Anindya Semesta hanyalah gadis ingusan yang baru saja menyelesaikan kuliah. Daripada buru-buru mencari kerja atau lanjut S2, dia lebih memilih untuk menikmati hari-harinya dengan bermalasan setelah beberapa bulan berkutat dengan skripsi dan bimbingan.
Sayangnya, keinginan itu tak mendapatkan dukungan dari orang tua, terutama ayahnya. Julian Theo Xander ingin putri tunggalnya segera menikah! Dia ingin segera menimang cucu, supaya tidak kalah saing dengan koleganya yang lain.
"Menikah sama siapa? Anin nggak punya pacar!"
"Ada anak kolega Papi, besok kalian ketemu!"
Tetapi Anindya tidak mau. Menyerahkan hidupnya untuk dimiliki oleh laki-laki asing adalah mimpi buruk. Jadi, dia segera putar otak mencari solusi. Dan tak ada yang lebih baik daripada meminta bantuan Malik, tetangga sebelah yang baru pindah enam bulan lalu.
Malik tampan, mapan, terlihat misterius dan menawan, Anindya suka!
Tapi masalahnya, apakah Malik mau membantu secara cuma-cuma?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semesta 28.
Kalau ada yang lebih panas daripada lava gunung berapi, itu adalah hati Malik saat ini. Tidak peduli seberapa banyak dia menyedot smoothie dan menggerogoti es batu, panasnya tidak juga kunjung reda, malah semakin membara.
Udara di dalam pet cafe itu sebenarnya sejuk. Pendingin ruangan bekerja cukup baik, ditambah aroma kopi dan harum wangi sabun khusus anabul bercampur jadi satu, membuat suasana semakin terkesan nyaman dan bersih. Musik akustik mengalun pelan, bercampur suara decit mainan karet yang digigit para kucing, serta dengungan percakapan pengunjung. Namun, semua itu tidak ada artinya buat Malik. Dia tetap merasa seperti duduk di atas kompor yang nyalanya sengaja dibesarkan.
Dia setuju datang ke pet cafe milik Glenn ini karena Anindya bilang hanya ingin mengantarkan undangan pernikahan. Titik. Tidak lebih. Mana dia tahu kalau tiba-tiba akan dapat bonus: menyaksikan Anindya bercengkerama akrab dengan remaja bau kencur itu.
Si gendut Tamtam itu pun sama saja. Seakan sengaja menggelendot terus pada Anindya supaya sang gadis makin tidak beranjak dari tempatnya.
Sayangnya, meja tempat Malik duduk menyedot smoothie berada cukup jauh dari area main para anabul. Malah terhalang setengah dinding kaca rendah yang dipasang khusus supaya para kucing tidak keluar area. Dari sini, Malik tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang keduanya bicarakan. Yang bisa ia tangkap hanya momen ketika mereka tertawa—itu pun karena ledakan tawanya terlalu membahana, sampai-sampai membuat pengunjung lain turut menoleh penasaran.
“Cih.” Malik mendecih sebal. Dia memutar gelas di tangannya, es-es di dalamnya saling beradu menimbulkan bunyi berderik.
Diliriknya ponsel, sudah pukul 4 lewat 9. Ternyata sudah lama sekali mereka di sini, sudah hampir lima jam. Lima jam, Sayang! Bahkan nonton film tiga jam pun biasanya Malik sudah gelisah kalau bukan film kesukaannya.
Ketika Malik mengalihkan pandangan lagi ke arah area bermain, Glenn sedang mengusap sayang kepala Tamtam. Sekilas tidak ada yang salah. Kalau saja si gendut jelek itu tidak sedang rebahan di pangkuan Anindya, seperti raja yang sedang menikmati pijatan dayang istana.
Sekarang, hati Malik sudah bukan panas lagi—meleleh lah sudah, bagai logam dimasukkan ke tabung pemanas dengan suhu ratusan derajat celsius. Dia bisa merasakan telinganya memanas, bahkan ujung jarinya ikut kesemutan karena menahan rasa jengkel.
Malik menyambar ponselnya, mengetikkan pesan secepat kilat. Jempolnya bergerak begitu cepat sampai-sampai auto-correct nyaris tidak sempat ikut campur. Diperhatikannya sosok nun jauh di seberang sambil menunggu pesannya dibalas.
Namun, Anindya hanya melirik ponselnya sekilas. Hanya sebentar, tetapi seharusnya cukup untuk gadis itu melihat pesan itu datang darinya.
“Berani-beraninya dia begitu,” kesal Malik. Dia mengetik lagi. Lalu lagi. Dan lagi. Beberapa pesan ia kirimkan berturut-turut, memberondong bak peluru pasukan perang.
Sama saja. Si gadis ingusan tetap hanya melirik ponselnya tanpa ada niatan menggerakkan tangannya untuk memeriksa.
Malik sudah tidak tahan lagi. Gelas smoothie yang tinggal sisa bongkahan es batu saja, dia raih. Bongkahan es batu di dalamnya dimasukkan ke dalam mulut. Memenuhi rongga hingga pipinya turut menggembung. Ngilu dan kebas terasa sewaktu dia mulai mengunyah es batunya. Tidak nyaman, tapi Malik tetap lakukan sebagai bentuk pengalihan.
Setelah semua es batu di mulutnya habis dikunyah sampai gigi depannya protes, Malik bangkit dan berjalan cepat menghampiri Anindya.
Tetapi baru juga sampai, mulutnya belum mangap untuk menarik atensi, Malik sudah lebih dulu mendapatkan serangan. Si gendut Tamtam tahu-tahu lompat dari pangkuan Anindya, berlari menghampiri dirinya, kemudian menggigit kakinya main-main. Gigi-gigi mungilnya mencapit bagian celana, tidak sakit, hanya cukup untuk membuat langkah Malik terhenti.
“Eh, gendut,” Malik membungkuk, berniat mengusir Tamtam secara halus. Namun urung setelah Anindya buka suara, malah memintanya untuk mengajak main si buntelan bulu itu.
“Udah sore, kita harus pulang,” tolak Malik, nada suaranya datar tapi tegas.
“Mas Malik....” Anindya mulai merengek. Sepasang mata berbinar penuh haru menyerang Malik tanpa ampun. Menerobos dinding pertahanannya secara bertubi-tubi.
Malik menghela napas berat. Dia tahu persis ini adalah senjata pamungkas Anindya—pandangan memelas yang sering kali berhasil meluluhkan hatinya. Dan seperti dugaan, pertahanannya runtuh.
Akhirnya dia pungut juga si gendut, lalu dia bawa ke pangkuannya. Tamtam langsung bersikap seperti habis menang lotre, mengeong manja sambil merapatkan tubuhnya pada dada Malik. Yang mulanya ingin mengajak pulang, Malik kini malah terjebak di tengah-tengah. Dirinya dan Tamtam mendadak jadi pusat perhatian.
Anindya dan Glenn memandang mereka sambil bertopang tangan. Seakan-akan sedang menonton tayangan langka di televisi—Malik yang biasanya dingin, sekarang terlihat seperti sosok yang begitu penyayang.
“Mas Malik,” panggil Anindya pelan.
“Apa?” Malik masih sibuk mengusap gumpalan lemak di perut Tamtam, setengah sadar setengah tidak.
“Venue resepsi kita bisa dibikin pet friendly nggak ya kira-kira?”
Malik berhenti mengusap perut Tamtam yang kini gegoleran di lantai, lalu menatap Anindya sejenak. Dia membayangkan skenario resepsi penuh anjing dan kucing—lucu sih, tapi ribet. Belum lagi kalau ada yang alergi. Lagi pula, semuanya sudah disiapkan. Mana bisa tiba-tiba Anindya minta ubah sesuatu secara dadakan, h-5 pula.
“Kayaknya nggak bisa,” jawabnya kemudian.
Anindya melenguh kecewa. Wajahnya mendadak murung, bak habis ditolak setelah confess ke cinta pertamanya. Malik sebenarnya ingin menjelaskan alasannya, tapi urung. Kalau dia jelaskan, Anindya pasti akan sibuk mencari ari celah untuk berdebat.
“Kalau gitu, kita ketemu di luar aja, Mbak Anin. Setelah resepsinya selesai.”
Pandangan Malik berubah cepat, menyasar Glenn yang barusan menyeletuk bagai tidak punya dosa. Enak saja, batinnya. Remaja bau kencur ini berani sekali mengajak ketemuan calon istri orang, sudah gitu ngomongnya langsung di depan calon suaminya pula? Benar-benar ada sembilan mungkin nyawanya.
“Nggak boleh.” Malik berucap refleks, suaranya tegas, nyaris tanpa jeda.
Dua pasang mata langsung menatapnya penuh penghakiman. Tamtam pun turut mengeong, seakan hendak ikut protes. Malik menatap balik, sama sekali tidak terpengaruh.
Dia mendesah pelan. Sudahlah, memang sudah seharusnya mereka pulang sejak tadi. Makin lama ditunda, makin banyak saja nanti huru-hara tercipta. Dia tidak mau pulang dengan kepala penuh pikiran kesal.
“Kita pulang sekarang,” ucapnya. “Saya tunggu di mobil ya. Kalau lima menit nggak nyusul, saya panggilin Damkar.” Sambungnya, lalu balik badan maju jalan. Ngeloyor begitu saja tanpa mau mendengar titahnya didebat.
Suasana di belakangnya terdengar sedikit ricuh—Tamtam mengeong panjang, Anindya memanggil-manggil namanya, dan Glenn tertawa kecil sambil mengatakan sesuatu yang sengaja Malik abaikan. Dia tidak ingin tahu, tidak ingin dengar. Yang dia mau sekarang hanya keluar dari tempat ini sebelum berubah jadi setan bertanduk merah.
Bersambung....