"Tolong mas, jelaskan padaku tentang apa yang kamu lakukan tadi pada Sophi!" Renata berdiri menatap Fauzan dengan sorot dingin dan menuntut. Dadanya bergemuruh ngilu, saat sekelebat bayangan suaminya yang tengah memeluk Sophi dari belakang dengan mesra kembali menari-nari di kepalanya.
"Baiklah kalau tidak mau bicara, biar aku saja yang mencari tahu dengan caraku sendiri!" Seru Renata dengan sorot mata dingin. Keterdiaman Fauzan adalah sebuah jawaban, kalau antara suaminya dengan Sophia ada sesuatu yang telah terjadi tanpa sepengetahuannya.
Apa yang telah terjadi antara Fauzan dan Sophia?
Ikuti kisahnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝐈𝐩𝐞𝐫'𝐒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 28
Setelah beberapa menit Renata terpaksa memundurkan wajah melepaskan bibirnya dari pa-gutan Fauzan untuk meraup oksigen. Napasnya tersengal dengan wajah menengadah dalam rangkuman lembut tangan Fauzan, tatapan keduanya saling bersirobok membawa gelombang rasa ingin menyatu. Melebur kerinduan, luka, dan salah paham yang selama ini terus datang silih berganti.
Fauzan kembali menunduk, "Maaf," bisiknya parau. "Maaf sudah sering membuatmu menduga, maaf untuk sikap abai mas." Tutur Fauzan lirih seraya menyatukan keningnya dengan Renata.
Tak ada kata yang keluar dari bibir Renata, perempuan itu hanya mengerjapkan mata menggiring bulir yang seketika meleleh ke pipinya.
Fauzan terhenyak, ia semakin merengkuh tubuh sang istri di dekapnya wajah sendu itu di dadanya. "Mas janji kemarin yang terakhir, tolong ingetin mas jika ada sikap mas yang membuatmu gelisah dan terluka."
Renata anggukkan kepala, tangannya memeluk erat Fauzan mencari kenyamanan dan ketenangan yang sangat ia rindukan. Wangi khas tubuh Fauzan yang bercampur dengan wangi sabun menjadi obat penenang tanpa dosis baginya yang tak pernah ada di apotik manapun.
Fauzan mengambil alih tas yang masih menempel di tubuh Renata kemudian ia letakkan di atas meja tanpa melepaskan dekapannya. Dan perlahan membawa duduk Renata di sofa ruang tamu, tangannya cekatan melepaskan jilbab sang istri. Tiga hari terpisah membuatnya tak bisa lagi membendung has-rat yang kian meletup.
"Mashhh! Aku belum mandi."
"Biarin sayang, biar nanti saja sekalian." Bisik Fauzan dengan suara beratnya. Rasa ingin yang sudah meraja membuatnya tak bisa menahan diri lagi untuk tidak men-cumbu, tangannya bergerak lincah me-raba, mere-mas dan menyusuri punggung halus Renata. Bibir pun tak dibiarkannya menganggur, setiap lekuk dan titik yang menjadi kelemahan Renata terus ia susuri hingga berulang kali de-sahan lolos dari bibir sang istri yang kini sudah tak berdaya diatas sofa dengan pakaian atasnya sudah tercecer di lantai.
Diluar suara titik-titik hujan yang menimpa atap dan dedaunan bagai melodi yang menyatu dengan irama yang diciptakan Fauzan. Udara yang dingin tak mampu mendinginkan sepasang tubuh yang tengah menuntaskan gejolak has-rat yang membuncah ingin dilepaskan.
.
.
Hujan tak hanya mengguyur sekitaran kediaman Fauzan dan Renata tetapi sepertinya seluruh ibukota rata di basahinya. Langit hitam pekat, sesekali terlihat kilat yang saling menyambar di kejauhan menjadi penghias malam yang kian larut dalam rintik dan kesunyian.
Sony bangkit dari tidurnya, ia duduk bersila menatap wajah tenang kedua putrinya sambil menyelimutinya kemudian ia beralih menci-um kening Embun dan Mentari bergantian. Tiga hari terpisah terasa seperti berbulan-bulan, terbiasa sepulang bekerja disambut dengan aduan dan rengekan atau pemandangan kejar-kejaran antara Mentari dan Embun namun tiga hari kemarin tak ia temukan membuatnya seperti orang linglung. Jika saja boleh egois ia tidak ingin kedua putrinya kemana-mana, tetapi ibu Rahmi adalah nenek dari kedua putrinya juga. Apalagi paruh baya tersebut tidak pernah menuntut banyak untuk kebersamaan dengan sang cucu.
Sony menghela napas dalam-dalam, wajah almarhumah Stefani membayang di pelupuk mata. Meski sudah ikhlas dan mampu menjalani hidup membesarkan kedua putrinya dengan bahagia namun tak ada seorangpun yang tahu bahwa selama 5 tahun ini dirinya sering dilanda sepi, gundah dan kehilangan sebagaimana manusia pada umumnya. Ia sudah mengikhlaskannya, menyadari apa yang terjadi pada dirinya adalah takdir yang sudah tertulis dari jauh-jauh hari. Ia hanya rindu, rindu yang entah sampai kapan akan menetap di hati untuk belahan jiwa yang sudah tenang di sana.
"Son! Anak-anak sudah tidur?"
Suara dari arah pintu menyudahi ratapan hati yang merindu. Sony beranjak turun dari tempat tidur, dengan langkah tergesa ia menuju pintu sambil menyerukan kata Masuk pada sang mama.
Kepala bu Retno menyembul dari balik pintu, "Anak-anak sudah tidur?"
"Sudah, mama masuk saja."
"Kita ngobrol dibawah saja, kasihan nanti anak-anak keganggu." Paruh baya itu mendekati ranjang dimana Embun dan Mentari tengah tertidur pulas. Ia tatapi kedua wajah cantik itu penuh kasih lalu mengusap kepala dan menciumnya bergantian.
"Tidur yang nyenyak sayang-sayangnya Oma. Besok sepulang sekolah kita jalan-jalan." Bisiknya seolah kedua cucunya itu bisa mendengarkan.
Di ruang keluarga, Sony duduki sofa yang berada tepat di sebelah sang papa. Ia beralih menghadap Bu Retno yang menyusul duduk. "Ma, ada apa?" Sony menatap Bu Retno, ia menyadari ada hal yang ingin disampaikan sang mama.
Bu Retno berdehem kemudian ia menoleh pada suaminya yang sedari tadi hanya sesekali melirik lalu kembali fokus pada majalah yang tengah dibacanya.
"Son, masih inget enggak sama Tante Ambar teman mama yang dulu sering datang kesini?"
"Iya masih, kenapa dengan Tante Ambar?" Sony menautkan kedua alisnya menatap sang mama penuh tanya meski sebenarnya ia sudah tahu kemana percakapan itu akan bermuara. Sebab beberapa hari yang lalu saat di mall sebelum mengantar Embun dan Mentari ke rumah bu Rahmi tak sengaja ia bertemu dengan perempuan yang tengah dibicarakan sang mama.
"Dia besok mau ke sini, katanya mau bawain makan malam masakan Clara yang sekarang sudah jago masak. Mama bingung enggak tahu maksud mereka apa, tapi mama harap kamu besok bisa pulang cepat. Apapun tujuan mereka kita harus menghormati tante Ambar sebagai sahabat lama mama, kamu ngerti kan?"
"Insya Allah ma, Sony usahakan." Sahut dokter Sony diakhiri helaan napas. Bukan keberatan ia harus pulang cepat, tapi ia hanya tidak suka acara yang banyak basa basi padahal tujuannya sudah jelas. Ia laki-laki dewasa yang cukup paham dari bahasa tubuh Clara saat berinteraksi di mall, dan itu membuat Embun tidak nyaman bahkan dengan terang-terangan putrinya itu menunjukkan ketidaksukaannya terhadap Clara.
hahaha ketawa jahat
emang makin agak agak ini bumer satu ini😤😤
biar neng Rena bisa punya alasan kalau mau pisah sama Fauzan 🤩🤩🤩🤩