Aku mengenalnya sejak kuliah. Kami bertiga—aku, dia, dan sahabatku—selalu bersama.
Aku pikir, setelah menikah dengannya, segalanya akan indah.
Tapi yang tak pernah kuduga, luka terdalamku justru datang dari dua orang yang paling kucintai: suamiku... dan sahabatku sendiri.
Ketika rahasia perselingkuhan itu terbongkar, aku dihadapkan pada kenyataan yang lebih menyakitkan—bahwa aku sedang mengandung anaknya.
Antara bertahan demi anak, atau pergi membawa kehormatan yang tersisa.
Ini bukan kisah cinta. Ini kisah tentang dikhianati, bangkit, dan mencintai diri sendiri...
"Suamiku di Ranjang Sahabatku" — Luka yang datang dari rumah sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizki Gustiasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sidang pertama..
Ruang sidang keluarga di Pengadilan Agama siang itu terasa penuh ketegangan meskipun sunyi. Lampu neon memancarkan cahaya putih terang, menerangi ruangan yang didominasi warna krem dan cokelat kayu. Para petugas hukum tampak bersiap di kursi masing-masing. Di sisi kanan, pengacara Nayla, Aldi, duduk berdampingan dengan kliennya. Aldi tampak rapi dengan setelan jas hitam dan kemeja putih, sesekali membisikkan sesuatu pada Nayla yang wajahnya tegas namun mata menyimpan semburat gugup.
Di sisi seberangnya, Raka duduk bersama pengacaranya, Ibu Rani—seorang perempuan paruh baya yang dikenal tenang dan tajam dalam menangani perkara perceraian. Wajah Raka terlihat lesu. Dahi berkerut, mata sembab. Jas biru tua yang ia kenakan tak mampu menyembunyikan kelelahan dan kekalutan di balik tubuhnya yang tegap.
Majelis hakim yang dipimpin oleh Hakim Ketua, Bapak Hendra, membuka persidangan dengan suara berat namun tegas. "Saudara-saudari, hari ini kita memulai persidangan pertama untuk perkara gugatan cerai antara saudari Nayla sebagai penggugat dan saudara Raka sebagai tergugat."
Hakim kemudian mempersilakan kedua pihak untuk menyampaikan pernyataan awal. Aldi berdiri, lalu mengangguk hormat sebelum memulai:
"Yang Mulia, saya mewakili klien saya, saudari Nayla, yang dengan penuh pertimbangan dan kesadaran telah mengajukan gugatan cerai terhadap suaminya, saudara Raka. Keputusan ini bukan diambil secara impulsif, melainkan setelah berbagai usaha penyelesaian pribadi dan mediasi keluarga yang tidak membuahkan hasil. Klien kami telah mengalami ketidakstabilan emosi dan kepercayaan dalam rumah tangganya karena adanya tindakan berulang yang melukai perasaan serta integritas hubungan pernikahan mereka."
Raka menunduk, sementara tangan kanannya mengepal di atas pangkuannya. Sementara itu, Nayla hanya diam. Sorot matanya tetap lurus ke depan, walau ada sedikit getaran yang sulit disembunyikan.
Kini giliran Ibu Rani berbicara. Dengan suara tenang, ia berkata, "Yang Mulia, kami mengakui adanya kesalahan dari pihak tergugat di masa lalu. Namun, perlu kami sampaikan bahwa tergugat masih memiliki itikad baik untuk mempertahankan rumah tangganya. Tergugat sangat menyesali kesalahan yang telah dilakukan dan masih berharap adanya mediasi atau rekonsiliasi."
Hakim Ketua mencatat pernyataan tersebut, lalu menatap kedua belah pihak. "Sebelum masuk pada tahap pembuktian dan pemeriksaan lebih lanjut, kami ingin mendengar langsung dari para pihak. Saudari Nayla, apakah keputusan Anda untuk bercerai benar-benar sudah bulat?"
Nayla berdiri. Aldi tetap duduk, hanya memberi isyarat menenangkan. Nayla menarik napas panjang sebelum menjawab dengan suara yang bergetar namun tegas:
"Yang Mulia, saya sudah memikirkan ini selama bertahun-tahun. Ini bukan keputusan yang mudah, apalagi karena saya pernah mencintai tergugat dengan sepenuh hati. Tapi setelah banyak kesempatan yang saya berikan dan kesalahan yang terus terulang, saya tidak melihat adanya perubahan yang nyata. Saya lelah. Saya butuh tenang. Saya ingin hidup yang sehat secara emosional. Maka, ya, keputusan saya sudah bulat."
Raka bangkit dari tempat duduknya. Ia tidak berbicara melalui pengacaranya. Ia berdiri sendiri, menatap Nayla dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
"Yang Mulia, izinkan saya bicara langsung. Nayla... aku tahu semua luka yang kamu alami itu nyata. Aku tahu aku menyakitimu. Tapi kali ini aku benar-benar sadar, aku ingin berubah. Bukan karena takut kehilanganmu, tapi karena aku sadar kamu satu-satunya yang membuat hidupku berarti. Aku mohon, beri aku satu kesempatan terakhir saja. Bukan untuk memperbaiki masa lalu, tapi membangun masa depan yang lebih baik."
Hakim mengangguk pelan, membiarkan Nayla merespons secara langsung.
Namun Nayla hanya memejamkan mata sebentar. Ketika ia membuka matanya kembali, air mata mengalir perlahan di pipinya. Ia menggeleng.
"Maaf, Raka. Cinta itu masih ada, sangat ada. Tapi rasa cinta itu sudah terkubur dalam luka yang terlalu dalam. Luka yang kamu beri, berkali-kali. Aku tidak ingin hidup dalam ketakutan atau keraguan lagi. Aku ingin merdeka dari rasa sakit."
Hening menyelimuti ruang sidang selama beberapa detik. Aldi mencondongkan tubuhnya sedikit ke arah Nayla, memberinya dukungan diam-diam dengan sikap profesional. Ibu Rani pun tampak tidak berusaha membujuk lebih lanjut, menyadari bahwa posisi Nayla sangat tegas.
Hakim mengetuk palu satu kali. "Baik. Melihat kondisi dan sikap para pihak, kami akan melanjutkan perkara ini ke sidang mediasi pekan depan. Majelis menyarankan agar kedua belah pihak tetap berpikir jernih dan menahan diri dari tindakan emosional di luar sidang. Sidang hari ini ditutup."
Para hadirin mulai beranjak dari tempat duduk mereka. Aldi segera berdiri dan menemani Nayla keluar dari ruang sidang. Di belakang mereka, Raka hanya mampu memandangi punggung Nayla yang semakin menjauh. Langkahnya pelan, namun mantap.
Dan di benak Raka, satu kalimat berputar-putar menyiksa: "Cinta itu masih ada, tapi tertutup luka..."