NovelToon NovelToon
SUAMI DADAKAN

SUAMI DADAKAN

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / CEO / Cinta setelah menikah / Pengantin Pengganti / Pernikahan Kilat / Bercocok tanam
Popularitas:13.2k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Khanza hanya berniat mengambil cuti untuk menghadiri pernikahan sepupunya di desa. Namun, bosnya, Reza, tiba-tiba bersikeras ikut karena penasaran dengan suasana pernikahan desa. Awalnya Khanza menganggapnya hal biasa, sampai situasi berubah drastis—keluarganya justru memaksa dirinya menikah dengan Reza. Padahal Khanza sudah memiliki kekasih. Khanza meminta Yanuar untuk datang menikahinya, tetapi Yanuar tidak bisa datang.
Terjebak dalam keadaan yang tak pernah ia bayangkan, Khanza harus menerima kenyataan bahwa bos yang sering membuatnya kesal kini resmi menjadi suaminya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 27

Tangan Reza bergetar saat merogoh ponselnya.

Ia menatap kontak Mama lama sekali sebelum akhirnya menekan tombol panggil.

“Halo, Reza? Sudah ketemu Khanza? Mama dari tadi nunggu kabar darimu,” suara ibunya terdengar cemas.

Butuh beberapa detik hingga Reza sanggup menjawab. Suaranya pecah.

“Ma, Khanza di rumah sakit…”

“A-apa? Kenapa? Kecelakaan? Jatuh? Kenapa, Nak?” suara ibunya mulai bergetar.

Reza menahan napas panjang, tapi akhirnya pecah juga.

“Ma,.dokter bilang Khanza terkena leukemia…”

Suara mama langsung berubah panik dan pecah tangis.

“Allahu Akbar, Ya Tuhan…” isaknya terdengar jelas.

“Ma, Mama tahu penyakit ayahnya dulu kan?"

Hening sesaat.

“Ayahnya Khanza meninggal karena leukemia juga, Reza, Mama takut anak itu harus jalani hal yang sama…”

Reza menutup wajahnya. Tubuhnya seperti runtuh.

“Ma, tolong. Mama berangkat sekarang. Aku butuh Mama di sini. Khanza butuh Mama…”

“Astaghfirullah. iya, Nak. Mama berangkat sekarang juga. Kamu kuat, ya? Jangan tinggalin Khanza sendirian…”

Reza menatap ponselnya lama, sebelum akhirnya ia bangkit berdiri kembali di depan ruang ICU.

Pintu kaca besar itu kini terasa seperti penghalang antara hidup dan mati.

Tak lama kemudian, dokter keluar, melepas sarung tangannya.

“Pak Reza, untuk sementara kondisinya sudah stabil. Kami izinkan satu orang keluarga untuk masuk sebentar. Tapi jangan terlalu lama.”

Reza mengangguk cepat, matanya tak bisa menyembunyikan harapan sekaligus ketakutan.

“Boleh saya masuk sekarang, Dok?”

Dokter menganggukkan kepalanya dan memperbolehkan Reza untuk masuk kedalam.

Dengan langkah berat namun penuh tekad, Reza mendorong pintu ICU itu perlahan.

Suara mesin monitor detak jantung terdengar ritmis. Dan di sana tubuh Khanza terbaring lemah, selang oksigen menempel di hidungnya, wajahnya pucat dengan sisa darah kering di tepi bibirnya.

Reza mendekat perlahan, seakan takut menyentuh mimpi yang bisa hancur kapan saja.

Ia duduk di samping ranjang, menggenggam tangan Khanza yang dingin.

Air matanya jatuh satu per satu ke punggung tangan itu.

“Za. Kalau kamu dengar aku, tolong jangan pergi…”

Ia menunduk, menyandarkan dahinya ke tangan Khanza.

“Aku nggak peduli kamu benci aku atau nggak mau lihat aku lagi. Asal kamu hidup. Asal kamu bangun lagi. Aku rela jadi apapun suami yang kamu benci pun nggak apa-apa, asal kamu ada."

Detik itu, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Reza menangis tanpa menahan diri, tanpa gengsi.

Dan di balik kelopak mata Khanza yang tertutup… air mata menetes perlahan.

Khanza membuka matanya perlahan. Penglihatannya buram, tapi ia bisa melihat sosok

Reza yang duduk di sampingnya, menangis sambil menggenggam tangannya.

“M-mas… Reza…” panggilnya lirih, hampir hanya berupa bisikan.

Reza langsung tersentak. Ia mengangkat kepalanya cepat, matanya memerah, pipinya basah oleh air mata.

“Za?! Ya Allah… Za!” suaranya bergetar hebat.

Ia berdiri, mendekatkan wajahnya pada Khanza.

“Kamu sadar, Alhamdulillah kamu sadar…”

Khanza menatapnya lemah, bibirnya bergetar.

“Mas, kenapa Mas di sini?”

Reza menarik napas panjang, lalu menunduk, suaranya parau.

“Aku salah, Za. Aku orang paling bodoh di dunia. Aku tampar kamu, aku usir kamuz aku jatuhkan talak ke kamu…” suaranya pecah lagi.

“Tapi aku nggak sanggup kalau kamu pergi beneran… jangan tinggalin aku, Za…”

Air mata Khanza ikut jatuh. “Mas… jangan nangis…”

“Gimana aku nggak nangis? Kamu sakit dan kamu sembunyikan semuanya sendiri. Kenapa kamu harus tanggung semuanya sendirian, Za?”

Khanza memejamkan mata, mencoba menahan tangisnya.

“Aku nggak mau jadi beban…”

“Diam.” Reza menatapnya dengan mata berkaca-kaca, tapi penuh ketegasan.

Ia menggenggam tangan Khanza lebih erat, bahkan seolah takut kehilangan jika ia melepaskannya sedikit saja.

“Mulai sekarang, kamu nggak akan sendiri lagi. Aku nggak peduli kamu mau anggap aku suami, mantan, atau orang asing. Aku bakal tetap di sini. Aku bakal rawat kamu, sampai kamu sembuh.”

“Mas,.tapi talak itu—”

“Talak itu ucapan orang bodoh yang kalap.” Reza menatapnya dalam-dalam.

“Selama kamu belum terima, selama kamu belum ikhlas. Aku akan anggap talak itu nggak pernah ada. Dan kalau pun ada… aku akan lamar kamu lagi. Berapa kali pun perlu, aku bakal datang ke pelaminan yang sama. Asal kamu tetap hidup.”

Khanza menutup wajahnya pelan dengan tangan yang masih lemah, air matanya mengalir deras.

“Mas, jangan seperti itu. Aku takut…”

Reza langsung berdiri dan membungkuk, mendekap tubuh Khanza perlahan agar tidak mengganggu alat medisnya.

“Aku yang takut, Za. Aku takut kehilangan kamu.”

Untuk beberapa detik, mereka hanya terdiam dalam pelukan yang penuh luka tapi juga penuh harapan.

Lalu, dengan suara nyaris tak terdengar, Khanza berbisik:

“Mas, jangan pergi lagi. Aku butuh Mas…”

Reza mengecup keningnya.

“Aku nggak bakal pergi. Demi Allah, aku nggak bakal tinggalkan kamu lagi.”

Beberapa menit setelah momen penuh air mata itu, pintu ICU kembali terbuka.

Seorang dokter dan dua perawat masuk, melihat Reza yang masih menggenggam tangan Khanza.

“Pak, kami senang Bu Khanza sudah sadar. Tapi mohon beri kami ruang untuk memeriksa keadaan Khanza,” ujar dokter dengan suara tenang.

Reza mengangguk pelan, lalu melepaskan pelukannya.

Ia mundur beberapa langkah namun tetap berdiri tak jauh dari ranjang, matanya tetap tak lepas dari Khanza.

Dokter memeriksa tekanan darah, detak jantung, dan hasil laboratorium terakhir.

“Stabil,” gumam sang dokter.

“Syukurlah.”

Setelah beberapa saat, dokter menatap Reza dan Khanza bergantian.

“Karena kondisinya sudah membaik, kami akan pindahkan Bu Khanza ke ruang perawatan biasa. Tapi saya harus ingatkan, ini baru awal dari proses panjang,” ucapnya lembut.

“Dok, aku bisa pulang aja nggak? Aku istirahat di rumah saja, aku nggak mau lama-lama di sini…”

“Tidak semudah itu, Bu. Untuk leukemia, kita perlu segera mulai kemoterapi agar tidak berkembang ke tahap lanjut.”

Khanza langsung menegang. Matanya membesar.

“Tidak, Dok. Aku nggak mau kemo.”

“Za—”

“Aku nggak mau rambutku rontok, aku nggak mau muntah-muntah, aku nggak mau kelihatan lebih sakit dari ini…” suara Khanza bergetar, mulai panik.

“Aku nggak siap…”

Reza mengepalkan tangan, menahan emosi. Lalu ia mendekat, menatap Khanza tajam.

“Za, ini bukan soal rambut atau kelihatan kuat. Ini soal hidup kamu!”

“Aku nggak mau!” seru Khanza, mulai terisak. “

"Mas nggak berhak maksa aku!”

“Berhak?!” Reza meninggikan suara. “Aku berhak karena aku suami kamu!”

Khanza memalingkan wajah, air matanya jatuh deras.

“Kita bukan suami istri lagi, Mas. Kamu yang bilang…”

Suara itu lirih, tapi menampar Reza lebih keras dari apapun.

Ruangan mendadak hening. Bahkan dokter dan perawat menunduk pelan sebelum akhirnya keluar secara sopan, memberi ruang untuk keduanya.

Reza berdiri diam beberapa detik. Lalu ia menarik napas panjang seakan menenggelamkan egonya bersama udara yang ia buang.

Dengan suara lebih lembut namun penuh keteguhan, ia berkata:

“Kalau itu masalahnya…”

Ia mendekat, lalu berlutut di samping ranjang Khanza.

Mata Khanza membesar kaget.

“Za,” ucap Reza, suaranya bergetar.

“Kalau kamu butuh kepastian… kalau kamu butuh alasan untuk bertahan… aku kasih.”

Ia menatap mata Khanza dalam-dalam.

“Mulai sekarang aku anggap talak itu tidak pernah ada. Dan kalau kamu tidak mau, kalau kamu anggap aku sudah bukan suamimu…”

Reza menarik napas sekali lagi.

“Maka izinkan aku melamar kamu sekali lagi.”

Khanza terdiam, tubuhnya membeku. Air matanya terus mengalir tanpa henti.

“Begitu kamu keluar dari rumah sakit ini kita nikah lagi. Dengan cara yang kamu mau. Di tempat yang kamu pilih. Pakai gaun yang kamu suka. Aku nggak akan biarkan kamu jalan sendiri lagi. Jadi, bertahanlah, Za. Demi pernikahan kita.”

1
Dwi Estuning
lanjut
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!