Seharusnya Aluna tahu kalau semesta tak akan sudi membiarkan kebahagiaan singgah bahkan jika kebahagiaan terakhirnya adalah m*ti di bawah derasnya air hujan. la malah diberikan kesempatan untuk hidup kembali sebagai seorang gadis bangsawan yang akan di pe*ggal kep*lanya esok hari.
Sungguh lelucon konyol yang sangat ia benci.
Aluna sudah terbiasa dibenci. Sudah kesehariannya dimaki-maki. la sudah terlanjur m*ti rasa. Tapi, jika dipermainkan seperti ini untuk kesekian kali, memang manusia mana yang akan tahan?!
Lepaskan kemanusiaan dan akal sehat yang tersisa. Ini saatnya kita hancurkan para manusia kurang ajar dan takdir memuakkan yang tertoreh untuknya. Sudikah kamu mengikuti kisahnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sandri Ratuloly, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28
Sekarang Emily tahu kenapa para Lady tidak mengenakan gaun mewah yang biasa mereka gunakan. Rakyat yang tengah sensitif dengan para bangsawan tidak boleh mereka singgung untuk saat ini. Mengenakan pakaian mewah untuk muncul di hadapan rakyat apalagi di tempat seperti kuil suci pasti akan membuat mereka terganggu walau tidak terang-terangan diungkapkan.
Emily melakukan kesalahan itu sekarang. Tatapan sinis beberapa orang menyorot ke arahnya. Gadis itu hanya bisa menahan diri. Dia tidak boleh meledakkan amarahnya dan menurunkan simpati rakyat terhadap dirinya.
"Apa Putri Mahkota sengaja mengenakan gaun mewah di tempat seperti ini untuk menegaskan gelar yang ia miliki sekarang?"
"Dia pasti sudah lupa jika dulunya hanyalah rakyat biasa."
Emily berpura-pura tidak mendengar semua bisikan yang cukup keras itu. Dia adalah calon ratu yang akan memimpin kerajaan. Emily harus menelan kekesalannya. Setidaknya saat di hadapan rakyat.
Jessica melirik gadis yang tengah menundukkan kepalanya itu. Tatapan matanya yang sekilas terlihat sendu itu menyimpan amarah yang tidak karuan. Emosi Emily terlihat dengan jelas di matanya.
Mereka masuk ke kuil suci.
Bangunan yang dipenuhi warna putih itu menyambut mata mereka. Seorang pendeta yang melihat mereka segera menyambut guna memperlihatkan kesopanan. Dia mengantar mereka menuju aula kuil.
Seorang gadis bersurai pirang tengah mengulas senyum lembut pada anak kecil yang duduk di pangkuan ibunya. Senyum anak itu begitu lebar dan ceria. Ibu anak itu mengucapkan terima kasih beberapa kali.
"Ini sudah menjadi kewajiban saya."
Aluna mengelus surai hitam milik anak kecil itu. la kemudian beralih ke orang lain yang telah menunggu gilirannya. Cahaya lembut berwarna biru keluar dari telapak tangan Aluna.
Mengobati luka yang di derita oleh pria tua di depannya.
Jessica tertegun. la menatap tidak percaya pada gadis mempesona dengan senyum lembut itu. Jessica tidak dapat menemukan jejak kesombongan milik Agatha yang dulu.
"Itu benar-benar Lady Agatha?" tanya Evelyn dengan mulut sedikit terbuka.
"Siapa lagi kalau bukan dia?" kata Vanessa menanggapi.
Senyum milik Aluna membius mereka pun juga orang-orang di sekitar gadis itu yang diam-diam menatapnya kagum. Jessica sekarang tidak lagi heran mengapa kuil suci mau mengerahkan kekuatannya untuk Aluna.
"Saintess, ada beberapa Lady bangsawan yang meminta berkat," bisik seorang pendeta di telinga Aluna. Gadis itu menoleh pada Jessica dan gadis-gadis lain di belakangnya. Netranya menangkap sosok Emily.
[Apa yang dilakukan tokoh utama di sini?] Sistem tidak bisa berpatok pada alur cerita lagi. Semuanya begitu berantakan sejak hari pertama Aluna datang ke dunia ini.
"Baiklah, aku akan mengurus mereka." Gadis itu berjalan menghampiri Jessica. Bangsawan memiliki keistimewaan khusus bahkan di kuil suci.
"Apakah kalian disini untuk meminta berkat?"
"Benar, Saintess. Maaf membuatmu terganggu. Orang-orang pasti menunggu disembuhkan olehmu." Jessica ikut tersenyum. Jubah pendeta yang putih bersih terasa begitu cocok untuk Aluna lebih dari yang ia kira.
"Pendeta lain mampu mengobati jika penyakit atau lukanya tidak begitu parah. Ini tidak menggangguku sama sekali."
"Woah, kau cantik sekali, Lady Agatha!" Kekaguman nampak begitu jelas di wajah Evelyn. Kecantikan gadis itu bertambah ketika tersenyum begitu lembut. Pasti banyak pria yang akan gila jika melihatnya.
"Terima kasih, Lady Evelyn. Kamu juga sangat cantik," balas Aluna. Pipi Evelyn sontak memerah mendengarnya. Mimpi apa dia semalam hingga dipuji balik oleh Lady Agatha.
"Apakah kau masih bisa tersenyum saat ayahmu dihukum penjara seumur hidup, Saintess? Apakah hatimu beku atau bagaimana?"
Suasana mendadak membeku. Bukan hanya mereka, tapi aula kuil menjadi hening setelah Emily menyelesaikan kalimatnya.
"Punya hak apa kau menghina Saintess dengan ucapan keterlaluan seperti itu?" teriakan seorang wanita paruh baya memecah keheningan yang berlangsung beberapa saat. Rakyat mulai bising setelah wanita itu mulai menyuarakan pendapatnya.
"Kenapa Saintess harus sedih saat Duke Blance begitu tega padanya?"
"Apa Putri Mahkota tidak membaca laporan kesalahan Duke Blance dengan baik?"
"Seorang Putri Mahkota kenapa seolah membela seorang penjahat seperti Duke Blance?"
Jessica menatap Emily heran. Apa dia bodoh? Di tengah isu sensitif malah menghina Saintess di hadapan semua orang. Itu terlalu berani bukan?
"Bu-bukan begitu maksudku." Netra Emily berkaca. Gadis itu menggigit bibirnya dan menatap Aluna sendu. Air matanya meleleh dan turun membasahi pipinya.
Emily sudah kesal sejak berada di pesta minum teh. Melihat gadis yang paling dibencinya mendapat tatapan penuh kekaguman dari banyak orang membuatnya bertambah kesal. Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirnya.
"Putri Mahkota tidak mungkin bermaksud menghinaku. Semuanya tolong tenang ya." Semua orang yang berada di aula berhenti mengeluarkan suara. Mereka menatap gadis lembut itu dengan kagum. Bagaimana bisa seseorang tega menghina gadis selembut Saintess mereka? Tatapan tajam langsung menghujani Emily.
"Biarkan aku membantu kalian lalu mengajak kalian keliling kuil setelah selesai kalau kalian mau. Kuil suci juga punya taman yang cukup indah."
"Tokoh utamamu begitu bodoh sistem." Bisik pelan Aluna pada sistem dengan seringai terbit di ujung bibirnya.
[ Enak saja kalau bicara! Kau yang bodoh! Seluruh keluargamu bodoh!]
"Dih, mengaku itu tidak ada salahnya." Layar biru itu berkedip-kedip marah. Aluna tentu tidak menanggapi ocehan Sistem itu lagi.
•••
"Taman ini memang cukup indah, Saintess," puji Elea. Tidak sebagus yang ada di mansion para bangsawan pastinya. Tapi, itu memang cukup indah dan terawat.
"Terima kasih atas pujianmu, Lady Elea. Para pendeta mengurus taman ini dengan baik." Aluna menghirup udara segar di luar bangunan. Nyaman juga berjalan-jalan sembari beristirahat sejenak.
"Apa kuil suci selalu seramai ini, Saintess? Aku melihat beberapa orang sepertinya bukan dari kerajaan kita." Vanessa mengajukan pertanyaan. Beberapa orang mengenakan pakaian yang biasanya hanya dijual di kerajaan sebelah. Itu membuatnya heran mengapa datang jauh-jauh ke sini.
"Akhir-akhir ini memang lebih ramai. Penglihatanmu begitu jeli, Lady Vanessa. Memang ada beberapa orang datang dari kerajaan sebelah untuk menerima pengobatan."
Mulut Aluna manis sekali sekarang. Vanessa tidak bisa tidak tersanjung dengan pujian yang keluar dari bibir gadis itu.
"Luar biasa. Kuil suci ternyata begitu hebat ya." Jessica melirik Aluna dari sudut matanya. Sepertinya dia tahu pihak mana yang harus ia dukung selanjutnya.
Aluna menangkap tatapan Jessica. Mereka berdua mengulas senyum penuh pemahaman.
"Lady Aluna, aku dengar kau ada di taman." Suara seorang pemuda membuat atensi mereka teralihkan. Mereka menolah dan mendapati seorang pemuda bersurai keperakan dengan onyx merah berjalan mendekat.
"Duke Lucarion? Kau berkunjung ke kuil suci?" Anehnya, nada bicara Leander mengisyaratkan kalau keduanya memiliki hubungan dekat. Jessica tidak bisa menahan keterkejutannya.
"Ya." Singkat. Padat. Jelas. Ini baru Duke Lucarion yang mereka kenal. Evelyn menatap Aluna dan Leander bergantian. Ada hubungan macam apa yang terjalin di antara keduanya?
"Eugene sedang pergi, Leander. Dia mengurus sesuatu dari pagi dan belum kembali." Elea melongo mendengar panggilan yang begitu akrab. Dia tidak menyebut gelarnya sama sekali.
Leander mengedikkan bahunya tidak peduli. "Aku datang untuk melihatmu. Buat apa jauh-jauh kesini demi Eugene."
Oke. Sepertinya mereka harus terbiasa agar tidak selalu terkejut.