Sara Elowen, pemilik butik eksklusif di Paris, hidup dalam ketenangan semu setelah meninggalkan suaminya-pria yang hanya ia nikahi karena perjanjian.
Nicko Armano Velmier bukan pria biasa. Ia adalah pewaris dingin dari keluarga penguasa industri, pria yang tak pernah benar-benar hadir... sampai malam itu.
Di apartemen yang seharusnya aman, suara langkah itu kembali.
Dan Sara tahu-masa lalu yang ia kubur perlahan datang mengetuk pintu.
Sebuah pernikahan kontrak, rahasia yang lebih dalam dari sekadar kesepakatan, dan cinta yang mungkin... tak pernah mati.
"Apa ini hanya soal kontrak... atau ada hal lain yang belum kau katakan?"
Dark romance. Obsesif. Rahasia. Dan dua jiwa yang terikat oleh takdir yang tak pernah mereka pilih.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Just_Loa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Seven Years Ago
Perpustakaan SMA Saint-Clair, Paris. Menjelang senja.
Sinar matahari menyusup pelan lewat kaca jendela tinggi bergaya klasik. Cahayanya hangat, memantul di lantai kayu tua, menciptakan bayangan seperti sapuan kuas lembut di kanvas sore. Langit di luar berubah warna, peach keemasan, seperti lukisan yang belum selesai.
Rak-rak buku berdiri tinggi, sunyi, dan kokoh seperti penjaga masa lalu.
Di sudut paling sepi, dua gadis masih tertahan di dalam ruang waktu mereka sendiri.
Clara bersandar santai di anak tangga kayu kecil. Ia menarik satu buku besar dari rak, lalu membuka halamannya dengan ekspresi geli.
“Sara, liat deh... ini kayak sketsa baju yang gagal ujian sejarah.”
Sara duduk di dekat jendela, menyilangkan kaki, memeluk sebuah majalah mode edisi lama. Wajahnya tenang, tapi tatapannya mengambang. Seperti orang yang secara sengaja menjauh dari dunia, walau hanya untuk sebentar.
“Kayaknya cocok buat koleksi fashion anehmu itu,” gumamnya pelan, tanpa menoleh.
Clara tertawa kecil dan menuruni tangga. “Aduh, kamu makin sarkas sekarang. Kebanyakan ngeliatin aku tiap hari, ya?”
Sara mengangkat sudut bibir. “Mungkin efek jadi pengamat diam-diam.”
Clara melempar bantal tipis ke arah Sara, lalu duduk. “Nanti kita jadi ke L’Atelier, kan? Aku butuh crepe. Dan kamu… butuh rileks sejenak Sara”
Sara menghela napas pelan. “Ya tapi, aku mau cari katalog bahan. Mungkin masih ada di rak lama. Kau tau Clara , perpustakaan ini seperti gudang nenek tua.”
Clara berdiri sambil merenggangkan tangan. “Oke, tapi kalau kau menghilang lebih dari sepuluh menit, aku makan duluan dan update story. Caption-nya: Ditinggal demi katalog kain vintage.”
Bantal yang dilempar Sara meleset, tapi tawa mereka sempat mengisi ruang itu, hangat dan ringan.
Lalu suara langkah masuk.
Perlahan dan tenang, seolah setiap hentakan sepatu tahu persis ke mana harus mengarah.
Clara menoleh.
Nathaniel.
Kakak kelas. Kelas akhir. Tubuhnya tegap dalam setelan abu muda. Rambutnya tersisir rapi, dan senyum tipis tergantung di sudut bibirnya. Senyum yang tak pernah benar-benar sampai ke mata.
Di tangannya, sebotol lemonade dingin.
“Sara,” ucapnya singkat.
"Hai Clara." Tambahnya yang di balas anggukan singkat oleh Clara.
Nada suaranya bukan sapaan biasa. Tapi seperti seseorang yang sudah berulang kali memanggil nama itu dalam kepala… dan akhirnya mengucapkannya di dunia nyata.
Sara menoleh pelan. Tidak terkejut. Tapi juga tidak menolak kehadirannya.
“Oh... hai, Nathaniel.”
Clara langsung mengangkat alis, lalu bangkit seperti baru ingat sesuatu yang sangat mendesak.
“Eh, sepertinya Vivienne menungguku di ruang seni. Ada... sketsa penting. Untuk masa depan dunia,” ucapnya cepat, lalu menatap Sara sejenak dengan tatapan: Dia datang lagi. Hati-hati.
“Crepe-ku jangan lupa, Sara!” katanya sambil berjalan cepat ke pintu, Sara hanya mengangguk pelan.
Nathaniel menarik kursi perlahan dan duduk di depan Sara. Tidak terlalu dekat. Tapi cukup untuk membuat udara di antara mereka berubah.
“Masih betah di sini tiap sore?” tanyanya sambil menaruh botol lemonade di meja.
Sara menatap botol itu. Embunnya turun pelan, membentuk garis bening. Ia menarik napas. “Nathaniel... ini lagi.”
Nada suaranya terdengar lelah, tapi tidak dingin.
Nathaniel hanya tersenyum tipis, lalu menatapnya diam-diam. Matanya menelusuri wajah Sara, tapi bukan dengan pandangan yang ingin menaklukkan. Lebih seperti seseorang yang sedang mencoba mengingat, dan mempertahankan sesuatu yang hampir hilang.
“Aku kira kau bakal bosan datang ke sini terus,” ucap Sara sambil menunduk lagi ke majalah.
Nathaniel bersandar ke kursi, matanya tetap menempel pada gadis di hadapannya. “Belum. Belum bosan.”
Sara menghela napas pelan. Tangannya menyentuh sudut majalah, tapi tak membalik halaman.
“Kau tahu aku jarang minum lemonade yang kamu bawa.”
“Aku tahu,” jawab Nathaniel tenang. “Tapi kau juga tak pernah buang. Itu cukup buatku.”
Sara terdiam. Jemarinya menggenggam sedikit ujung bajunya. Satu gerakan kecil, tapi menunjukkan kalau ia mulai gelisah.
Nathaniel tidak menyentuhnya. Tidak mendekat. Ia tahu, Sara bukan tipe yang bisa dipaksa atau dipikat dengan cara yang biasa.
Mungkin itulah alasan ia bertahan.
Di mata semua orang, Nathaniel adalah cowok paling sulit disentuh sekaligus paling mudah didapatkan. Sering gonta-ganti pasangan, suka menggoda tapi tak pernah benar-benar menetap. Tapi hanya satu yang tak pernah bisa ia sentuh.
Sara Elowen.
Gadis yang lembut, cantik tanpa mencolok, sedikit pendiam tapi selalu menyenangkan diajak bicara. Tidak mencolok. Tapi justru itu yang membedakannya.
Sara bukan teka-teki. Tapi kejujurannya membuat siapa pun ingin tinggal lebih lama.
“Ada pesta nanti malam. Di Hôtel Étoile Blanche. Kelulusan sekaligus ulang tahun kecil-kecilan,” kata Nathaniel, suaranya sedikit lebih rendah.
Sara menatapnya. “Untukmu?”
Nathaniel mengangguk. “Clara bakal datang. Vivienne juga. Tapi aku cuma pengen kamu di sana.”
“Aku usahakan.”
“Bukan itu yang aku mau denger.”
Sara menunduk, lalu mengangkat wajah dengan pandangan lebih tajam. “Aku bukan bagian dari permainanmu, Nathaniel.”
Ia kira Nathaniel akan tersenyum sinis. Tapi laki-laki itu justru menatapnya dalam-dalam. Kali ini tanpa topeng.
“Aku tahu. Kalau kamu bagian dari permainan, aku udah menang dari dulu.”
Sara menahan napas. Kalimat itu… terlalu jujur.
Nathaniel berdiri. Ia membenahi kemeja, lalu menatap Sara sekali lagi. “Lemonade itu... buang saja kalau kau mau. Tapi aku cuma ingin kau tahu Sara. Aku satu-satunya playboy di sekolah ini yang bersedia berhenti jadi dirinya, asal kamu kasih satu kesempatan.”
Ia melangkah pergi. Tapi sebelum benar-benar menghilang di balik rak buku, ia sempat menoleh lagi.
“Dari semua hal yang pernah bikin aku jatuh... kau yang paling bikin aku gak bisa bangun.”
Dan dia pergi.
Sara tetap diam.
Ruangan itu kembali sunyi, tapi tidak benar-benar tenang.
Sara menatap botol lemonade di atas meja. Embunnya mulai mengering. Tangannya bergerak pelan, menyentuh tutupnya dengan jari.
Tak dibuka. Tak dibuang.
Hanya disentuh. Seperti menyentuh kenangan yang tak pernah diundang, tapi datang juga.
Lalu, bayangan lain muncul. Suara di kepala yang selama ini ia hindari.
Rayden.
Seseorang yang dulu... adalah tempat pulang.
Yang duduk bersamanya di taman sekolah. Yang selalu menanyakan mimpi-mimpi kecilnya. Yang tertawa pada hal-hal bodoh. Yang membuat dunia terasa ringan.
Mereka pernah berjanji hal-hal konyol, membuka toko buku di Paris, melukis atap rumah, menanam lavender di Prancis selatan.
Sekarang semua itu hanya tinggal sisa.
Ia tahu pria dengan senyum cerah itu pergi bukan karena ingin meninggalkannya, tapi karena ada sesuatu yang lebih penting.
Sesuatu yang lebih besar dari kenangan remaja atau perasaan yang masih samar.
Dan Sara tak pernah menyesal memintanya pergi.
Karena dengan ia yang memilih menjauh, Rayden bisa fokus mengejar mimpi yang dulu sering mereka bicarakan di taman belakang sekolah, di antara suara daun, dan matahari sore yang hangat di kulit. Mimpi tentang menjadi seseorang yang bisa menjaga, melindungi.
Rayden punya tujuan. Dan Sara ingin ia sampai ke sana tanpa harus terbebani oleh jarak, rindu, atau rasa bersalah.
Ia tahu, cinta kadang bukan tentang bertahan. Tapi tentang memberi ruang.
Dan kali ini, ruang itu adalah kepergiannya sendiri.
Dan yang lebih menyakitkan: ia rindu.
Rindu suaranya. Tatapannya. Caranya mendengarkan.
Tapi itu hanya kenangan.
Dan Nathaniel... datang bukan untuk menggantikannya. Tapi seperti mengingatkan bahwa dunia nyata tidak menyediakan tempat untuk mimpi yang terlalu rapuh.
Sara membuka mata. Dadanya berat.
Ia mengambil tas. Berdiri perlahan.
Botol lemonade itu masih di meja. Tetap dingin.
Dan ia biarkan begitu.
Karena ada hal-hal yang memang tidak untuk dimiliki.
Cukup disimpan. Diam-diam.
Di tempat yang tak seorang pun tahu.
es batu ...
lama" juga mencair...
lanjut thor ceritanya
di tunggu updatenya
thor