Dulu, dia hanyalah seorang anak jalanan—terlunta di gang sempit, berselimut kardus, hidup tanpa nama dan harapan. Dunia mengajarinya untuk tidak berharap pada siapa pun, hingga suatu malam… seorang gadis kecil datang membawa roti hangat dan selimut. Bukan sekadar makanan, tapi secercah cahaya di tengah hidup yang nyaris padam.
Tahun-tahun berlalu. Anak itu tumbuh menjadi pria pendiam yang terbiasa menyimpan luka. Tanpa nama besar, tanpa warisan, tanpa tempat berpijak. Namun nasib membawanya ke tengah keluarga terpandang—Wijaya Corp—bukan sebagai karyawan, bukan sebagai tamu… tapi sebagai calon menantu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Portgasdhaaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20 km/Jam Menuju Masalah
Setelah melewati proses keluar rumah sakit dan sedikit cekcok soal kursi roda, akhirnya Laras dan Arka pun tiba di mobil. Arka datang menjemputnya dengan salah satu mobil milik keluarga Wijaya.
Tapi ternyata... masalah mereka belum benar-benar selesai.
Begitu mobil mulai melaju meninggalkan area rumah sakit. Atau lebih tepatnya, merayap pelan di jalanan yang nyaris kosong. Laras langsung sadar, ada masalah baru yang siap bikin darahnya naik.
Laras yang tadi masih duduk manis, kini sudah setengah mencondongkan badan ke dashboard, menatap speedometer dengan mata menyipit.
“Arka…” suaranya pelan, penuh tekanan.
“Kita bisa... lebih cepat dikit gak?”
Arka yang mengemudi, tetap fokus ke jalanan. Kedua tangannya memegang kemudi dengan erat.
“Gak bisa,” jawabnya kalem.
“Karena aku lagi bawa kamu.”
Laras memutar kepalanya pelan, matanya menyempit.
“Terus?”
“Aku harus mastiin kamu sampai tujuan dengan selamat.”
Laras melirik speedometer lagi.
Dua puluh. Kilometer. Per jam.
Ia mengedip sekali, lalu dua kali.
Angka itu tetap tidak berubah sedikit pun... dua puluh.
Sementara jalanan depan kosong sejauh mata memandang. Dia bahkan heran bagaimana laki-laki itu tetap bisa menjaga kecepatan stabil di angka dua puluh tanpa perubahan sama sekali.
“Tapi kan gak sepelan ini juga, Arkaaa...” suaranya putus asa.
“Mau sampai KAPAN kalo kamu nyetir kayak nunggu daun jatuh dari pohon…”
Arka tetap tenang, bahkan sempat melirik ke kiri dan kanan, memastikan jalanan aman.
“Kamu abis keluar dari rumah sakit. Kita gak boleh ambil risiko.”
“Kalau aku ngebut dan tiba-tiba kita ditabrak atau bannya pecah gimana?”
Laras menatapnya tak percaya.
“Arka… jalanan ini kosong. Burung aja males nyebrang.”
“Kalau kita terus gini, lukaku bakal sembuh tiga kali sebelum nyampe tujuan.”
Arka menarik napas panjang. Tapi tetap tidak menambah kecepatan.
“Kecepatan stabil itu bagian dari pengamanan.”
Laras mendesah. Kepalanya bersandar ke jok, menatap langit-langit mobil.
“Perasaan waktu kamu bonceng aku pakai motor dulu nggak segininya, deh…”
Arka tidak langsung menjawab. Suaranya baru terdengar beberapa detik kemudian—datar, pelan, dan jujur.
“Itu sebelum kamu mengalami kejadian itu.”
Laras diam. Pandangannya lurus ke depan.
“Sekarang... aku harus lebih mastiin keselamatan kamu dengan sempurna.”
Mobil masih melaju pelan, tetap konstan seperti tak terganggu lalu lintas atau waktu.
Dan Laras, untuk sesaat, tak lagi protes.
Ada sesuatu di nada suara Arka barusan.
Sesuatu yang membuat dadanya terasa hangat dan sekaligus nyeri.
Ia bergumam pelan. Hampir tak terdengar.
“Bisa-bisanya aku dibuat degdegan sama bodyguard overthinking gini sih…”
“Hm?” sahut Arka cepat.
“Nggak, lagi ngomong sama AC.”
_ _ ___
Hening sebentar. Mobil tetap bergerak pelan. Tapi Laras mulai menyipitkan mata lagi. Ada yang aneh.
“Ehm... Arka?” tanyanya pelan.
“Hm?”
“Kita lewat jalan yang salah deh.”
Matanya menajam, penuh kecurigaan.
“Ini bukan arah ke rumahku.”
Arka tak menjawab langsung. Ia hanya menarik napas pelan, lalu berkata tanpa menoleh.
“Kita gak ke rumah dulu. Situasinya belum aman.”
Laras langsung menoleh dengan cepat, ekspresinya seperti mau loncat dari mobil.
“HAH?! Gak aman gimana maksudnya?”
Arka bergeming. Masih menatap lurus ke depan, seolah pertanyaan itu bukan sesuatu yang perlu segera dijawab.
Laras melirik cepat ke kiri dan kanan. Panik kecil mulai merayap di benaknya.
“Jangan-jangan malah kamu yang pengen nyulik aku sekarang?”
Arka tidak bereaksi selama dua detik.
“…Kalau aku niat nyulik, aku udah pakai mobil gelap dan plat palsu dari tadi.”
Laras langsung menutup wajah dengan kedua telapak tangan, antara malu dan frustasi.
“Ughhh kenapa kamu selalu jawabnya tuh... gitu banget sih…”
“Gitu gimana?”
“Gak! Lupakan.”
_ ____ _
Sementara itu hal yang tidak biasa terjadi di kantor pusat Wijaya Corp.
Suara langkah kaki beradu cepat di lantai marmer.
Di lantai tertinggi, ruang rapat besar sudah mulai dipersiapkan. Sekretaris lalu-lalang, menyiapkan dokumen, menyusun botol air mineral di atas meja oval panjang, dan memastikan koneksi proyektor tidak bermasalah.
Bahkan Tuan Wijaya yang biasanya tak turun langsung dalam urusan teknis bisnis, pagi itu hadir lebih awal.
Setelah sekian lama hanya memantau dari balik layar, kini ia duduk sendiri di ruang kerja, menyentuh map-map yang biasanya hanya dilihat dari laporan digital.
“Mereka bilang akan datang jam sebelas,” kata Aditya pelan, berdiri di sisi ruangan sambil menatap ponselnya.
“Tapi yang aneh… kita tidak pernah mengirimkan proposal ke mereka.”
Tuan Wijaya menutup map di tangannya dengan tenang.
“Investor asing dari Shanghai, Singapura, Swiss... semua datang di saat yang sama.
Padahal kita bahkan sedang dalam tekanan.”
Aditya mengangguk.
“Waktu kita stabil, tak ada satu pun dari mereka yang melirik. Tapi sekarang, saat saham kita belum pulih sepenuhnya, mereka justru minta bertemu.”
“Dan juga pagi ini ada berita lain yang mengejutkan...” Aditya melanjutkan. “Saham perusahaan milik keluarga Lim anjlok drastis pagi ini,” ujar Aditya sambil menunjukkan layar tablet ke arah ayahnya.
“Salah satu anak usahanya bahkan ditangguhkan transaksinya oleh bursa.”
Tuan Wijaya mengernyit.
“Apa penyebabnya?”
“Tidak jelas. Ada rumor tentang penarikan dana besar-besaran dari investor mereka... tapi tidak ada konfirmasi resmi.”
“Ini sangat tidak masuk akal. Kita tahu keluarga Lim adalah keluarga besar yang termasuk sembilan naga. Hal yang tidak mungkin jika saham mereka tiba-tiba anjlok begitu saja.”
Ia meletakkan tablet di meja, geleng-geleng pelan.
“Dan lucunya, saat saham mereka ambruk, kita malah tiba-tiba dilirik di waktu yang sama.”
“Bukannya aku menolak keberuntungan, tapi semua ini terasa... terlalu kebetulan.”
Tuan Wijaya menatap layar tablet itu untuk beberapa detik lagi. Ekspresinya tetap tenang, namun garis tipis di antara alisnya tak bisa disembunyikan. Ada sesuatu dalam pandangannya—seperti sedang menghitung, menimbang, atau mungkin... mengingat.
Aditya berdiri di sisi meja dengan gelisah, menunggu tanggapan. Tapi yang keluar dari mulut ayahnya hanyalah gumaman ringan, nyaris seperti angin lewat.
“Dunia bisnis memang penuh kejutan,” katanya datar.
Lalu ia meraih cangkir tehdi sebelahnya dan menyeruput sedikit, sebelum berdiri perlahan dan berjalan ke jendela besar yang menghadap ke kota.
Aditya mengikuti dengan tatapan heran.
“Ayah nggak curiga ini ulah seseorang?”
Tuan Wijaya tidak langsung menjawab. Ia hanya berdiri di sana, memandangi deretan gedung tinggi yang berdiri megah, namun juga menyimpan begitu banyak rahasia.
Akhirnya ia membuka suara.
“Curiga, tentu saja.”
“Tapi?” desak Aditya pelan.
Tuan Wijaya menghela napas panjang.
“Tapi kadang... ada hal yang lebih baik dibiarkan menjadi teka-teki, Adit.”
Aditya mengerutkan dahi.
“Maksud Ayah?”
Tuan Wijaya membalikkan badan, menatap anaknya dengan pandangan yang tajam namun tak sepenuhnya terbuka.
“Jika ini memang permainan, maka yang menjalankan bidak pasti tahu apa yang dia lakukan. Kita hanya perlu menunggu sampai catur itu selesai dimainkan.”
Aditya masih terlihat bingung. Ia ingin bertanya lebih jauh, namun tatapan ayahnya menyiratkan bahwa percakapan itu tak akan berlanjut lebih dalam.
Dan diam-diam, di dalam hati Tuan Wijaya...
Ia tahu siapa yang menjadi penyebab semua kekacauan pagi ini.
Ia tahu siapa yang menggerakkan tangan-tangan tak terlihat untuk menjatuhkan keluarga Lim hanya dalam semalam.
Ia tahu siapa yang menyusun strategi seolah semuanya hanya kebetulan.
Arka.
Nama itu terlintas di kepalanya seperti bayangan samar.
Dan entah mengapa, meski ia tak melihat langsung, ia bisa membayangkan anak muda itu—dengan tatapan tajam dan langkah tenang, menyusun semuanya dari balik bayangan.
Dengan cara yang dingin, rapi, dan... mematikan.
Tuan Wijaya tidak akan mengakuinya dengan suara keras. Bahkan pada Aditya pun tidak.
Karena dalam dunia ini, kekuatan kadang bekerja paling efektif saat tak disebutkan namanya.
Ia hanya melirik jam di tangannya, lalu berkata ringan,
“Pastikan ruang rapat sudah siap. Kita sambut tamu-tamu istimewa kita... dengan wajah ramah.”
Dan saat Aditya bergegas keluar, Tuan Wijaya menoleh sekali lagi ke luar jendela.
Sambil bergumam lirih, seolah hanya untuk dirinya sendiri.
“Arka...sejauh mana kau akan bertindak?”