Tentang Almaira yang tiba-tiba menikah dengan sepupu jauh yang tidak ada hubungan darah.
*
*
Seperti biasa
Nulisnya cuma iseng
Update na suka-suka 🤭
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ovhiie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Studio YFI
Dalam perjalanan pulang setelah makan siang, telepon Sam berdering. Itu panggilan dari Anna, dia di tugaskan oleh ayahnya untuk menjadi ketua tim bisnis sementara.
"CEO Yaga dari Group Pratama datang untuk mencari foto dari fotografer baru. Segeralah ke ruang pameran dan beri salam."
Mendengar itu, tiba-tiba Sam merasakan perutnya sesak. Bukan karena dia makan terlalu banyak sebenarnya, dia bahkan tidak makan dengan benar melainkan karena jantungnya berdegup begitu kencang.
Begitu tiba di ruang pameran, apakah dia akan langsung bertemu dengan wajah CEO Yaga? Wajah seperti apa yang harus dia tunjukkan? Kenapa, dari semua tempat yang bisa dia datangi untuk membeli foto, dia harus datang ke YFI?
Pikiran Sam penuh tanda tanya sepanjang perjalanan menuju ruang pameran.
Dan begitu dia tiba di ruang pameran, dia menahan napas sekaligus merasa lega. Untungnya, satu-satunya orang yang ada di sana hanyalah Anna, yang tersenyum cerah dengan wajah penuh semangat.
"Kalian datang? Cepat masuk. CEO akan segera tiba."
Di dinding ruang pameran, enam foto yang diajukan oleh para finalis sudah dipajang rapi.
Karena Sam, dan temannya Egia makan lebih awal, mereka tiba lebih dulu di sini. Tapi tiga peserta lainnya belum datang.
Anna, yang tampaknya tak bisa menahan diri untuk tidak berbicara, segera membuka percakapan.
"Ini kesempatan emas, kalian tahu 'De Majestic', kan? Hotel mewah di depan Danau kota A, yang paling megah itu?"
"Oh! Aku tahu!"
"Tentu saja! Egia pasti tahu karena dia tinggal di daerah itu. Nah, kali ini, mereka akan membangun De Majestic apartemen di Kota B. Awalnya, mereka mau memajang seri dokumenter karya Adam Mark. Tapi kalian pasti sudah dengar, dia tersandung kasus narkoba, jadi kariernya tamat."
"Ah, aku baca di berita..."
"Iya. Kontraknya dibatalkan, dan sekarang mereka ingin memilih karya fotografer baru.
Mereka ingin proyek ini tetap bersih tanpa kontroversi. Kesempatan seperti ini tidak datang dua kali! Hanya karena ini di YFI, kita bisa mendapatkan peluang luar biasa seperti ini. Kalian paham, kan?"
"Wah... Iya."
Saat Anna dengan percaya diri menepuk dagunya, Egia bertepuk tangan dengan kagum. Tapi Sam malah merinding.
Kebetulan?
Tidak mungkin Yaga bisa memprediksi skandal Adam Mark hanya untuk mencari cara agar bisa berurusan dengannya.
Pasti ini murni kebetulan.
Saat itu, Sam bahkan tidak memikirkannya. Tapi sekarang, dia semakin bertanya-tanya apakah ini benar-benar hanya kebetulan?
"Hari ini hanya untuk perkenalan. Berdirilah di depan foto kalian masing-masing. CEO sudah datang jauh-jauh ke sini, jadi tidak sopan kalau hanya menunjukkan foto tanpa bertemu langsung dengan kalian. Kalian sudah makan, kan?"
"Iya! Kami makan lebih awal hari ini."
"Syukurlah. Tiga orang lainnya harus segera tiba juga."
"Mereka sudah di depan."
"Bagus. Kalau begitu, aku akan pergi menjemput CEO. Tolong jelaskan ini pada mereka, ya?"
"Ah, baik!"
Anna buru-buru keluar. Tak lama, tiga peserta lainnya masuk setelah selesai makan.
Sementara Egia menjelaskan situasinya, dengan hati-hati dia mendekati Sam.
"Kau baik-baik saja?"
Sam mengangguk.
"Ya, aku baik-baik saja."
Tidak. Dia tidak baik-baik saja. Ini adalah kebetulan yang benar-benar celaka.
Dia tidak pernah membayangkan bahwa dia masih harus menundukkan kepala di hadapan laki-laki itu.
***
Tidak sampai lima menit, dia sudah berada tepat di depannya.
Telapak tangan Sam yang mengepal terasa panas.
Kepalanya menunduk, matanya menangkap bagian depan sepatu laki-laki itu. Saat itu, dia harus menarik napas dalam-dalam.
"CEO ini adalah Samuel" Akhirnya, dia mendongak. Matanya mengikuti dari ujung kaki laki-laki itu, naik ke atas, hingga bertemu dengan tatapan tajam yang sebelumnya tertuju pada foto di belakangnya.
Yaga mengulurkan tangannya. Sam menunduk, menatap tangan itu, wajahnya kosong.
"Sam?"
Suara Egia terdengar canggung.
"Ah… ya."
Seolah baru tersadar, Sam mengalihkan pandangannya.
Yaga masih menatapnya, tangannya tetap terulur.
"Samuel."
Dengan gerakan kaku, dia akhirnya mengulurkan tangannya.
Entah kenapa, kata-katanya terdengar seperti ucapan yang dipaksakan.
"… Senang bertemu dengan Anda, CEO." Seiring napasnya yang terasa berat, tatapan mereka kembali bertemu.
Saat tangannya tergenggam oleh tangan laki-laki itu, genggaman itu terasa begitu kuat, menyebabkan sakit menjalar di bahunya. Dan dalam mata laki-laki itu, tak ada sedikit pun keramahan.
"Sudah selesai?"
Tanpa menunggu jawaban, laki-laki itu berbalik ke arah Anna.
"Ya, kami akan mengantar Anda ke kantor CEO sekarang. Semoga ada gambar foto yang menarik perhatian Anda."
Anna memperhatikan ekspresi laki-laki itu dengan saksama. Bukan hanya dia, semua staf dari tim bisnis juga menatapnya dengan penuh harapan, ingin mendapatkan reaksi yang baik darinya.
Sam, yang tidak bisa berbuat seperti mereka, merasa bingung pada dirinya sendiri. Ini juga bagian dari pekerjaannya, seharusnya dia bisa bersikap profesional.
Sam mengepalkan tangannya. Tangannya masih terasa berdenyut karena genggamannya tadi.
Saat Yaga berjalan keluar dari ruang pameran, Gan, sang sekretaris, memberi isyarat ramah kepada Sam.
Dia pun membalasnya dengan anggukan kecil. Namun, hanya setelah Yaga benar-benar pergi, dia baru bisa menghela napas panjang.
***
Satu-satunya lift di gedung YFI sedang dipakai oleh CEO Yaga, jadi para peserta diminta untuk menunggu sebelum kembali ke studio mereka. Pesan ini disampaikan oleh pegawai termuda di tim bisnis. Tidak ada yang memprotes, termasuk larangan menggunakan tangga agar tidak mengganggu.
Semua menerimanya dengan sikap acuh tak acuh. Selain Sam dan Egia peserta lainnya sudah berkumpul di sudut ruang pameran, sibuk berspekulasi tentang keuntungan yang bisa mereka dapatkan jika terpilih oleh Grop Pratama.
"Berapa bayaran kalau lukisan kita dipajang di lobi De Majesty ya?"
"Entahlah, pasti sangat besar. Ini Grop Pratama, lho."
"Tapi kita ini fotografer baru. Jangan-jangan mereka justru mencari harga murah?"
"Mungkin saja. Tapi apa pun itu, menurutku ini lebih menguntungkan daripada studi ke luar negeri."
"Serius?"
"Tentu saja! Tidak semua orang yang kuliah di luar negeri bisa langsung sukses sebagai fotografer. Kecuali kamu anak orang kaya dan bisa langsung menggelar pameran pribadi. Tapi kalau karyamu dipajang di De Majestic? Pasti langsung terkenal! Mayoritas penghuni apartemen mewah itu menjadikan seni sebagai investasi, bukan?"
"Astaga. Benar juga."
"Iya, kan? Aku bahkan tidak memikirkan program studi luar negeri lagi."
Sam dan Egia saling bertukar pandang. Kini, para peserta mulai berdebat tentang gambar foto siapa yang paling lama diperhatikan oleh Yaga.
Sam melirik jam di hpnya, lalu menepuk punggung bahu Egia dengan ringan.
"Ayo kita naik duluan?"
Egia mengangguk. Ketika mereka tiba di lobi, suasana terasa dingin dan sepi. Lift masih berada di lantai lima, tempat kantor CEO. Egia menekan tombol naik, lalu menatap Sam dengan serius.
"Sam, mau langsung pulang saja?"
"Huh? Tidak, aku masih harus menyelesaikan pekerjaanku."
"Kalau kau lelah, lebih baik pulang dan istirahat."
"Tidak perlu."
Sam menggeleng. Tepat saat itu, lift tiba di lantai mereka. Dia masuk lebih dulu, diikuti oleh Egia yang menghela napas panjang sebelum ikut masuk.
"Dari sekian banyak yayasan fotografer, kenapa harus YFI?" keluh Egia
"Akhir-akhir ini mereka memang sedang banyak disorot. Bahkan di majalah Bisnis yang kamu baca, ada wawancara dengan CEO mereka."
"Benar juga. Dan Anggita juga sedang naik daun, jadi mereka benar-benar jadi pusat perhatian."
"Iya."
Memang, ini adalah kebetulan yang menyebalkan. Begitu lift tiba di lantai tiga, Egia menginjak lantai dengan keras dan berseru,
"Tapi kenapa harus YFI?!"
Sam terkekeh kecil, memberi isyarat agar Egia keluar lebih dulu.
Saat membuka pintu studio, pantulan wajahnya di dinding kaca menangkap perhatiannya.
Pak Bernard CEO YFI
***
Saat selesai mengantar CEO Yaga dan kembali ke dalam gedung bersama Pak Bernard, mata para staf yayasan langsung tertuju pada Sam. Tatapan penuh harapan dan kegembiraan di wajah mereka terasa begitu menekan.
"Sam, kamu sudah bekerja keras hari ini. Saya tahu kamu pasti sibuk dengan proyek lain, kan?"
Pak Bernard tersenyum ramah.
Sam menatapnya dengan sedikit canggung, ingin mencari kesempatan untuk berbicara.
"Team Leader Anna."
"Ya, Pak."
"Berikan Samuel salinan kontraknya. Sam, ambil kontraknya dari Team Leader Anna dan bacalah dengan tenang. Jika ada bagian yang kurang jelas, silakan kamu tanyakan. Saat hari penandatanganan nanti, pihak Group Pratama juga akan menjelaskannya, tapi mereka perusahaan besar, jadi mungkin ada hal-hal yang harus diperiksa lebih teliti."
"Baik, pak"
Semuanya terjadi begitu cepat, Pak Bernard memberi tatapan puas sebelum berbalik dan pergi. Bahkan sebelum Sam bisa merespons apa pun, kesempatan itu telah berlalu. Lebih dari itu, mendengar kata-kata seperti kesempatan besar dan impian membuatnya kehilangan kata-kata.
Memang, ini adalah kesempatan yang luar biasa. Ini adalah impiannya.
Semua orang mengetahuinya, Anna, staf yayasan, Pak Bernard, bahkan dirinya sendiri.
"Baiklah, Sam ayo kita pergi."
"…Ah, ya."
Sam mengangguk kecil. Koridor menuju kantor tim bisnis terasa lebih dingin dari biasanya.
***
Keesokan hari di Group Pratama
"Anda Samuel?"
Suara seorang wanita terdengar tak jauh darinya.
Saat Sam menoleh, seorang wanita berusia awal 30 an dengan penampilan profesional sudah berjalan mendekat.
Dengan cepat, matanya menangkap tulisan di lencana identitasnya: Naomi, Manajer.
"Kemarin saya yang menghubungi Anda. Saya Naomi dari Tim Media Art. Perjalanan Anda ke sini lancar kan?"
"Ya terimakasih. Saya diantar dari yayasan."
"Syukurlah kalau begitu. Silakan ikut saya. Hari ini saya akan menjelaskan isi kontrak, jadi jika ada yang ingin ditanyakan, jangan ragu bertanya."
"Baik."
Dengan langkah pelan, Sam mengikuti Naomi.
Sudah beberapa hari sejak Yaga mengunjungi YFI dan tubuhnya tampak sedikit berisi.
Tak bisa dihindari. Setiap kali dia mengingat kontrak yang tergeletak di sudut studio, kontrak dengan angka yang tak masuk akal itu, nafsu makannya langsung meningkat.
Mendengar kabar bahwa akan ada pertemuan dengan Grop Pratama melalui tim bisnis, setidaknya membuatnya bisa sedikit bernapas lega.
Toh, sejak awal, kontrak ini tidak masuk akal. Sam bahkan belum membaca seluruh isinya lagi.
Sponsorship yang dijanjikan untuk YFI bukanlah sesuatu yang bisa dia campuri. Hanya laki-laki itu yang bisa mengubah keputusannya.
Namun, ketika dia akhirnya tiba di tempat pertemuan, Sam dibuat terkejut. Tentu saja, aneh jika seorang CEO seperti Yaga hadir dalam rapat sekadar untuk mengurus kontrak seorang fotografer pemula.
Duduk sendirian di ruang rapat Tim Media Art, Sam kembali teringat bagaimana Anna terus membungkuk dan berterima kasih kepada laki-laki itu.
"Tuan Samuel."
Naomi masuk ke ruang rapat dengan dua cangkir kopi, kertas ada di tangannya, mendorong pintu dengan bahunya.
"Anda mau minum kopi?"
Dia meletakkan salah satu cangkir di depan Sam sebelum duduk di seberangnya. Aroma kopi instan yang manis segera memenuhi ruangan.
"Saya perkenalkan diri lagi. Saya Naomi Manajer Tim Media Art di Grop Partama. Dia mengambil sebuah kartu nama dari dompet kecilnya dan menyerahkannya kepada Sam
Bibir Sam terasa bergetar saat dia menerimanya.
"Tuan Samuel, senang bekerja sama dengan Anda hari ini."
Naomi tersenyum hangat sebelum mengambil salah satu dari dua kontrak di atas meja dan mendorongnya ke arah Sam.
Dengan kesadaran penuh dia mengambil kontrak itu.