunduk, mengulurkan tangannya untuk menyentuh Liang Chen. Namun sebelum jarinya menyentuh kulit anak itu, udara berubah. Angin berbalik arah, membawa aroma yang tajam dan asing—aroma arak yang sangat kuat, bercampur dengan bau logam panas dan bara besi.
Langkah-langkah berat terdengar dari kejauhan.
Dug… dug… dug… Irama itu seperti palu besar yang
memukul bumi dengan tenang, setiap hentakan disertai getaran yang memecah udara. Elder itu membeku, pupil matanya menyempit tajam. Ia mengenali pola langkah itu.
Di antara sekte-sekte besar Benua Angin Dewa, hanya satu orang yang memiliki langkah seberat itu dan disertai aroma arak, Guru Kui Xing, si Pandai Besi Langit yang legendaris.
Wajah Elder mengeras. Ia memandang Liang Chen sekali lagi, keraguan memenuhi benaknya. Artefak Asura yang diinginkannya berada di depan mata, namun satu langkah lagi bisa berarti kematian yang tak terelakkan. Ia menggertakkan gigi, lalu mundur perlahan, menelan ketakutannya sendiri.
Kabut mulai menebal di antara pepohonan, menutupi bayangannya. Elder itu akhirnya menghilang, meninggalkan hutan yang kini kembali hening.
Liang Chen tetap terbaring di tanah, tubuhnya dikelilingi abu perak, darah hitam, dan pedang hitam yang terbenam di sampingnya. Tidak ada suara selain desiran lembut malam. Di antara kabut yang turun pelan, setetes air jatuh di pipinya—entah embun, entah sisa hujan darah dari langit yang gelap.
Dan di kejauhan, langkah-langkah berat itu semakin dekat.
Jika ada yang bertanya apakah novel ini layak dibaca, jawabannya kembali pada selera masing-masing pembaca. Saya tidak bisa menyebut karya ini bagus bagi semua orang, karena setiap orang memiliki preferensi yang berbeda. Karena itu, saya menyarankan kalian untuk mencoba membaca beberapa bab terlebih dahulu, lalu tentukan sendiri apakah ingin melanjutkan atau tidak.
Jika kalian merasa ceritanya kurang sesuai dengan selera, saya sepenuhnya memahami. Namun jika kalian menikmati perjalanan cerita ini, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas dukungan kalian.
Sekian pesan dari saya.
Selamat membaca, dan semoga kalian menikmati perjalanannya.