Di tengah duka yang belum usai, tahta digital Sasha mulai retak. Kematian sang kekasih, Bara, yang seharusnya menjadi akhir dari sebuah cerita cinta, justru menjadi awal dari mimpi buruknya. Sebagai CEO tunggal super-aplikasi raksasa Digital Raya, ia tak punya waktu untuk meratap. Dari ruang rapat yang dingin, keluarga yang seharusnya menjadi pelindung kini menjelma menjadi predator, mengincar mahakarya yang mereka bangun bersama.
Namun, ancaman tidak hanya datang dari dalam. Saat serangan siber global mengoyak benteng pertahanan DigiRaya, Sasha terpaksa bersekutu dengan sosok yang paling ia hindari: Zega, seorang peretas jenius yang sinis dan memandang dunianya dengan penuh kebencian. Aliansi penuh percik api ini menyeret mereka ke dalam labirin digital yang gelap.
Di antara barisan kode dan serangan tak kasat mata, Sasha menemukan sesuatu yang lebih mengerikan: serpihan kebenaran yang sengaja ditinggalkan Bara. Sebuah bisikan dari balik kubur yang mengisyaratkan rahasia kematiannya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35 Tabir Digital di Samudra
Sorot lampu kapal patroli Express Teknologi menusuk kegelapan, mengunci siluet Sasha di buritan Kapal Si Kancil. Lautan yang luas terasa menyempit, dan udara asin terasa berat oleh ancaman yang tidak terucapkan.
“Tiga menit tersisa,” ulang suara Riksa, terdengar dingin dan tanpa emosi melalui pengeras suara. Kapal patroli pertama, yang kini berjarak kurang dari 500 meter, berhenti sejenak. Kapal kedua terus bergerak, perlahan mengapit Si Kancil dari sisi kiri, memotong jalur pelarian.
Sasha mencengkeram tepi lambung kapal, berusaha agar suaranya tidak pecah. Ia tahu setiap kata harus diukur, setiap jeda harus diisi dengan otoritas. Ia bukan lagi COO yang ragu; ia adalah CEO yang sedang berjuang demi nyawa dan perusahaan.
“Riksa, dengarkan aku baik-baik!” teriak Sasha, membiarkan kemarahan dan keputusasaan bercampur dalam nada bicaranya. “Aku tahu siapa yang memberi perintah, dan aku tahu siapa yang Bara hubungi sebelum dia mati! Paman Hadi tidak hanya menginginkan saham DigiRaya, dia menjual integritas kita kepada perusahaanmu!”
Keheningan di kapal patroli terasa memekakkan. Riksa biasanya langsung menembak, tetapi kali ini, ia terhenti. Nama Ethan Cole (CEO Express Teknologi) dan Paman Hadi yang disebut bersamaan tampaknya menciptakan keraguan instan di antara operator di kapal.
“Kami tidak menerima siaran propaganda. Bukti apa yang kau miliki?” tantang Riksa.
“Bukti digital. Transaksi ilegal Bara di masa lalu—yang kini kau gunakan untuk menghancurkanku di mata pemerintah—semuanya ada di liontin ini,” jawab Sasha, mengangkat liontin Bara ke udara, membiarkan pantulan cahaya menyilaukan sejenak. “Dan yang lebih penting, kami punya rekaman suara Paman Hadi yang mengakui suapnya kepada petinggi Kementerian Komunikasi untuk memicu audit! Kami tahu dia bekerja sama dengan kalian untuk menghilangkan Bara karena Bara menolak menjual DigiRaya!”
“Itu omong kosong,” hardik Riksa, tetapi jeda sebelum ia berbicara sedikit lebih lama. Sasha tahu ia berhasil menanamkan benih keraguan. Jika mereka menenggelamkan Si Kancil sekarang, bukti yang mereka klaim hancur, tetapi pertanyaan tentang kolusi Express Teknologi dengan Hadi akan tetap ada.
...****************...
Di dalam kabin Si Kancil yang sempit dan berbau solar, Zega bekerja seperti kesurupan. Wajahnya dibasahi keringat, dan ia mengerang menahan nyeri di kakinya. Kapten Wayan dan Penyu menyaksikan dengan tegang saat Zega menyambungkan serangkaian kabel tembaga tua ke sistem pengapian mesin dan menyolder sebuah chip kecil ke panel kontrol radar primitif kapal.
“Satu setengah menit lagi, Zega!” desis Penyu, melirik jam di pergelangan tangannya. “Mereka mulai bergerak lagi!”
“Aku tahu!” Zega menyentak. “Si Kancil hanya memiliki radar reflektor murah. Aku harus membuat reflektor itu berteriak dengan frekuensi yang salah. Ini bukan tentang menghilangkan diri dari radar, Penyu. Ini tentang membuat radar mereka melihat kita sebagai sesuatu yang lain.”
Zega memasukkan serangkaian perintah ke ponselnya, yang berfungsi sebagai konsol utama. Ia memanfaatkan sisa daya baterai cadangan yang dialirkan ke kabel-kabel tembaga. Tujuannya: menciptakan lonjakan elektromagnetik yang singkat namun kuat, persis pada saat kapal patroli itu melakukan ping radar berikutnya.
“Aku menamai ini Digital Veil,” bisik Zega, lebih kepada dirinya sendiri. “Kita akan menyembunyikan sinyal kecil kita di balik sinyal kekacauan yang besar. Mereka akan melihat 'Si Kancil' sebagai badai lokal, atau—lebih baik lagi—mereka akan melihat dua target, salah satunya terlalu besar untuk kapal penangkap ikan.”
Kapten Wayan, yang sudah berlayar di perairan ini selama lima puluh tahun, menatap Zega dengan campuran kekaguman dan ketakutan. “Nak, kau bermain dengan elemen dasar laut dan langit. Apakah kau yakin?”
“Saya yakin komputer mereka tidak akan tahu bagaimana menafsirkan lonjakan analog yang kacau ini,” jawab Zega, sambil menekan tombol terakhir. “Penyu, siap-siap. Ketika aku bilang pindah, kita pindah. Kita perlu memanfaatkan jeda akustik yang kubuat.”
...****************...
Di buritan, Sasha melihat kapal patroli kedua kini sejajar dengan mereka. Ia bisa melihat bayangan hitam para pria bersenjata di geladak. Lampu sorot semakin terang, hampir membakar matanya.
“Waktumu habis, Sasha. Ini adalah menit terakhirmu. Jatuhkan liontin itu ke air dan kami akan mempertimbangkan untuk menahanmu, bukan membunuhmu,” kata Riksa, suaranya kini kembali tegas, keraguan sudah hilang.
“Kau tidak akan pernah mendapatkannya!” teriak Sasha. Ia tahu tiga menit telah berlalu. Zega pasti sedang menunggu sinyalnya.
Sasha mengambil napas dalam-dalam. Ini adalah waktu untuk taruhan terbesarnya. Ia meraih chip pelacak kecil yang diberikan Zega padanya, yang tadi ia pegang. Dengan gerakan tiba-tiba, ia melemparkannya sekuat tenaga ke arah kapal patroli yang paling dekat, diikuti dengan liontin Bara (yang ia ganti dengan liontin palsu). Liontin itu memantul di geladak kapal patroli, menciptakan bunyi denting logam yang nyaring.
“Ambil bukti yang kau inginkan!” teriak Sasha.
Sasha segera merunduk, melompat kembali ke kabin tepat saat Riksa berteriak, “Tembak! Hentikan kapal itu!”
Tembakan senapan mesin otomatis mulai menyalak, peluru menembus udara dan menghantam lambung Si Kancil yang tua dengan bunyi ‘thwack’ yang mengerikan. Kayu pecah, dan air laut mulai menyembur ke dalam kabin.
“Zega, SEKARANG!” teriak Sasha.
“Siap!”
Zega mengaktifkan 'Digital Veil' Seluruh kapal Si Kancil bergetar hebat. Bukan ledakan, tetapi lonjakan daya tiba-tiba menyebabkan lampu kabin berkedip-kedip gila. Pada saat yang sama, Kapten Wayan, atas instruksi Zega, mematikan mesin diesel kapal secara total. Keheningan total segera menyelimuti Si Kancil, hanya menyisakan suara ombak dan dentuman tembakan.
Di kapal patroli Express Teknologi, sistem radar dan sonar mereka tiba-tiba mengalami kekacauan data. Sinyal kapal penangkap ikan kecil itu hilang total. Layar radar Riksa kini menunjukkan dua hal: satu, lonjakan energi elektromagnetik besar (seperti badai lokal yang tiba-tiba), dan dua, sinyal palsu yang bergerak lambat sekitar satu kilometer di utara.
“Target telah hilang, Ketua!" teriak operator radar di kapal Riksa. “Kami kehilangan sinyal Si Kancil, tetapi ada sinyal besar di Sektor Delta-9, bergerak menjauh!”
Riksa, bingung oleh hilangnya target secara mendadak setelah melihat liontin jatuh, segera mengalihkan perhatiannya. “Sinyal besar? Apa itu?”
“Mungkin kapal tanker! Atau anomali elektromagnetik!”
“Lupakan kapal tanker! Target yang kita kejar adalah kapal nelayan! Dia tidak mungkin hilang begitu saja!” Riksa melihat ke laut yang gelap. Si Kancil seharusnya berada di antara dua kapal patroli mereka, tetapi tidak ada apa-apa kecuali gelombang gelap.
“Mungkin mereka melompat ke air, Tuan Riksa,” kata operator kapal kedua melalui radio.
“Mereka tidak mungkin melompat! Sasha tidak akan mengambil risiko itu dengan bukti krusial!” Riksa berteriak. “Lacak anomali itu! Mereka mungkin menggunakan semacam penyembunyian sinyal! Kapal Dua, berputar dan mulai sapu wilayah timur!”
Kapal patroli itu mulai memutar dengan kecepatan tinggi, mengejar sinyal palsu yang diciptakan Zega, menjauh dari lokasi Si Kancil yang kini terapung dalam keheningan total.
...****************...
Di kabin, Penyu menyalakan senter. Zega terengah-engah, bersandar pada panel yang kini berasap tipis. Kapten Wayan memasang kembali kabel mesin diesel.
“Kita selamat?” tanya Sasha, suaranya penuh keraguan.
“Untuk saat ini,” jawab Zega. “Mereka mengejar hantu. Kita punya waktu sekitar satu jam sebelum mereka menyadari kapal tanker di Sektor Delta-9 itu hanyalah sisa daya baterai mobil van yang aku lemparkan ke laut tadi.”
“Kau melempar liontin palsu dan baterai mobil?” tanya Sasha, tercengang.
Zega mengangguk kecil. “Liontin Bara yang asli masih di saku mantelmu, bukan? Dan baterai mobil yang terendam air asin, setelah di-overcharge, menciptakan interferensi yang indah.”
Kapten Wayan berhasil menghidupkan kembali mesin. Kali ini, ia mengemudikan kapal dengan sangat perlahan, menggunakan pengalaman puluhan tahunnya untuk menyusuri perairan tanpa menghasilkan riak ombak yang besar.
Mereka bergerak ke arah tenggara. Kelelahan yang luar biasa melanda Sasha. Ia duduk di sebelah Zega, membalut pergelangan kakinya lagi. Ia menyadari betapa jauhnya ia telah datang. Dari negosiator di ruang rapat, kini menjadi buronan yang bernegosiasi dengan pembunuh di tengah laut.
“Kita menuju Lombok,” kata Zega, suaranya serak. “Ada sebuah desa terpencil di selatan. Namanya Tanjung Biru. Itu kampung halaman kakekku.”
Sasha menatapnya. “Tempat yang aman?”
“Sangat terpencil. Kita bisa memperbaiki sistem, menyusun strategi, dan yang terpenting, mendapatkan *Final Code* dari liontin itu. Kita harus tahu apa yang Bara sembunyikan di dalamnya, dan bagaimana menggunakannya untuk menghancurkan Paman Hadi dan Express Teknologi,” jelas Zega.
Penyu, yang tadinya diam, kini menyentuh bahu Zega. “Aku tahu Tanjung Biru. Kita akan tiba sebelum fajar. Aku akan menghubungi beberapa kenalan lama di sana, memastikan semuanya aman.”
Zega mengangguk, lalu menoleh ke Sasha. “Setelah ini, tidak ada lagi pelarian. Kita harus menghilang total, meretas dari bayangan, dan kembali ke Jakarta hanya untuk pertarungan terakhir.”
Sasha merasakan tekad baja di dalam dirinya. “Kalau begitu, mari kita menjadi hantu.”
Kapal Si Kancil melaju perlahan di bawah bulan sabit. Langit timur mulai menunjukkan rona keunguan samar saat mereka mendekati garis pantai Lombok yang tampak diselimuti kabut. Namun, saat mereka bersiap untuk mendarat, Penyu yang duduk di geladak tiba-tiba menjatuhkan rokoknya.
“Zega… Sasha,” panggilnya, suaranya bergetar. “Ada yang tidak beres.”
“Apa?” tanya Sasha, melangkah keluar kabin.
Penyu menunjuk ke arah Tanjung Biru. Desa nelayan itu seharusnya gelap, hanya diterangi oleh lampu minyak dari rumah-rumah panggung. Namun, di kejauhan, terlihat tiga titik cahaya biru terang yang berputar pelan di atas pelabuhan kecil itu. Itu adalah lampu penanda dari pesawat tanpa awak (drone) pengintai militer. Dan di dermaga, Penyu melihat siluet beberapa kendaraan lapis baja yang tidak pernah ia lihat di desa nelayan mana pun.
“Mereka tahu kita akan datang,” bisik Zega, matanya menyipit ke arah pantai. “Mereka sudah menunggu kita di kampung halaman kakekku. Bagaimana?”
Kapten Wayan, yang sudah melihat terlalu banyak konspirasi di laut, mematikan mesin sekali lagi. Mereka terapung lima ratus meter dari pantai. Mereka berhasil lolos dari armada laut, hanya untuk mendapati bahwa daratan yang seharusnya menjadi tempat persembunyian mereka, sudah jatuh ke tangan musuh.
“Express Teknologi tidak hanya mengejar di laut,” kata Sasha, menggenggam liontin Bara yang asli. “Mereka sudah mendahului kita di darat. Siapa yang membocorkan tujuan kita, Zega?”
Zega menatap Penyu. Penyu menggeleng cepat, air mata mulai menggenang. “Aku bersumpah, aku tidak menghubungi siapa pun kecuali Kapten Wayan. Tidak ada yang tahu kita menuju Tanjung Biru, kecuali kita berempat di kapal ini.”
Keheningan kembali menyelimuti mereka, lebih dingin dan menakutkan daripada yang sebelumnya. Jika tidak ada yang membocorkan, berarti Express Teknologi memiliki kemampuan yang jauh lebih mengerikan: kemampuan untuk memprediksi pergerakan mereka, atau yang lebih buruk, mereka sudah meretas jalur komunikasi Penyu, atau bahkan, mereka memiliki mata-mata di dalam lingkaran terdekat mereka.
"Siapa yang berani mengkhianati kita?"