Arunika adalah seorang wanita yang memendam cinta dalam diam, membangun istana harapan di atas sajadah merah yang pernah diberikan oleh Raka, pria yang diam-diam memikat hatinya. Setiap sujud dan lantunan doa Arunika selalu tertuju pada Raka, berharap sebuah takdir indah akan menyatukan mereka. Namun, kenyataan menghantamnya bagai palu godam ketika ia mengetahui bahwa Raka telah bertunangan, dan tak lama kemudian, resmi menikah dengan wanita lain, Sandria. Arunika pun dipaksa mengubah 90 derajat arah doa dan harapannya, berusaha keras mengubur perasaan demi menjaga sebuah ikatan suci yang bukan miliknya.
Ketika Arunika tengah berjuang menyembuhkan hatinya, Raka justru muncul kembali. Pria itu terang-terangan mengakui ketidakbahagiaannya dalam pernikahan dan tak henti-hentinya menguntit Arunika, seolah meyakini bahwa sajadah merah yang masih disimpan Arunika adalah bukti perasaannya tak pernah berubah. Arunika dihadapkan pada dilema moral yang hebat: apakah ia akan menyerah pada godaan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maya Melinda Damayanty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 31. Gala Lunch Tender
Karena proposalnya masuk dua puluh terpilih. Hari ini ia dan Medi akan mempresentasikan di hadapan beberapa pengusaha.
Eka sudah mempersiapkan dua puluh dress mewah, berikut aksesorisnya. Arunika sedikit keberatan dengan semuanya.
"Bunda ... Bisa nggak, kalau biasa aja?" pinta Arunika.
"Mana bisa Nak!" geleng Eka menolak.
"Tapi kan, aku dan.Medi hanya mahasiswi yang ikut even!' sahut Arunika menatap dress pilihan ibunya.
'Justru itu. Siapa tau, kalian nanti terjun di dunia bisnis. Mereka langsung mengenali kalian karena berpenampilan menarik!" sahut Eka, lalu menatap pilihan dress-nya dengan puas.
Sebuah dress dengan rok mengembang selutut, berbahan brokat dilapisi katun, warna merah muda. Eka mendandani putrinya. Tidak berlebihan dan sangat sesuai dengan umurnya.
"Bisa pake yang formal aja nggak? Kan aku bawa banyak barang!" lanjutnya mengeluh.
"Sayang!" tegur Eka.
Purnomo masuk, ia tertegun melihat betapa Arunika sangat cantik dan terlihat lebih dewasa.
"Apa sudah siap?" tanyanya setelah terpesona beberapa detik.
Arunika dan Eka menoleh, tampak sekali wajah Arunika yang enggan. Purnomo mengelus kepala putrinya.
"Menurut lah, Nak. Ini semua demi kebaikanmu. Sebagai pebisnis, kita juga harus menunjukkan kelas kita!" ujar Purnomo lagi.
"Itu namanya gengsi!" sambungnya.
"Tapi ...," Arunika masih keberatan.
"Itu halal di bisnis Nak. Pamer dan menonjolkan diri itu wajib di dunia perbisnisan! Kalau tidak. Kamu akan ditinggal dan tak ada yang mau melirik sebagus dan seprofit apapun usahamu!" sahut Purnomo tak memberikan Arunika sela apapun.
Arunika akhirnya menurut, bukan karena takut. Tapi apa perkataan kedua orang tuanya itu benar. Dunia bisnis itu, sangat kejam dan keras.
Arunika dan Purnomo pun pergi diantar oleh Eka. Sepanjang perjalanan, Arunika sibuk berbalas pesan dengan Media yang juga sudah dalam perjalanan.
Sebuah restoran mewah di bilangan Sudirman sudah dipenuhi tamu undangan. Para pengusaha, investor, dan jajaran direksi duduk rapi di kursi empuk, sementara para mahasiswa—calon pemimpin masa depan—mulai berdatangan dengan wajah tegang.
Arunika turun dari mobil keluarga, gaun merah muda itu membuatnya terlihat berbeda dari biasanya. Tatapan orang-orang segera menoleh. Beberapa mahasiswi bahkan berbisik-bisik.
“Arunika? Gila… cantik banget.”
“Kayak bukan anak kampus deh, udah kayak calon nyonya bos!”
Arunika merona malu. Untung Medi datang hampir bersamaan, tampil chic dengan blazer putih tulang dan rok pensil hitam. Rambutnya dicepol rapi, memberi aura profesional.
“Run! Wah, kita serasi juga ya!” Medi menyenggol pelan, menahan gugup dengan gaya percaya diri khasnya.
Arunika hanya mengangguk pelan, mereka pun masuk ruangan besar itu. Mata keduanya disuguhkan dengan kemewahan para pebisnis. Dari pakaian, tas, jam dan bahasa yang khas. Medi dan Arunika seperti berada di dunia yang jauh dari dunia mereka.
Arunika menahan napas ketika melangkah masuk ke ruangan restoran yang penuh cahaya lampu kristal. Gaun merah muda yang membalut tubuhnya membuat ia terlihat kontras di antara jas-jas mahal dan gaun-gaun branded. Medi di sampingnya sudah menegakkan badan, mencoba tampak percaya diri meski hatinya sama berdebarnya.
Dari jauh, Raka duduk bersama timnya. Matanya langsung menangkap sosok Arunika. Ada rasa bangga, ada pula getir yang menusuk, karena ia tahu dirinya tak akan mudah mendekati gadis itu di tengah banyaknya orang penting.
Di barisan tamu kehormatan, Purnomo memilih duduk lebih jauh. Ia ingin memberi ruang pada putrinya. Tidak ada intervensi. Tidak ada bayang-bayang perlindungan. Hanya doa dalam hati.
Medi sempat menarik ujung dress Arunika dengan canggung.
“Nik, ayah kamu nggak bantuin?” bisiknya penuh harap.
Arunika menoleh, senyum kecil muncul di bibirnya.
“Ayah nggak mau, Med. Kita harus berjalan dengan kepala terangkat dan kaki melangkah tepat!” balasnya tenang, meski jantungnya masih berdebar.
Medi tercekat. Ia sempat berpikir Purnomo akan ikut ‘main tangan’ dalam urusan bisnis, tapi ternyata tidak. Mereka benar-benar dibiarkan bertarung sendiri.
Suasana semakin menegangkan ketika pembawa acara naik ke podium.
“Hadirin yang kami hormati, selamat datang di Gala Presentation Night. Hari ini, dua puluh proposal terbaik akan dipresentasikan di hadapan dewan direksi dan pengusaha senior. Mari kita sambut dengan tepuk tangan seluruh peserta yang lolos!”
Tepuk tangan riuh memenuhi ruangan. Medi menggenggam tangan Arunika sekilas, memberi semangat.
Albert, ayah Medi, sempat berdiri dari kursinya begitu melihat putrinya. “Gisela…” panggilnya lirih. Namun langkahnya tertahan, karena MC langsung meminta para peserta duduk di kursi yang telah ditentukan.
Arunika dan Medi pun duduk bersebelahan, di barisan khusus mahasiswa. Di depan mereka, deretan pengusaha besar menatap penuh wibawa. Raka melirik sekilas dari kursinya di sisi lain, lalu menunduk lagi, tak ingin sorot matanya ketahuan.
Arunika menarik napas panjang. Ia tahu, ini bukan lagi sekadar presentasi kelas. Ini adalah panggung nyata, dunia bisnis yang akan menjadi masa depannya.
Tak lama acara dimulai, satu persatu peserta maju untuk presentasi. Wajah-wajah tegang dan gugup nampak, ada beberapa eksiden seperti salah ucap dan latah. Hal itu membuat ruangan sedikit cair.
"Tenang anak-anak! Usahakan saja semaksimal mungkin!" ujar pembawa acara menenangkan peserta.
Medi dan Arunika maju sebagai peserta terakhir nomor dua. Nafas keduanya nyaris tak seirama—Medi sibuk menenangkan diri, sementara Arunika terlihat menahan gejolak dalam dadanya.
"Baik, selamat siang rekan-rekan semuanya! Perkenalan nama saya Arunika dan rekan saya ...," Arunika memulai dengan memperkenalkan diri.
"Media Gisela!" sahut Media.
"Kalian hanya berdua?" tanya salah satu pengusaha muda yang duduk di deretan juri.
"Benar Boss .. Eh!" sahut Medi lepas dan langsung menutup mulutnya dengan tangan.
Suasana sedikit cair karena ada beberapa pengusaha yang tertawa ringan. Arunika benar-benar ingin menenggelamkan dirinya dalam bumi sekarang.
'Kalau begitu, silahkan!" lanjut pebisnis muda itu.
"Baiklah, terimakasih Pak! Kali ini kami akan ...."
Uraian demi uraian disampaikan, Arunika dan Medi secara bergantian. Tim pengembang project dan tanggung jawab HRD, Medi yang bersuara. Sementara pelaksanaan pembangunan, modal dan perincian, dijelaskan oleh Arunika.
Penjelasan yang lugas dan sangat rapi, bahkan kendala cuaca serta human error masuk dalam presentasi dan diberi solusi yang baik.
" .... Jadi seperti itu draf pembangunan yang kami tawarkan!" ujar Arunika menutup presentasi.
Semua bertepuk tangan meriah, banyak bisik-bisik antar juri. Mereka nampak puas dengan apa yang diuraikan barusan.
"Terimakasih Arunika dan Medi. Presentasi kalian sangat menarik. Tapi ada yang kurang ....'
Medi dan Arunika langsung tegang.
'Nama perusahaan kalian, tidak disebutkan!" Arunika dan Medi baru sadar.
'Yah!" bukan Arunika dan Medi saja yang seperti itu. Tapi beberapa peserta lainnya.
Peserta terakhir maju, Raka berjalan bersama empat temannya. Arunika dan Medi terkejut bukan main.
"Wah ... Raka juga ikutan?" tanya Medi, Arunika hanya diam saja.
Selesai Raka presentasi, hasil akhir akan diumumkan setelah makan siang.
Restoran yang mewah itu langsung dipenuhi percakapan. Para peserta lega, sementara para dosen dan sponsor tampak puas.
Kemudian, pemegang event—seorang pria paruh baya dengan jas hitam rapi—berdiri. Suaranya menggelegar di ruang itu:
“Saya selaku donatur utama even ini sangat bangga melihat anak-anak muda seperti kalian! Luar biasa. Saya tidak pernah melihat presentasi proposal begitu sempurna seperti ini!”
Hening sejenak, lalu ia menambahkan dengan senyum lebar,
“Saya akan kasih draf nilai A untuk kalian semua!”
Tepuk tangan meriah pun pecah. Medi sampai terlonjak kecil, sementara Arunika hanya menunduk sambil menahan senyum lega.
Tiga tim diumumkan, nama Arunika dan Medi tak ada. Begitu pula tim Raka.
Medi meremas tangan sahabatnya, tersenyum hambar.
“Kita gagal, Nik…” bisiknya lirih.
Arunika hanya menunduk, berusaha menelan kecewa dengan kepala tetap tegak seperti janjinya.
Sementara Raka, dari bangkunya, melirik Arunika sekilas. Ada sorot menahan rasa, tapi ia lekas menyamarkan dengan senyum tipis untuk rekan-rekannya.
Acara selesai, para peserta pulang dengan perasaan campur aduk. Begitu keluar dari restoran, Albert—ayah Medi—langsung menghampiri. Wajahnya sumringah meski putrinya gagal.
“Gisela!” serunya sambil merangkul Medi erat. “Papa bangga sama kamu.”
Medi langsung tersenyum lebar, hatinya hangat. Ia buru-buru menarik Arunika ke samping.
“Pa, ini sahabat aku. Namanya Arunika.”
Albert menatap gadis itu, mengangguk ramah. “Terima kasih sudah menemani Gisela. Kamu hebat, Nak.”
Arunika hanya tersenyum tipis, tapi dalam hati ia merasa tenang—setidaknya, ada orang tua yang melihat usahanya.
Bersambung.
Nggak apa-apa, gagal itu adalah sukses yang tertunda.
Next?
yuhuuu
kamu d manaaaaa
Aru rindu niiiih
kamu jahara ikh
😄😄✌️
Arunika n Media hebat!!!
selamat y buat xan berdua n tetap semangat
apakah itu awal dari cinta yg mulai bersemi d hati Aru tidak tersampaikan,n tidak bersatu sama Raka,,hm
kalo aku pribadi punya sh Genk waktu itu sekitar 7 orang,temen SMK..
awal awal sh masih keep in touch tapi ternyata kesibukan masing masing yg membuat jarak semakin jauh,lalu aku juga punya sahabat 1,tapi Alhamdulillah juga mungkin d karenakan beliau lebih dr aku,pelan tapi pasti beliau yg menjauh,karena mungkin aku bukan level nya lagi 😊,jadi sekarang sudah tidak berkomunikasi sama siapapun temen d Genk tsb,husnudzon saja lah,n semoga mereka semua baik baik saja n panjang umurnya..
Aamiin y Alloh
semangat aru