Aurelia Valenza, pewaris tunggal keluarga kaya raya yang hidupnya selalu dipenuhi kemewahan dan sorotan publik. Di balik wajah cantik dan senyuman anggunnya, ia menyimpan sifat dingin dan kejam, tak segan menghancurkan siapa pun yang berani menghalangi jalannya.
Sementara itu, Leonardo Alvarone, mafia berdarah dingin yang namanya ditakuti di seluruh dunia. Setiap langkahnya dipenuhi darah dan rahasia kelam, menjadikannya pria yang tak bisa disentuh oleh hukum maupun musuh-musuhnya.
Takdir mempertemukan mereka lewat sebuah perjodohan yang diatur kakek mereka demi menyatukan dua dinasti besar. Namun, apa jadinya ketika seorang wanita kejam harus berdampingan dengan pria yang lebih kejam darinya? Apakah pernikahan ini akan menciptakan kerajaan yang tak terkalahkan, atau justru menyalakan bara perang yang membakar hati mereka sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naelong, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Leonardo
Cahaya matahari menembus tirai putih kamar besar itu, menyentuh kulit Aurelia yang masih terlelap di ranjang. Hembusan angin lembut membawa aroma bunga mawar dari taman belakang rumah besar keluarga Leo.
Namun tidur itu tak pernah benar-benar nyenyak. Semalam, pertengkaran dingin dengan Leo masih berputar di kepalanya. Setiap kata, setiap tatapan, masih terasa menusuk hingga ke jantung.
Aurel membuka matanya perlahan, menarik napas panjang, dan duduk di tepi ranjang. Ia menatap cermin besar di depannya—bayangan dirinya memantul, dengan rambut terurai, mata yang tampak lelah tapi berkilat tajam.
“Selamat pagi, Nyonya,” sapa salah satu pelayan lembut, mendorong pintu kamar. “Tuan Adriano dan Nyonya Isabella sudah menunggu di ruang makan.”
Aurel tersenyum samar. “Baik, aku segera turun.”
Ia melangkah ke meja rias, menyisir rambutnya perlahan. Setiap gerakan tampak tenang, namun di balik ketenangan itu, pikirannya penuh badai. Leo tidak tidur di kamar mereka semalam. Setelah meninggalkannya dengan tatapan dingin, pria itu pergi ke markas tanpa sepatah kata pun.
Aurel menarik napas panjang, menegakkan bahunya, lalu keluar dari kamar dengan langkah anggun seperti biasa.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Meja makan panjang dari kayu mahoni sudah tertata rapi. Piring porselen putih dengan ukiran emas berkilau di bawah cahaya lampu gantung. Di ujung meja duduk Daddy Adriano—lelaki berwibawa dengan rambut perak dan mata tajam. Di sebelahnya, Mommy Isabella, elegan dengan balutan gaun sutra biru muda, sedang menyeruput teh hangat.
Begitu Aurel turun dari tangga, Isabella langsung tersenyum dan bangkit menyambutnya.
“Sayang, akhirnya kau turun juga. Mommy hampir memanggilmu ke atas.”
Aurel membalas senyum itu lembut. “Maaf, Mommy. Aku bangun agak siang.”
Adriano menatap menantunya dengan pandangan yang sulit ditebak. “Tidak apa-apa, Aurel. Duduklah. Kami ingin tahu bagaimana keadaanmu setelah kejadian kemarin.”
Aurel menarik kursi, duduk anggun di hadapan mereka. Pelayan segera menuangkan jus jeruk segar dan menyajikan sarapan: omelet, roti panggang, dan potongan buah.
Mommy Isabella meletakkan sendoknya perlahan. “Kau pasti masih trauma, kan, sayang? Tuhan, siapa pun mereka yang berani menculikmu di hari pernikahan, pasti tidak akan dibiarkan hidup oleh Leo.”
Aurel tersenyum tipis, menatap ibunya dengan lembut. “Aku baik-baik saja, Mom. Benar-benar baik. Sedikit lelah, tapi tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”
Daddy Adriano mengerutkan kening. “Kau yakin? Dari laporan yang kami terima, tempat mereka menyekapmu itu tidak main-main. Bekas-bekas tembakan juga ditemukan di sana.”
Aurel memindahkan pandangannya ke piringnya, menekan sendok ke atas omelet. “Ya, Daddy. Tapi Leo datang tepat waktu. Semuanya sudah berakhir.”
“Hmm…” Adriano mengangguk pelan. Tapi tatapan matanya menajam, seolah ada sesuatu yang tidak ia ucapkan.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Tiba-tiba langkah berat terdengar dari arah pintu. Semua kepala menoleh ketika Kakek Vittorio masuk, didampingi oleh dua pengawal pribadinya. Meski usianya sudah lanjut, wibawa lelaki tua itu masih kuat—dengan tongkat kayu hitam di tangan dan tatapan tajam seperti elang.
“Aurel, cucuku yang cantik,” sapa kakek Vittorio dengan senyum kecil. “Syukurlah kau selamat.”
Aurel segera berdiri dan menghampiri, mencium punggung tangan sang kakek. “Terima kasih, Kakek. Aku baik-baik saja.”
Vittorio duduk di kursinya yang besar, di ujung meja, lalu menatap cucu menantunya itu lama. “Aku dengar sendiri dari Leo semalam bahwa penculikmu semua sudah diamankan. Tapi anehnya, tidak satu pun dari mereka mau bicara.”
Aurel menahan napas sejenak, lalu menjawab tenang. “Mungkin mereka takut, Kek. Dunia bawah terlalu banyak rahasia.”
“Takut?” Vittorio tertawa kecil. “Atau mungkin mereka lebih takut pada seseorang dari pada pada cucuku itu?”
Suasana meja makan mendadak hening. Mommy Isabella melirik Aurel dengan tatapan khawatir, sementara Adriano pura-pura sibuk dengan koran.
Aurel mengangkat wajah, tersenyum sopan. “Aku tidak tahu pasti, Kek. Tapi aku percaya Leo akan menemukan jawabannya.”
Vittorio mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. “Di mana cucuku yang keras kepala itu sekarang?”
Aurel menunduk sejenak sebelum menjawab. “Setelah mengantarku pulang tadi malam, Leo langsung kembali ke markas, Kek. Sepertinya dia masih menyelidiki siapa dalang di balik penculikan itu.”
“Tidak pulang?” tanya Vittorio tajam.
“Tidak, Kek.”
Vittorio menghela napas panjang, suaranya berat. “Anak itu selalu begitu. Terlalu keras kepala.”
Aurel menatap kakeknya dalam diam.
“Dan kau, Aurelia,” kata Vittorio pelan tapi tegas, “kau terlihat terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja diculik dan hampir dibunuh.”
Ucapan itu membuat Mommy Isabella terkejut. “Ayah!” serunya pelan, menegur.
Namun Vittorio tak bergeming. Tatapannya tetap tertuju pada Aurel.
Aurel mengangkat wajah perlahan. Tidak ada rasa takut di sana. Hanya ketenangan, seperti malam yang diam sebelum badai. “Kakek lupa, aku sudah menikah dengan tuan mudah Leonardo Alvarone seorang mafia nomor 1 yang di kenal dengan kekejamannya. Kalau aku mudah takut, aku tidak pantas berdiri di sisinya.”
Suasana meja makin tegang. Adriano meletakkan cangkir kopinya, menatap kedua orang itu bergantian. “Sudahlah, Ayah. Aurel baru saja pulih. Jangan beri dia tekanan lagi.”
Vittorio tertawa rendah. “Aku hanya menguji nyalinya. Kalau dia bisa menjawab tanpa gemetar, berarti Leo memilih wanita yang tepat.”
Aurel tersenyum kecil. “Terima kasih, Kek.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Setelah beberapa menit percakapan ringan, sarapan pun berakhir. Mommy Isabella pamit ke ruang tamu, Daddy Adriano ke kantor, meninggalkan Aurel sendirian di taman belakang dengan secangkir teh.
Udara pagi terasa segar, tapi hati Aurel justru berat. Ia menatap langit biru, memikirkan Leo.
Apa yang kau cari, Leo? batinnya. Apa kau mencoba menyelidiki siapa aku sebenarnya?
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Sementara itu, di ruang utama markas Leo duduk di kursi kulit hitam dengan wajah serius. Di hadapannya berdiri Enzo, memegang berkas tebal.
“Bos, aku sudah periksa lagi semua data para penculik itu. Tidak ada yang punya catatan kriminal besar. Semuanya bersih.”
Leo mengetukkan jarinya di meja. “Bersih? Orang-orang itu mencoba menculik istriku di tengah pesta sederhana yang tidak di tau oleh publik. Kau pikir itu kerjaan orang amatir?”
Enzo menelan ludah. “Tidak, Bos. Tapi ada sesuatu yang aneh…”
“Apa?”
“Salah satu dari mereka punya tato simbol kuno di punggung. Sama seperti yang dipakai kelompok bayangan kakek Anda dulu tuan.”
Leo terdiam. Tato itu… simbol lama dari kelompok pembunuh bayaran rahasia yang dibubarkan lebih dari sepuluh tahun lalu oleh kakeknya sendiri.
Matanya menyipit. “Kau yakin?”
“Seratus persen, Bos.”
Leo menegakkan tubuhnya, pandangan matanya kini gelap. “Kalau begitu, ini bukan sekadar penculikan biasa.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Kembali ke Rumah
Aurel masih duduk di taman ketika pelayan datang membawa ponsel. “Nyonya, telepon dari Tuan Leo.”
Aurel menerima telepon itu, suaranya tetap tenang. “Ya, kak Leo?”
“Jaga dirimu di rumah. Jangan pergi ke mana pun hari ini,” suara Leo terdengar dalam, dingin.
Aurel mengerutkan kening. “Kenapa? Ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku?”
Leo diam sesaat sebelum menjawab, “Hanya berhati-hatilah. Aku akan pulang malam ini.”
Sambungan terputus begitu saja.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Menjelang malang malam Aurel berdiri di balkon kamarnya. tiba tiba seorang pengawal mengetuk pintu.
Tok… tok… tok…
“Masuk.” ucap Aurel
Salah satu pengawal Leo masuk dengan wajah tegang. “Nyonya, kami baru saja mendapat pesan dari markas. Tuan Leo… hilang kontak.”
Aurel menatap pria itu dengan mata membesar. “Apa maksudmu?”
“Mobilnya ditemukan di jalan menuju pelabuhan timur. Kosong.”
Cangkir di tangan Aurel jatuh, pecah di lantai.
“Leo…” bisiknya.