Tak ingin lagi diremehkan oleh teman-temannya, seorang bocah berusia enam tahun nekad mencari 'Ayah Darurat' sempurna; tampan, cerdas, dan penyayang.
Ia menargetkan pria dewasa yang memenuhi kriteria untuk menjadi ayah daruratnya. Menggunakan kecerdasan serta keluguannya untuk memanipulisi sang pria.
Misi pun berjalan lancar. Sang bocah merasa bangga, tetapi ia ternyata tidak siap dengan perasaan yang tumbuh di hatinya. Terlebih setelah tabir di masa lalu yang terbuka dan membawa luka. Keduanya harus menghadapi kenyataan pahit.
Bagaimana kisah mereka? Akankah kebahagiaan dan cinta bisa datang dari tempat yang tidak terduga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Diana Putri Aritonang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Emergency Daddy 12.
Mobil Anggita tiba di BIS. Ia keluar bersamaan dengan Elvano yang juga keluar dari mobil dengan cara melompat, tanda, jika perasaan putranya saat ini begitu girang. Dan Anggita tentu senang melihat hal itu. Elvano tak pernah sebersemangat ini jika tentang sekolah, tapi, kini Anggita bisa melihat wajah putranya yang hangat saat dihampiri dan disapa oleh teman-temannya.
"El tampan! Kau sudah tiba?" Olivia berlari mendekat pada Elvano. Ia juga baru saja datang, diantar oleh sang ibu.
Tak hanya Olivia, Rania dan William juga segera menghampiri Elvano setelah turun dari kendaraan keluarga mereka masing-masing.
"Lihat guys, aku sudah menyiapkan senjata tempur untuk misi menyelamatkan bumi bersama daddyku." William memperlihatkan sebuah pistol mainan yang begitu keren. Ia mengarahkan pistol itu pada ketiga temanya dan... "Pitciwww...Pitciwww...musnah lah semua kejahatan dari muka bumi ini!!" Pistol mainan yang ber-amunisikan gelembung sabun itu pun meluncurkan setiap pelurunya. Seketika gelembung-gelembung balon berterbangan di udara.
Anggita dan beberapa orang tua yang melihat tingkah William itu tertawa. William sangat menggemaskan, raut wajahnya begitu serius saat mengucapkan akan memusnahkan kejahatan dari muka bumi ini.
"El, kau kenapa?!" seru Olivia panik ketika melihat Elvano yang berdiri di sampingnya terus mengusap mata. Bocah cantik itu bahkan sudah menunduk dengan kepala yang celingak-celinguk agar bisa menemukan wajah Elvano.
Melihat itu, Anggita tentu saja segera mendekat pada putranya. Wanita itu sampai harus berjongkok demi bisa memastikan apa yang sebenarnya terjadi pada Elvano.
Namun, baru saja Anggita mengusap wajah Elvano dan sedikit mendongakkan wajahnya, tubuh putranya itu sudah diputar oleh seseorang dengan tiba-tiba.
"Hei... Jangan menangis!!"
Meski terkejut, Elvano membuka netra yang sudah ia usap. Ia bisa melihat mata yang kini melotot tajam mengarah padanya. Elvano balas tersenyum, dan tanpa terbaca, bocah itu malah langsung bergerak menabrakkan diri, Elvano memeluk erat pria yang kini ada di hadapannya.
"Mataku perih, Dad."
Duarrrr!
Nathan baru saja merasakan sesuatu berhasil meledak dalam kepalanya dengan sangat kuat. Mengembalikan kesadaran pria itu yang tiba-tiba saja bertindak gegabah meraih Elvano, karena mengira bocah itu sedang menangis.
Tubuh Nathan membeku, ia tak bisa bergerak dari posisinya saat ini. Pria itu berjongkok dengan Elvano yang sudah memeluk erat lehernya.
Begitu pula dengan Anggita. Wanita yang sudah bangkit dan berdiri itu terdiam mematung, mengunci putranya yang kini tengah memeluk Nathan.
Dunia seakan berhenti berputar.
Semuanya terperangah, kecuali Elvano tentunya. Bocah tampan itu tersenyum samar di balik punggung Nathan tanpa berniat sedikit pun ingin melepaskan pelukan.
"Sepertinya mereka sudah berbaikkan."
"Iya, kalau gini kan lihatnya adem. Kasihan juga Elvano jika orang tuanya terus bertengkar."
Nathan dan Anggita sama-sama menoleh kaku pada sumber suara itu. Pupil mata mereka melebar.
"Benar, Tuan Nathan. Putra setampan Elvano jangan disia-siakan, Anda bisa saja menyesal suatu saat nanti karena mengabaikannya. Percayalah, tidak ada masalah yang tidak memiliki jalan keluar."
Orang tua lain terlihat kompak mengangguk, menanggapi ucapan bijak dari salah satu orang tua yang juga mengantar anaknya pagi itu.
Anak sendiri tidak boleh disia-siakan, apalagi sampai tidak diakui.
Nathan semakin membeku. Ini tidak benar! Ini salah! Otaknya berpikir keras mencari cara untuk meluruskan semua yang sudah terlanjur salah paham. Pria itu menarik napas melalui mulut, sungguh kenapa situasi ini begitu meresahkan dan semakin runyam.
Pandangan Nathan jatuh pada Anggita yang berdiri, tengah menatap beku ke arahnya dan Elvano. Wanita itu tak bernapas, Anggita tidak berusaha menghirup udara, entah mengapa, mungkinkah wanita itu lupa caranya? Dan Nathan bisa melihat itu semua.
Dasar bodoh, dengus Nathan halus dalam benaknya. Ia meraih tubuh Elvano perlahan agar melepaskan pelukan. Dan dengan tenang Nathan bangkit berdiri, kedua tangannya tak lepas, masih berada di bahu Elvano.
"Ini urusan pribadi kami. Saya harap kalian tidak mencampurinya terlalu jauh." Nathan bersuara dengan tenang menatap semua orang tua yang ada di sana.
Para ibu-ibu itu kembali mengangguk kompak, bahkan kali ini terlihat lebih cepat. Ucapan Nathan memang terdengar biasa saja, tapi siapa yang tidak tahu, jika di sana sarat akan sebuah ancaman yang begitu mampu menghancurkan keberlangsungan hidup mereka.
Berani bersinggungan dengan keluarga Raksa? Coba saja.
Nathan kembali menunduk menatap Elvano yang juga mendongak, demi bisa memperhatikan wajahnya. Pria itu mendesah pelan sebelum berkata pada Elvano.
"Hampiri mommymu." Nathan menggerakkan kepala dan Elvano dengan cepat berbalik. Bocah itu bisa menemukan ibunya yang membeku.
Elvano menurut, ia mendekat pada Anggita dan perlahan menyentuh satu tangan ibunya.
"Mom?" panggil Elvano pelan.
Dan sentuhan itu mampu mengembalikan nyawa Anggita yang sempat meninggalkan raganya.
"Aku harus segera masuk ke dalam kelas, Mom." Teman-teman Elvano sudah lebih dulu pergi, bersamaan dengan Nathan yang memberikan peringatan pada ibu-ibu tadi. "I'm sorry. I must have shocked you, Mom." Elvano menatap ibunya lekat, setelah itu ia mencium punggung serta bagian dalam dari tangan wanita itu.
Elvano juga mendekat pada Nathan. Bocah kecil itu mengulurkan tangannya, hendak bersalaman.
Nathan terdiam, ia mendesah ringan sebelum akhirnya memberikan tangan kanannya dan Elvano segera menerima, melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan pada Anggita. Barulah bocah itu pergi beranjak menuju gedung sekolah dengan seringai kecil yang menghiasi wajah rupawannya.
The mission is complete.
Elvano menganggap Nathan sudah menerima tantangan yang ia berikan. Bocah kecil itu yakin, kedatangan Nathan kembali pagi ini ke sekolahnya bukanlah karena takut akan ancaman yang ia berikan. Sungguh, ancaman itu sama sekali tidak akan membuat seseorang takut. Apalagi pria seberkelas Nathan.
Elvano hanya memainkan beberapa kata, mencoba mengusik perasaan pria itu. Elvano merasa, jika Nathan sebenarnya mulai tertarik pada ibunya. Terlihat dari cara pria itu saat menatap sang Mommy. Terutama saat di kediaman keluarga Abraham, saat keduanya terpergok sang Kakek sedang berhimpitan.
Dan lihatlah pagi ini! Pria pemilik warna rambut yang sama dengannya itu akhirnya datang kembali dan lagi-lagi terjebak dengan takdir semesta bersama ia dan ibunya. Elvano kembali tersenyum, bocah itu mempercepat langkahnya untuk menyusul Rania, Olivia dan William yang sudah lebih dulu masuk ke dalam kelas.
Langkah yang setiap ayunannya memiliki semangat dan nyawa. Elvano meresa seperti seorang bocah yang terlahir kembali. Bocah itu tak bisa menutupi perasaan senangnya, hingga bibir kecilnya acap kali menarik senyuman tipis. Ia akan segara memiliki seorang Daddy. Sosok yang sedari lahir sudah begitu ia dambakan dan harapkan kehadirannya.
***
Congratulations El, your mission was successful. 😆🤭
/Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/