Kehidupan seorang balita berusia dua tahun berubah total ketika kecelakaan bus merenggut nyawa kedua orang tuanya. Ia selamat, namun koma dengan tubuh ringkih yang seakan tak punya masa depan. Di tengah rasa kehilangan, muncullah sosok dr. Arini, seorang dokter anak yang telah empat tahun menikah namun belum dikaruniai buah hati. Arini merawat si kecil setiap hari, menatapnya dengan kasih sayang yang lama terpendam, hingga tumbuh rasa cinta seorang ibu.
Ketika balita itu sadar, semua orang tercengang. Pandangannya bukan seperti anak kecil biasa—matanya seakan mengerti dan memahami keadaan. Arini semakin yakin bahwa Tuhan menempatkan gadis kecil itu dalam hidupnya. Dengan restu sang suami dan pamannya yang menjadi kepala rumah sakit, serta setelah memastikan bahwa ia tidak memiliki keluarga lagi, si kecil akhirnya resmi diadopsi oleh keluarga Bagaskara—keluarga terpandang namun tetap rendah hati.
Saat dewasa ia akan di kejar oleh brondong yang begitu mencintainya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1 – Kecelakaan
Hari itu, langit tampak mendung, meski belum ada tanda-tanda hujan akan turun. Jalan raya lintas kota masih ramai, dipenuhi bus, truk besar, dan mobil pribadi yang berlalu-lalang. Di salah satu bus pariwisata yang melaju dengan kecepatan sedang, suasana cukup tenang. Sebagian penumpang tidur, sebagian lagi sibuk dengan ponselnya. Aroma makanan ringan dan harum minyak kayu putih bercampur di udara.
Di bangku nomor tujuh, dekat jendela, duduk sepasang suami-istri muda bersama putri kecil mereka yang baru berusia dua tahun. Balita itu, dengan rambut halus sebahu yang dikuncir dua, duduk dipangkuan sang ibu. Di tangannya tergenggam boneka kecil berbentuk kelinci. Sesekali ia bersuara cadel, berceloteh tentang apa saja yang ia lihat di luar jendela.
“Papa, itu mobil besar banget,” katanya sambil menunjuk sebuah truk kontainer yang menyalip bus mereka.
Sang ayah, seorang pria berkacamata dengan senyum hangat, mengangguk sambil mengusap kepala putrinya.
“Iya sayang, itu namanya truk. Hebat ya kamu bisa bilang ‘mobil besar’.”
Balita itu terkekeh bangga, lalu memeluk bonekanya erat-erat.
Sang ibu, dengan wajah teduh, menatap putrinya penuh kasih. Putrinya memiliki kelebihan ya itu sudah bisa berbicara lancar dan jelas “Nak, jangan terlalu dekat jendela, ya. Anginnya kencang.” Ia menarik tubuh kecil itu ke dalam pelukannya.
“Iya, Mama,” jawab si kecil, meski kemudian ia kembali melirik keluar dengan mata berbinar. Dunia baginya adalah sesuatu yang indah dan penuh kejutan.
Bus terus melaju. Di dalam kabin, beberapa penumpang sudah mulai terlelap. Suara dengkuran samar terdengar. Radio sopir memutar lagu lawas yang menenangkan. Semua terasa normal hingga beberapa menit kemudian.
---
Sopir bus yang sudah berpengalaman lebih dari sepuluh tahun itu tampak sedikit mengantuk. Kelopak matanya berat, sementara jalan raya di hadapannya cukup panjang dan lurus. Hanya sesekali ia melihat spion, lalu menarik napas panjang. Di kursi paling depan, seorang kernet sedang bermain ponsel tanpa menyadari tanda-tanda bahaya.
Saat itu, dari arah berlawanan, sebuah truk besar melaju terlalu kencang. Sopir truk berusaha menyalip kendaraan di depannya tanpa memperhitungkan jarak. Jalan yang seharusnya aman, seketika menjadi celaka.
Teriakan terdengar dari beberapa penumpang yang menyadari truk itu sudah berada tepat di jalur mereka.
“Pak! Awas!!” seseorang bersuara panik.
Sopir bus terkejut, reflek membanting setir ke kiri. Namun karena kaget dan tidak siap, bus kehilangan keseimbangan.
Brakkk!!!
Suara benturan keras menggetarkan kabin. Jeritan penumpang menggema. Barang-barang dari bagasi atas berjatuhan menimpa kepala orang-orang. Bus terguncang hebat, menabrak pagar pembatas jalan, lalu terguling ke samping. Suara logam beradu dengan aspal mengerikan, kaca jendela pecah berhamburan.
Anak kecil itu menjerit keras dalam pelukan ibunya. Sang ibu memeluk tubuh mungil itu erat-erat, berusaha melindungi meski tubuhnya sendiri terbentur keras ke kursi depan. Sang ayah pun menutupi mereka, mencoba menjadi tameng terakhir.
Segalanya hanya berlangsung beberapa detik, tapi terasa begitu panjang. Saat akhirnya bus berhenti dengan posisi miring, suasana menjadi kacau balau. Darah, tangisan, dan teriakan memenuhi udara.
---
Beberapa menit kemudian, suara sirine ambulans mulai terdengar mendekat. Petugas medis dan polisi berlari menuju lokasi. Jalan raya segera ditutup.
Tim SAR berusaha membuka pintu darurat yang penyok, sementara paramedis bergegas menolong penumpang yang terjepit. Bau bensin menyengat, bercampur dengan asap dan debu.
Di antara reruntuhan kaca dan kursi, seorang petugas menemukan pasangan muda yang sudah tak bernyawa, tubuh mereka penuh luka, namun masih dalam posisi melindungi seorang anak kecil. Balita itu pingsan, wajahnya pucat, darah menempel di pelipisnya.
“Anak ini masih hidup! Cepat, bawa ke ambulans!” teriak seorang paramedis.
Tanpa menunggu lama, gadis kecil itu digendong dan dilarikan ke rumah sakit terdekat.
---
Malam itu, di ruang gawat darurat Rumah Sakit Utama Bagaskara, suasana begitu sibuk. Dokter-dokter berlarian, perawat membawa brankar, dan keluarga korban memenuhi lobi sambil menangis histeris.
Di salah satu ruangan, dr. Arini, seorang dokter anak berusia tiga puluhan, baru saja menyelesaikan pemeriksaan pasiennya. Ia berwajah lembut, berhijab sederhana, dan selalu membawa aura tenang. Meski sudah empat tahun menikah dengan Bagas, seorang pengusaha muda yang sibuk namun penuh perhatian, Arini belum dikaruniai anak.
Saat hendak pulang, ia mendengar kabar ada korban kecelakaan bus masuk ke ruang darurat. Nalurinya langsung membawanya kembali. Ia masuk ke ruang IGD, dan pandangannya segera jatuh pada seorang anak kecil yang tak sadarkan diri di atas ranjang darurat.
Balita itu tampak begitu rapuh. Tubuh mungilnya penuh memar, pelipisnya diperban, dan wajahnya pucat sekali. Namun yang paling menusuk hati Arini adalah boneka kelinci kecil yang masih tergenggam di tangan anak itu seolah tak ingin dilepaskan meski dalam keadaan koma.
Arini mendekat, memeriksa denyut nadi dan kondisi vital. Syukurlah, anak itu masih bernapas, meski sangat lemah.
“Anak ini… usianya sekitar dua tahun,” gumamnya lirih. “Tolong siapkan CT-scan, pastikan tidak ada perdarahan otak.”
Perawat segera berlari mengikuti instruksinya.
Sejenak Arini berdiri terpaku. Ada rasa sesak menyelinap di dadanya. Ia tahu, anak ini kehilangan orang tuanya. Wajah pucat sang ibu dan ayah yang dibawa ke kamar jenazah masih terbayang. Hati seorang ibu meski ia belum punya anak seakan bergetar hebat.
---
Malam itu Arini tak jadi pulang. Ia duduk di kursi samping ranjang anak kecil itu, memegang tangannya dengan hati-hati. Suaminya sempat menelpon, menanyakan kenapa ia belum pulang.
“Ada anak kecil korban kecelakaan, Mas. Dia… sendirian sekarang. Aku nggak tega ninggalin.”
Bagas terdiam di ujung telepon, lalu berkata lembut, “Kalau begitu temani dia. Aku ngerti perasaanmu.”
Jam terus bergulir. Tengah malam, ruang perawatan sudah lebih tenang, namun Arini tetap di sana. Sesekali ia mengecek monitor jantung, memastikan si kecil bertahan. Lalu, tanpa sadar, ia mengelus kepala mungil itu sambil berbisik, “Nak, bertahanlah. Kamu nggak sendirian.”
Air mata menetes tanpa ia sadari. Ada sesuatu yang tumbuh dalam hatinya rasa sayang yang begitu kuat, seolah-olah anak ini memang ditakdirkan hadir dalam hidupnya.
---
Pagi berikutnya, berita kecelakaan itu tersebar luas di televisi dan media daring. Jumlah korban jiwa mencapai belasan orang, sebagian besar luka berat. Di antara daftar korban meninggal, tercantum nama kedua orang tua balita itu.
Arini berdiri di depan layar TV rumah sakit dengan hati perih. Ia menunduk, berdoa dalam hati.
“Ya Tuhan, lindungi anak ini. Jangan biarkan dia sendirian.”
Hari-hari berikutnya, balita itu tetap dalam kondisi koma. Namun Arini tidak pernah absen. Setiap pagi ia datang, menyentuh tangannya, bercerita, membacakan doa, bahkan menyanyikan lagu anak-anak pelan-pelan. Perawat-perawat lain sering berbisik kagum, melihat betapa sayangnya dokter itu pada pasien mungilnya.
Sampai akhirnya, seminggu kemudian, sesuatu terjadi.
---
Mata mungil itu bergerak. Kelopak yang lama terpejam perlahan terbuka. Cahaya lampu putih menyilaukan, membuatnya berkedip pelan. Pandangan pertama yang ia lihat adalah seorang wanita berhijab dengan senyum lembut, duduk di sampingnya.
“Subhanallah… kamu sadar, Nak?” suara Arini bergetar menahan haru. Ia cepat memanggil perawat, “Cepat, panggil tim dokter! Pasien kita sudah sadar!”
Balita itu mengerjap, lalu menoleh sedikit. Matanya yang bulat bening memandang sekitar, penuh kebingungan. Namun ada sesuatu yang berbeda. Tatapannya… bukan seperti anak dua tahun biasa. Ada kedalaman di sana, seolah ia mengerti apa yang sedang terjadi.
Tangan kecilnya perlahan menggenggam jari Arini.
“Ma…” suaranya serak, lirih sekali.
Arini terdiam, dadanya bergetar. Air mata menetes di pipinya tanpa bisa ditahan. Ia tahu, sejak saat itu hidupnya tidak akan pernah sama lagi.
Bersambung
cakra msti lbih crdik dong....ga cma mlindungi celin,tp jg nyri tau spa juan sbnrnya....mskpn s kmbar udu nyri tau jg sih....
nmanya jg cnta.....ttp brjuang cakra,kl jdoh ga bkln kmna ko....
kjar celine mskpn cma dgn prhtian kcil,ykin bgt kl klian brjdoh suatu saat nnti.....
ga pa2 sih mskpn beda usia,yg pnting tlus....spa tau bnrn jdoh....
nongol jg nih clon pwangnya celine.....
msih pnggil kk sih,tp bntr lg pnggil ayang....🤭🤭🤭