"Mulai sekarang, kau bekerja sebagai istriku," tegas Gyan Adriansyah kepada istrinya, Jasmine.
Nasib sial tengah menimpa sang gadis cantik yang terkenal sebagai bunga desa. Mulai dari beredarnya video syur yang menampilkan siluet mirip dirinya dengan calon tunangan. Terungkapnya perselingkuhan, hingga dijadikan tumbal untuk menanggung hutang ayahnya pada pria tua.
Namun, ditengah peliknya masalah yang terjadi. Takdir kembali mempertemukan dirinya dengan musuh bebuyutannya semasa kecil dengan menawarkan pernikahan kontrak. Jasmine tak punya pilihan yang lebih baik daripada harus menikahi pria tua.
Akan seperti apakah pernikahan mereka? Gyan yang ia kenal dulu telah berubah drastis. Ditambah lagi harus menghadapi ibu mertua yang sangat membencinya sejak lama.
Yuk simak keseruan ^_^
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CatVelvet, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terlalu nyata
Gyan langsung memeluk gadis dihadapannya secara tiba-tiba. "Aku menyukaimu Jasmine!"
Mata Jasmine langsung membulat lebar. Dirinya pun merasa berdebar-debar. Kata-kata yang bagaikan sihir itu terdengar jelas di telinganya. Pelukan hangat dan nyaman membuatnya ingin lebih lama tenggelam disana.
Apa ini akting? Batin Jasmine sulit mempercayai.
Terlalu nyata untuk disebut akting. Bahkan pria yang kini berstatus suaminya itu mendekapnya dengan erat dan juga lembut seakan benar-benar tak ingin kehilangan. Gyan menenggelamkan wajahnya antara pundak dan leher gadis itu sehingga Jasmine bisa merasakan dengan jelas setiap hembusan napasnya yang terasa hangat.
Jasmine mematung, pikirannya mendadak kosong. Gyan masih memeluknya dengan erat seolah malu menampakkan wajahnya. Semakin kencang debaran diantara keduanya, semakin yakin jika mereka bisa merasakan satu sama lain.
Gyan mengulangi kalimatnya. "Aku menyukai mu, Jasmine."
"Ka-kamu be-bercanda?"
"Nggak, aku serius. Aku tau sepertinya ini terlalu tiba-tiba bagimu. Tapi, aku hanya ingin mengakui hal ini. Meskipun perasaanku hanya sepihak, tapi tolong jangan menjauh. Aku nggak ingin jawaban. Aku hanya ingin menikmati perasaan yang ku rasakan dan melakukan yang terbaik untukmu. Itu saja, izinkan aku menyukaimu dengan caraku sendiri."
"A-ah... a-aku.. belum bisa memberi jawaban." Jasmine nampak bingung sambil mendorong tubuh Gyan yang tak mau melepas pelukannya.
"Jasmine. Sudah ku bilang, aku nggak ingin jawaban. Dan tetaplah diam dalam pelukanku. Sebentar saja," pintanya.
Wajah Jasmine terasa semakin memanas. Kenapa memeluknya begitu lama? Haruskah membalas pelukannya dengan merentangkan tangan ke punggung lebar dan kokoh itu? Jasmine merasa bimbang.
Pada akhirnya, tangan yang ragu untuk membalas pelukannya kini melingkarkan kedua tangannya pada punggung lebar pria yang baru saja menyatakan perasaannya.
Gyan cukup terkejut, bahkan senyumannya terpancar sembunyi-sembunyi. Hanya sekedar membalas pelukannya saja sudah membuat hatinya bahagia seperti dipenuhi bunga-bunga yang merekah indah. Jujur saja, hal itu semakin membuatnya tak ingin melepas pelukan itu.
Tik, tik, tik. Detak jam berbunyi. Sudah 20 menit lebih Gyan tak melepaskan pelukannya.
Jasmine menepuk punggungnya. "Hey, aku capek! Mau sampai kapan begini terus?"
"Sampai menua bersama," celetuknya dengan santai.
"Apa??" Jasmine terkejut. "Jangankan sampai tua, kalau begini terus dalam waktu seminggu sih bisa mati. Ayo! Cepat lepaskan!"
"Sebentar lagi..." pintanya agak manja.
Jasmine tak menyangka bahwa pria sekaligus teman masa kecilnya memiliki perasaan terhadapnya, sejak kapan? Ia pikir, mungkin setelah dulu sempat menjauhinya, pria ini akan sangat membencinya saat mereka dipertemukan kembali.
Prasangkanya justru terbalik oleh kenyataan yang diterima. Tanpa proses panjang dan tanpa basa-basi serta persiapan apapun, laki-laki itu menyampaikan perasaannya secara gamblang.
Sakit hati yang diterimanya dari mantan kekasih seakan telah menemukan penawarnya. Tapi bukan berarti Rendy sudah benar-benar hilang, masih ada perasaan yang tertinggal bersamaan dengan kekecewaan.
Semua mungkin akan hilang pada waktunya. Hanya soal waktu.
"Sebenarnya ada banyak hal yang mau ku tanyakan,"
Gyan melepaskan pelukannya dan menatap istrinya dalam-dalam.
"Apa?"
"Tapi ini sudah malam, mungkin lain kali."
Gyan semakin penasaran, tapi karena ini sudah malam. Mungkin lebih baik menahannya.
"Ya sudah, oh! Apa kepalamu masih terasa sakit?"
"Em... sedikit," Jasmine meringis pelan sambil mengusap bagian kepala yang dijambak oleh ibu mertuanya. Ada yang luka dibagian kulit kepala karena terkena kuku tajam Bu Vivian.
"Sini aku liat," Gyan berdiri dibelakang Jasmine yang masih duduk.
"Aku nggak apa-apa kok," Jasmine sempat menolak perhatian Gyan. Tapi pria itu memaksa untuk memastikan apakah ada yang terluka.
Saat menyisir bagian rambut dengan jemarinya yang penuh hati-hati, Gyan menemukan kulit kepala yang robek serta mengeluarkan darah. Meski lukanya tidak begitu parah tapi pasti menimbulkan rasa perih apalagi jika dikeramasi.
"Apanya yang nggak apa-apa? Kau terluka. Aku akan mengobati mu, lalu setelah itu segera lah istirahat."
Gyan mengambil kotak obat dengan sigap dan mengobati luka istrinya dengan lembut.
Jasmine sempat mendesis saat obat itu menyentuh lukanya. Perih...
"Aku minta maaf, ibuku telah bersikap keterlaluan padamu. Jika kau merasa tidak nyaman dirumah ini, aku tidak keberatan kalau kita pindah dan beli rumah baru."
"Nggak perlu, aku akan lebih berusaha keras untuk bisa diterima ibu mu, aku nggak akan menyerah."
"Tekad mu patut ku acungi jempol, tapi aku nggak bisa membiarkanmu terluka. Aku akan jadi perisai untukmu, Jasmine," tegasnya sambil tersenyum.
Jasmine tersentuh mendengar pernyataan suaminya. Ternyata ada laki-laki yang bisa diandalkan untuk melindungi istrinya disaat harus berhadapan dengan keluarganya sendiri, pikir Jasmine. Ia teringat oleh ayahnya yang selalu membela keluarganya dibanding istri dan anaknya.
Malam itu, menjadi malam yang tak terlupakan oleh Gyan. Hari dimana ia akhirnya mengungkapkan perasaannya selama ini. Begitu melegakan namun juga sangat disayangkan. Mengapa momennya begitu biasa saja? Tanpa tempat yang indah. Tanpa bunga dan tanpa makan malam yang romantis diiringi dengan musik syahdu. Atau se-bucket bunga sambil berlutut dihadapannya.
Gyan berpikir akan mengulangi momen ini dengan rencana yang lebih baik.
...****************...
Keesokan harinya.
Pagi-pagi sekali Jasmine sudah sibuk mempersiapkan hidangan untuk sarapan semua orang. Molly tak bisa melarangnya mengambil alih dapur karena Gyan sudah memberi perintah padanya.
Meski nampak menerima keputusan itu. Nyatanya Molly malah semakin membenci Jasmine. Dan mulai memikirkan bagaimana cara untuk menyingkirkannya.
Harum masakan yang sudah hampir siap semua telah menyebar ke seluruh ruangan. Menggugah selera untuk segera mengisi perut yang kosong. Jasmine tersenyum bangga setelah semua hidangan telah disiapkan dengan cantik dan tertata rapi diatas meja makan. Kini giliran untuk membereskan dapur dan membuat minuman hangat ramuan tradisional kesukaannya dipagi hari.
Ketel air panas mengeluarkan bunyi nyaringnya pertanda air telah mendidih dan matang. Jasmine segera mematikan kompor dan mengambil ketel itu dengan hati-hati menuju gelas yang siap untuk dituangkan.
Brak! Seseorang nampak menabraknya dengan keras hingga jatuh tersungkur ke lantai.
"Akh!!" teriak Jasmine saat air panas itu tumpah tangan kirinya.
"Maaf Bu, maaf!" panik Molly.
Sejak kapan Molly ada disini? Batin jasmine merasa heran, karena sebelumnya tak ada siapapun didapur.
Jasmine meringis kesakitan sambil menatap Molly dengan penuh curiga. Tangannya terasa panas dan juga perih.
Ya, memang itu bukanlah sebuah ketidaksengajaan. Molly berpura-pura tak sengaja menabrak Jasmine saat hendak menyapu lantai dapur.
Gyan masih mandi di kamarnya sehingga tak mendengar jeritan istrinya. Bu Vivian tiba-tiba muncul tanpa disadari kedatangannya. Wanita itu justru menatap puas serta menunjukkan senyum sinisnya.
"Seharusnya kamu menerima lebih dari itu."
Kata-kata yang kejam menambah luka dihati Jasmine. Gadis itu segera bangkit dan Molly membantunya, namun Jasmine segera menepis bantuan dari pembantu licik itu.
"Maksud Bu Vivian apa?" tanya Jasmine hati-hati.
"Jangan sok polos, seharusnya bukan hanya tanganmu saja yang tersiram air panas. Tapi seluruh tubuhmu dari atas sampai bawah, terutama wajahmu yang menyebalkan itu. Agar semuanya rusak dan putraku merasa jijik melihatmu."
Molly menahan senyum mendengarnya. Dirinya merasa puas setiap kali Bu Vivian mengatakan hal menyakitkan pada Jasmine.
"Mama?" Nicole yang sudah siap untuk berangkat sekolah sempat penasaran dengan keributan didapur. Takut jika ibunya mengamuk lagi.
Semua mata tertuju pada Nicole. Gadis SMA itu justru melayangkan tatapan matanya pada Jasmine yang menopang punggung tangannya yang melepuh.
Sontak saja ia langsung menghampiri dengan rasa khawatir. "Ya ampun, kakak terluka! Ini harus segera diobati!"
Bu Vivian menarik lengan putrinya dengan kasar agar segera menjauh. "Nicole! Untuk apa kamu peduli dengan anak kampung licik itu?! Sudah sana berangkat!"
"Tapi tangannya terluka ma, aku yakin itu pasti sangat sakit!"
"Berani ngelawan ya kamu sama, mama??"
Bu Vivian memelototi putrinya dan mencengkram dengan kuat sampai Nicole merasa sakit.
"Aw! Mama, sakit!" Nicole meringis kesakitan.
"Ada apa sih ini ribut-ribut? Kini giliran Pak Irwan tiba-tiba menghampiri mereka dengan. Pakaian formal yang siap untuk berangkat kerja.
"Ini nih Nicole sudah berani ngelawan mama!" Bu Vivian mengadu pada suaminya.
"Aku nggak bermaksud melawan pa, Kak Jasmine tangannya terluka, aku kasihan melihatnya, itu saja! Dia harus segera diobati! Memangnya itu termasuk melawan mama?? Enggak, kan??"
"Ini namanya melawan! Kecil-kecil udah berani berdebat sama mama," Bu Vivian tak mau kalah.
Pak Irwan melerai istri dan putranya yang semakin sengit. Sedangkan dirinya pun ikut merasa kasihan melihat Jasmine yang terluka.
"Jasmine, luka mu harus cepat diobati, Molly segera ambilkan obat dan oleskan."
"Baik pak."
"Nicole, sebaiknya kamu cepat berangkat supaya nggak terlambat. Dan Vivian, bukannya hari ini kamu ada pertemuan penting dengan client kamu? Kita tidak bisa membuang waktu sekarang."
Pak Irwan berusaha untuk melerai agar keadaan tidak semakin rumit. Ditambah ia juga khawatir jika Gyan melihat keributan ini secara langsung mungkin akan terjadi lagi pertengkaran antara dirinya dan ibunya.
"Ada apa? Kenapa kalian semua berkumpul disini?"
Deg! Pak Irwan terkejut dan menoleh kebelakang.
Terlambat! Akan ada perang lanjutan...