Luna Maharani.
Nama yang sudah lama tidak ia dengar. Nama yang dulu sempat jadi alasan pertengkaran pertama mereka sebelum menikah. Mantan kekasih Bayu semasa kuliah — perempuan yang dulu katanya sudah “benar-benar dilupakan”.
Tangan Annisa gemetar. Ia tidak berniat membaca, tapi matanya terlalu cepat menangkap potongan pesan itu sebelum layar padam.
“Terima kasih udah sempat mampir kemarin. Rasanya seperti dulu lagi.”
Waktu berhenti. Suara jam dinding terasa begitu keras di telinganya.
“Mampir…?” gumamnya. Ia menatap pintu yang baru saja ditutup Bayu beberapa menit lalu. Napasnya menjadi pendek.
Ia ingin marah. Tapi lebih dari itu, ia merasa hampa. Seolah seluruh tenaganya tersedot habis hanya karena satu nama.
Luna.
Ia tahu nama itu tidak akan pernah benar-benar hilang dari hidup Bayu, tapi ia tidak menyangka akan kembali secepat ini.
Dan yang paling menyakitkan—Bayu tidak pernah bercerita.
Akankah Anisa sanggup bertahan dengan suami yang belum usai dengan masa lalu nya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Call Me Nunna_Re, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15
Suasana makan malam di rumah keluarga Ammar malam itu terasa berbeda. Meja makan besar yang biasanya terasa dingin kini dipenuhi suasana hangat dan tenang. Ratna menatap Anisa dengan mata berbinar penuh kebanggaan, sementara Ammar sesekali tersenyum tipis melihat cara menantunya memperlakukan putranya dengan begitu anggun dan sopan.
Anisa, meski hatinya masih terikat pada perjanjian dingin yang mereka buat, tetap menjalankan perannya dengan tulus. Ia mengambilkan nasi untuk Bima, lelaki yang kini menjadi suaminya di atas kertas, lalu menaruh lauk di piringnya dengan gerakan lembut dan penuh kehati-hatian.
“Ini, Mas… dicoba ya, tadi mama bilang ini kesukaan mas,” ucapnya pelan, suaranya teratur dan sopan, tanpa sedikit pun nada canggung.
Bima yang awalnya hanya berniat memainkan peran pura-pura di depan orang tuanya, mendadak diam. Tangannya yang memegang sendok berhenti di udara. Ada sesuatu yang aneh menyelinap di dadanya perasaan asing yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Sebelum ia sempat menutupi keterkejutannya, Anisa kembali berbicara, kali ini sambil menuangkan air ke gelasnya.
“Mas, minumnya, biar nggak seret,” katanya sambil tersenyum tipis.
Bima menatapnya lama, matanya seperti mempelajari setiap gerak-gerik Anisa. Ia tidak tahu kenapa, tapi pemandangan itu membuatnya... nyaman. Ada sesuatu yang tulus dari cara gadis itu memperlakukannya, sesuatu yang sama sekali tidak pernah ia rasakan dari Luna.
Selama ini, dalam hubungannya dengan Luna, justru ia yang selalu berusaha menyenangkan kekasihnya. Ia yang mengantar, menjemput, bahkan melayani tanpa pernah mendapat balasan yang benar-benar tulus. Tapi malam ini, meski tahu semuanya hanya sandiwara, ia merasakan ketenangan yang tak bisa dijelaskan.
Sementara itu, Ratna tersenyum bangga pada Ammar.
“Lihat, Mas... Nisa anaknya sopan sekali. Nggak nyangka, ya, ternyata anak sebaik itu mau jadi bagian dari keluarga kita,” ujarnya dengan nada bahagia.
Ammar mengangguk pelan. “Kamu benar, Ma. Kalau anak ini bisa sabar dan terus seperti ini, aku yakin rumah tangga mereka akan baik-baik saja.”
Kalimat itu membuat Anisa hanya bisa tersenyum kaku. Di dalam hatinya, ia tahu semua ini hanya sementara. Semua kebaikan yang ia tunjukkan bukanlah untuk cinta, melainkan bentuk tanggung jawab dari perjanjian yang sudah ia sepakati. Tapi tanpa sadar, setiap senyum kecil, setiap kata lembut yang ia ucapkan malam itu, perlahan mulai menembus tembok dingin di hati Bima.
Untuk pertama kalinya, Bima makan dengan lahap tanpa harus berpura-pura di depan siapa pun. Dan entah kenapa, ia mulai membayangkan seperti apa rasanya jika semua ini bukan sekadar kontrak.
Ratna memperhatikan Anisa yang sejak tadi sibuk melayani Bima dengan senyum lembut di wajahnya. Gadis itu tak pernah sekalipun menunjukkan rasa lelah atau canggung, seolah semua yang ia lakukan datang dari hati. Namun Ratna tak ingin menantunya itu hanya fokus pada suaminya saja.
“Nisa, Nak… kamu juga makan, ya,” ujar Ratna lembut sambil menatap penuh kasih. “Jangan cuma ngurusin Bima terus, nanti malah kamu yang kelaparan.”
Anisa tersenyum manis dan mengangguk sopan.
“Iya, Ma… Anisa makan, kok.”
Ia lalu mengambil nasi untuk dirinya sendiri, namun tetap saja matanya sesekali melirik ke arah Bima yang duduk di sampingnya.
Ketika melihat Bima hendak mengambil sayuran di tengah meja, refleks tangan Anisa bergerak lebih cepat. Ia mengambilkan sayuran itu dan meletakkannya di piring Bima tanpa banyak bicara. Gerakannya halus, penuh perhatian, dan sangat alami.
“Ini, Mas… biar nggak repot,” katanya pelan.
Bima menatapnya sejenak. Ada sesuatu yang bergetar di dadanya saat melihat Anisa tersenyum begitu lembut kepadanya.
“Eh… iya, makasih,” jawabnya singkat, mencoba tetap tenang. Tapi dalam hati, ia merasa ada sesuatu yang aneh.
Ia tidak pernah diperlakukan seperti itu oleh Luna. Selama bersama Luna, justru ia yang harus selalu melayani, menjemput, menuruti keinginan, bahkan menanggung amarah gadis itu tanpa sebab. Tapi malam ini, dalam satu gerakan sederhana, Anisa membuatnya merasakan sesuatu yang belum pernah ia alami sebelumnya: ketenangan.
Namun, secepat itu pula ia menepis perasaan itu dari pikirannya. Ia tidak boleh terbawa suasana.
"Hebat juga aktingnya", batin Bima, berusaha meyakinkan dirinya sendiri, "Cuma pura-pura aja, Bim. Jangan baper dan bego."
Ia mencoba fokus pada makanannya lagi, tapi setiap kali Anisa berbicara dengan nada lembut kepada Ratna atau sekadar menunduk sopan ketika Ammar berbicara, mata nya tak bisa berhenti memperhatikannya.
Anisa tampak begitu tulus, begitu tenang dan itu membuat Bima semakin tidak nyaman. Ia tahu ini seharusnya hanya permainan, sebuah kontrak enam bulan yang akan berakhir dengan perceraian seperti yang sudah mereka sepakati. Tapi kenapa justru ia yang mulai merasa bimbang?
Ratna yang memperhatikan keduanya tersenyum senang. Ia menepuk pelan tangan Ammar di bawah meja.
“Lihat,Mas... mereka cocok banget, ya?” bisiknya pelan.
Ammar mengangguk. “Kamu lihat sendiri, Mah. Cara Nisa memperlakukan Bima, itu sudah seperti seseorang yang berpengalaman. Anak itu punya hati yang lembut. Mas yakin sebentar lagi hati Bima akan luluh dan ia akan melupakan kekasihnya yang murahan itu.” bisik Amar agar tidak terdengar oleh Bima.
Kata-kata itu justru membuat dada Anisa terasa perih. Ia tahu ini semua hanyalah sandiwara. Ia harus tetap kuat. Ia hanya harus memainkan perannya dengan sempurna, demi anak-anak panti, demi masa depan yang lebih baik, bukan demi cinta yang sudah lama tidak ia percayai lagi.
Namun yang tidak disadari keduanya, baik Anisa maupun Bima adalah bahwa batas antara pura-pura dan nyata mulai kabur perlahan-lahan.
Saat ini Anisa sudah berada di kamarnya, setelah ia membantu ART dan Ratna membereskan meja makan. baru saja Anisa berniat untuk mencuci wajahnya di kamar mandi tiba-tiba saja Bayu sudah ada di dalam kamar. Menatap Anisa nyalang sembari melipat tangannya di dada.
"Ada apa mas?".
"Pintar juga akting kamu sampai-sampai mama dan papa percaya bahwa kita menikah sungguhan."
"Bukankah itu yang Mas mau?."
"Iya itu yang gue mau dan lo harus mempertahankan sikap lo ini."
"Baik Mas saya mengerti. Kalau begitu saya mau cuci muka dan sholat dulu saya mau tidur karena besok saya ada kuliah pagi."
"Besok lo berangkat pagi sama gue, tapi gue akan nurunin lo di depan gang komplek dan habis itu lo naik taksi aja karena gue mau kayak apartemen Luna dulu."
"Oke mas." ucap Anisa masa bodoh dengan apa yang diucapkan oleh Bima karena Anisa sadar akan statusnya saat ini. Walau bagaimanapun Bayu pasti akan lebih mengutamakan Luna yang jelas-jelas adalah kekasihnya.