JANGAN ABAIKAN PERINGATAN!
Sadewa, putra seorang pejabat kota Bandung, tak pernah percaya pada hal-hal mistis. Hingga suatu hari dia kalah taruhan dan dipaksa teman-temannya membuka mata batin lewat seorang dukun di kampung.
Awalnya tak terjadi apa-apa, sampai seminggu kemudian dunia Dewa berubah, bayangan-bayangan menyeramkan mulai menghantui langkahnya. Teror dan ketakutan ia rasakan setiap saat bahkan saat tidur sekali pun.
Sampai dimana Dewa menemukan kebenaran dalam keluarganya, dimana keluarganya menyimpan perjanjian gelap dengan iblis. Dan Dewa menemukan fakta yang menyakiti hatinya.
Fakta apa yang Dewa ketahui dalam keluarganya? Sanggupkah dia menjalani harinya dengan segala teror dan ketakutan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24. USAHA
Ruang rawat inap itu dipenuhi cahaya redup dari lampu dinding. Jam di atas pintu berdetik lambat, menandai setiap detik yang terasa panjang. Sadewa duduk di tepi ranjang ibunya, menatap wajah yang tenang namun pucat. Setiap tarikan napas sang ibu bagaikan pengingat bahwa waktu berjalan, dan semakin lama sukma ibunya tertahan di alam lain, semakin rapuh tubuh ini di dunia nyata.
Ayahnya duduk di kursi, menatap kosong lantai. Suaranya pecah ketika berkata, "Dewa, Ayah benar-benar tak tahu harus bagaimana. Selama ini Ayah pikir dunia ini sederhana: kerja, pulang, mendidik anak dengan tegas. Tapi ternyata ada hal-hal yang jauh melampaui akal Ayah."
Sadewa menelan ludah. Ia ragu sejenak, lalu berucap lirih, "Dewa juga nggak terlalu mengerti, Yah. Dewa cuma mau ibu kembali."
Ayahnya mengangkat wajah, menatap anak laki-lakinya dengan sorot mata yang tak pernah Sadewa lihat sebelumnya: campuran rasa takut, penyesalan, dan kasih sayang. "Kau anakku, Dew. Ayah tak bisa bayangkan bagaimana beratnya kau menanggung ini sendirian," katanya.
Ucapan itu membuat Sadewa merasakan sesuatu pecah di dalam dadanya, sesuatu yang selama bertahun-tahun ia kira tak akan pernah datang: pengakuan.
Tama yang sejak tadi bersandar di dinding, melipat tangan, akhirnya angkat suara. "Kita tak bisa berlama-lama hanya menunggu, Sa. Kalau sukma ibumu terus terperangkap, tubuh ini bisa kosong selamanya."
Arsel menunduk, lalu menatap mereka satu per satu. "Aku setuju. Tapi kita sudah mencoba rogo sukmo dan gagal. Pintu perbatasan tertutup rapat. Itu artinya ada kuasa yang lebih besar melarang kita masuk. Kalau kita memaksa lagi tanpa pengetahuan yang benar, risikonya kita bertiga ikut terperangkap."
Sadewa mengangkat kepala, napasnya tercekat. "Lalu apa yang bisa kita lakukan?"
Arsel menghela napas panjang, matanya tajam menatap Sadewa. "Kita harus bertanya pada Eyang. Beliau satu-satunya yang mengerti lebih dalam tentang alam perbatasan itu. Bagaimana aturan mereka, bagaimana cara menembusnya, bahkan mungkin bagaimana menawar atau melawan penjaga gerbangnya. Tanpa petunjuk Eyang, kita seperti buta berjalan di hutan gelap."
Kata 'Eyang' bergema di kepala Sadewa. Dewa tahu kalau pria tua itu bukanlah orang sembarangan, tapi tak menyangka kalau Eyang yang ia tahu adalah orang sehebat itu.
"Apa kau yakin Eyang bisa membantu?" tanya Sadewa ragu.
Arsel mengangguk mantap. "Kalau Beliau tahu ada seorang ibu yang terperangkap, Beliau tidak akan berpaling. Tapi kita harus segera pergi. Semakin lama sukma ibumu tertahan, semakin sulit membawanya kembali."
Sadewa terdiam. Ia menoleh ke ayahnya, ragu apakah pria itu akan marah, melarang, atau menertawakan ide ini. Tapi yang ia lihat justru berbeda.
Ayahnya menatapnya lama, lalu menghela napas berat. "Kalau itu jalan satu-satunya, maka lakukanlah."
Sadewa terperanjat. "Ayah mengizinkan?"
"Ya." Suara ayahnya tegas, tapi kali ini mengandung ketulusan. "Ayah tahu kalian bukan sekadar main-main. Ayah melihat sendiri apa yang terjadi pada ibumu, pada kakakmu. Kalau memang ada harapan ... maka pergilah," ia menatap ke arah Tama dan Arsel, "tolong jaga anakku. Jangan biarkan dia terluka lagi."
Tama menegakkan badan, menepuk dadanya. "Kami akan menjaga Sadewa, Pak. Dia bagian dari kami sekarang."
Arsel menunduk hormat. "Kami berjanji akan melindunginya."
Ayah Sadewa mengangguk, lalu kembali menatap anaknya. Ada sesuatu dalam tatapan itu, campuran berat antara kasih dan ketakutan. "Hati-hati, Dewa. Ingat, kamu bukan hanya anak yang Ayah didik dengan keras. Kamu anak Ayah, walau Ayah selalu kasar sama kamu, tapi Ayah nggak pernah mau sesuatu terjadi sama kamu."
Kata-kata itu membuat dada Sadewa bergemuruh. Ia hanya bisa mengangguk, tersenyum senang mendengar ucapan sayang dari sang ayah.
Di luar kamar, lorong rumah sakit terasa lebih sunyi. Tama menghela napas panjang. Kapan kita kembali ke kosan?"
Arsel mengangguk. " Besok pagi, kita berangkat. Malam ini kita harus istirahat dulu untuk memulihkan tenaga."
Sadewa berdiri di samping mereka, matanya menatap kosong ke jendela gelap. Di balik kaca, hanya ada pantulan wajahnya yang lelah. Tapi di balik semua itu, ia tahu satu hal: hal ini tidak akan mudah.
Malam semakin larut, namun Sadewa tak kunjung bisa memejamkan mata. Ia duduk di kursi samping ranjang ibunya di rumah sakit, menatap wajah pucat itu yang terbaring dengan selang infus. Setiap detik yang lewat terasa seperti butir pasir yang jatuh di jam pasir, mengingatkannya bahwa waktu tak akan berhenti menunggu.
Ayahnya akhirnya tertidur di kursi, kepalanya bersandar ke dinding, namun wajahnya masih menyisakan kekhawatiran yang dalam.
Sadewa menatap sang ayah lama, merasa aneh sekaligus hangat. Pria yang biasanya keras bagai baja, kini tampak rapuh, tapi justru dari kerentanan itu ia melihat kasih sayang yang tak pernah ia sangka.
Tama dan Arsel kembali dari kantin rumah sakit membawa beberapa bungkus nasi dan minuman. Mereka duduk di ruang tunggu, menyantap makanan seadanya dengan wajah muram.
Sadewa mendekat, suaranya lirih. "Apa benar Eyang bisa membantu?" pertanyaan itu kembali dilontarkan oleh Sadewa ke sekian kalinya.
Arsel mengangguk pelan. "Beliau menguasai ilmu yang tak lagi diajarkan di zaman ini. Eyang tahu bahasa para penjaga, tahu jalan tikus menuju gerbang yang bahkan tak semua makhluk gaib mengetahuinya. Kalau ada yang bisa menolong ibumu, hanya Beliau."
Tama menelan makanannya cepat, lalu menepuk bahu Sadewa. "Kamu jangan khawatir. Kita bertiga sudah sampai sejauh ini. Aku nggak akan mundur."
Sadewa menatap kedua sahabat barunya itu, hatinya tergetar. Dulu ia selalu merasa sendirian, terjebak dalam dunia yang tak dipahami siapa pun. Tapi sekarang, ia punya orang-orang yang siap berjalan bersamanya menembus gelap.
Menjelang pagi, Sadewa dan ayahnya kembali ke rumah untuk mengambil beberapa barang penting. Rumah itu masih menyimpan aroma debu dan sisa kekacauan semalam. Kursi terbalik, kaca pecah, noda hitam di dinding yang menjadi saksi bisu peristiwa mengerikan itu. Walau sebagian sudah dibereskan oleh Mbok Sukma yang beruntungnya baik-baik saja walau sempat pingsan.
Ayahnya berdiri di tengah ruangan, terdiam cukup lama sebelum akhirnya berkata, "Pergilah, Dewa. Jangan khawatirkan rumah ini. Ayah akan membereskannya. Kau fokuslah pada perjalananmu."
Sadewa menoleh, matanya berisi keraguan. "Yah, bagaimana kalau-"
Ayahnya segera memotong, nada tegas namun penuh kehangatan. "Nggak perlu khawatirkan kami. Ibumu, Naras, dan Dian akan Ayah jaga. Kau bawa dirimu baik-baik, itu sudah cukup bagi Ayah."
Sadewa menggenggam erat tali tas yang sudah ia siapkan: pakaian seadanya, botol air, serta beberapa benda kecil yang dianggapnya bisa berguna. Jantungnya berdentum keras, setengah takut, setengah bersemangat.
Ia maju, memeluk ayahnya erat. Itu adalah pelukan yang jarang, bahkan hampir tak pernah terjadi di antara mereka. Ayahnya membalas pelukan itu, menepuk punggung anaknya dengan tangan bergetar.
"Jangan takut," bisik ayahnya. "Kau bisa melakukannya."
Ketika Sadewa melepaskan pelukan itu, ia merasa lebih baik, namun di baliknya ada api semangat yang menyala. Ia menoleh pada Tama dan Arsel yang sudah menunggu di depan pintu.
"Baik. Mari kita temui Eyang," kata Sadewa.
Mereka bertiga melangkah keluar rumah, meninggalkan halaman yang masih basah oleh embun pagi. Jalan di depan terbentang panjang, penuh misteri dan bahaya. Namun hati mereka mantap: demi menyelamatkan ibu Sadewa, tak ada jalan lain selain menembus kegelapan abadi itu.
ikutan emosi,kalut,takut n apa y,gtu lah pokoknya mah
ternyata bener kn jadi tumbal
kenapa si dewa ini
apa ayahnya Dewa???