NovelToon NovelToon
Butterfly

Butterfly

Status: sedang berlangsung
Genre:One Night Stand / Cinta Beda Dunia / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Mengubah Takdir / Identitas Tersembunyi
Popularitas:382
Nilai: 5
Nama Author: Kelly Astriky

Kelly tak pernah menyangka pertemuannya dengan pria asing bernama Maarten akan membuka kembali hatinya yang lama tertutup. Dari tawa kecil di stasiun hingga percakapan hangat di pagi kota Jakarta, mereka saling menemukan kenyamanan yang tulus.

Namun ketika semuanya mulai terasa benar, Maarten harus kembali ke Belgia untuk pekerjaannya. Tak ada janji, hanya jarak dan kenangan.

Apakah cinta mereka cukup kuat untuk melawan waktu dan jarak?
Atau pertemuan itu hanya ditakdirkan sebagai pelajaran tentang melepaskan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kelly Astriky, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Eps. 20 Sushi

Senja semakin gelap. Kami masih duduk berdua di pinggir kolam, menikmati hembusan angin sore yang lembut.

Maarten tiba-tiba membuka suara, nadanya pelan.

“Kelly… boleh aku tanya sesuatu yang mungkin agak pribadi?”

Aku mengangguk pelan.

“Tentu… tanya saja.”

Dia menatapku dalam, seperti berhati-hati memilih kata.

“Kamu tahu kan… kita berbeda. Maksudku… soal kepercayaan.”

Aku menunduk sejenak, lalu mengangguk lagi.

“Iya, aku tahu.”

“Aku bukan orang yang terlalu religius,” lanjutnya pelan.

“Tapi aku selalu percaya pada kebaikan. Pada menghormati. Pada mencintai seseorang bukan karena sama, tapi karena bisa saling memahami.”

Aku diam sejenak, memikirkan kata-katanya.

“Maarten…”

Aku menoleh padanya, suaraku cukup lembut.

“Aku juga tahu kita tidak sama. Tapi aku nggak pernah menginginkan kamu berubah hanya untuk membuatku nyaman. Aku hanya ingin kita bisa saling jaga. Saling ngerti. Karena… kadang, cinta itu bukan soal keyakinan yang sama, tapi niat untuk berjalan berdampingan walau di jalan yang berbeda.”

Dia menghela napas lega.

“Aku suka cara kamu berpikir. Dan aku janji… aku nggak akan pernah meremehkan apa yang kamu yakini. Aku mungkin tidak mengerti semuanya… tapi aku ingin belajar. Aku ingin tahu apa yang penting buat kamu.”

Aku tersenyum kecil.

“Dan aku juga ingin tahu kamu. Bukan untuk mengubah kamu. Tapi untuk bisa berjalan lebih jauh… bersama-sama.”

Maarten mengangguk, lalu menggenggam tanganku lebih erat.

“Mungkin dunia kita berbeda… tapi aku percaya, dua hati bisa saling menemukan, kalau keduanya mau menjaga.”

Aku tersenyum hangat. Ini adalah kata kata yang membuatku jatuh cinta. Tapi cukup hatiku yang tau... Cukup hatiku!!

Maarten menatap langit yang mulai gelap. Angin pelan menyentuh pipi kami. Suasana hening sejenak.

Lalu dia bicara, suaranya rendah, tapi serius.

“Kelly… kalau suatu hari nanti… kita menikah, dan punya anak… menurutmu, bagaimana kita akan membesarkan mereka?”

Pertanyaan itu datang pelan, tapi menghantam begitu dalam.

Aku terdiam sejenak, jujur aku tak pernah membayangkan sejauh itu. Tapi aku tahu, perasaan ini bukan lagi main-main. Aku mengalihkan pandangan ke wajahnya. Lalu aku menjawab pelan.

“Kita beri mereka hak untuk memilih, Maarten.”

Aku menatap matanya.

“Kita tanamkan kebaikan, kasih sayang, rasa hormat. Kita ajarkan nilai-nilai yang kita yakini. Tapi keputusan akhir tetap milik mereka.”

Dia mengangguk pelan, terlihat lega tapi juga penuh rasa hormat.

“Kamu tau? Kamu adalah wanita yang luar biasa. Aku senang kamu berpikir seperti itu,” katanya.

“Aku tidak ingin memaksakan dunia yang aku kenal kepada mereka. Aku hanya ingin mereka tumbuh jadi manusia yang penuh cinta, seperti ibunya.”

Aku tersenyum kecil.

“Dan seperti ayahnya yang mengajarkan bagaimana cara melihat dunia dengan mata terbuka.”

Maarten mendekatkan wajahnya sedikit, lalu berbisik.

“Kalau anak kita nanti punya hati seperti kamu… aku akan menjadi ayah paling beruntung di dunia ini.”

Kami saling menatap lama, dan di detik itu… aku tahu, perbedaan tidak selalu harus menjadi tembok. Kadang, ia hanya jendela untuk saling melihat dan belajar. Selama hati tetap jujur dan saling menjaga.

Hatiku kembali berbicara hari ini.

Dan suaranya tidak keras, tidak juga memaksa.

Tapi aku bisa merasakannya jelas, bergetar pelan di antara napasku yang mulai berat.

Ini adalah hantaman kedua yang aku rasakan.

Bukan karena disakiti. Tapi justru karena diperlakukan begitu baik, begitu tulus, sampai aku sendiri takut tenggelam di dalamnya.

Dulu, hatiku pernah runtuh karena dijanjikan sesuatu yang tak pernah datang.

Sekarang… hatiku kembali diuji bukan oleh luka, tapi oleh harapan baru yang diam-diam tumbuh tanpa izin.

Aku diam menatap langit...

Bertanya pada diriku sendiri…

Apakah aku sudah siap?

Apakah ini cinta?

Atau hanya rasa nyaman yang menumpuk dari luka-luka masa lalu?

Hatiku... sulit dijelaskan.

Ada sesuatu yang perlahan tumbuh, bukan hanya di dada, tapi juga di tiap sudut pikiranku.

Setiap hari bersamanya seperti membuka satu per satu lapisan dirinya yang tersembunyi dan yang kutemukan selalu membuatku terdiam.

Semakin hari, aku melihat bagaimana karakter Maarten…

Sabar, perhatian, dewasa, dan entah kenapa, dia selalu tahu cara memperlakukanku dengan benar.

Tanpa banyak kata, tanpa janji-janji muluk… tapi setiap perlakuannya membuatku merasa cukup.

Merasa dihargai.

Merasa dilihat..

Dan aku bertanya pada diriku sendiri:

Siapa yang bisa benar-benar siap untuk jatuh cinta secepat ini?

Aku tidak mencarinya. Aku tidak menyiapkannya.

Tapi nyatanya, hati tidak pernah menunggu aba-aba.

Ia memilih sendiri kapan harus bergetar.

Dan kali ini… aku takut. Tapi aku juga tidak ingin lari.

Oke bro, ini gue lanjutin ke bagian malam yang santai dan lucu. Tetap puitis tapi ada sentuhan keceriaan yang ringan, khas momen dua orang yang sedang jatuh cinta dan nyaman jadi diri sendiri:

Malam itu, setelah hari yang panjang namun hangat, Maarten mengajakku berjalan ke mall yang terletak tepat di samping hotel. Kami akan makan malam disana.

Kami berjalan menyusuri lorong hotel menuju lift. Tapi sebelum sampai, Maarten tiba-tiba berhenti di depan salah satu pintu kamar.

Dengan ekspresi nakal di wajahnya, dia melirikku lalu... mengetuk pintu itu cepat-cepat.

“Ayo lari!” bisiknya sambil menarik tanganku.

Kami berlari kecil menyusuri koridor, menahan tawa seperti dua anak kecil yang baru saja melakukan kenakalan polos. Langkah kami ringan, tawa kami pecah di antara keheningan malam.

Sesampainya di lift, aku menatapnya sambil tertawa pelan.

“Kamu tuh, ya… nakal bangeet..liat tuh, ada CCTV!” kataku sambil menunjuk ke sudut langit-langit lift.

Maarten langsung mendongak, lalu pura-pura panik.

“Oh no! Mereka pasti lihat aku… kriminal internasional yang baru aja ketok pintu orang tanpa izin!” katanya dramatis, membuatku makin tertawa.

“Besok kamu masuk berita.”

“Headline-nya: Turis Belgia Usil di Hotel Jakarta!”

Maarten langsung berdiri tegak, memasang wajah serius sambil menatap ke arah kamera kecil di sudut atas.

“Aku mau kirim pesan buat petugas keamanan,” bisiknya dengan aksen lucunya.

Lalu ia melipat tangan ke dada, menatap lurus ke kamera, dan berkata pelan.

“To the kind security man watching this… we’re innocent. She made me do it.”

Dia menunjuk ke arahku dengan wajah dramatis.

Aku tertawa sampai menutup wajahku dengan tangan.

“Apa-apaan sih! ssssssssst…"

"Aku harus selamatin reputasiku. Aku warga negara baik-baik,” katanya sambil pura-pura berdiri tegap seperti tentara.

“Warga negara baik-baik mana yang suka ketok pintu orang tengah malam?” Kataku dengan nada nakal.

“Aku cuma... mengetes kualitas pintu hotel,” balasnya sambil tersenyum nakal.

Lift pun tiba di lantai bawah. Saat pintu terbuka, kami masih tertawa, dan beberapa orang menoleh melihat kami keluar sambil cekikikan.

“Wah… ketahuan deh kita pasangan absurd,” gumamku.

Maarten merangkul pundakku sambil berbisik,

“Biarin. Yang penting kamu ketawa. Itu misiku malam ini.”

Kami akhirnya melangkah masuk ke dalam mall. Seperti biasa, Maarten mendahuluiku membuka pintu, lalu menoleh dengan senyum kecil dan berkata lembut,

“Silakan masuk, gadisku.”

Aku hanya tertawa kecil dan mengangguk pelan. Tapi entah kenapa, setiap kali dia melakukan hal sederhana seperti itu, ada sesuatu yang hangat mengalir dalam dadaku.

Di dalam mall, lampu-lampu terang, suara musik lembut, dan orang-orang berlalu-lalang. Tapi Maarten tak melepaskan tanganku sedikit pun. Dia menggenggamnya erat, seolah takut aku menghilang di tengah keramaian.

“Do you want to buy something?” tanyanya sambil menatapku lembut.

Aku menggeleng dan tersenyum.

“Enggak. Aku cuma mau jalan-jalan. Tapi terima kasih udah nawarin,” jawabku pelan.

Maarten menatapku lama, lalu tiba-tiba menarik napas pelan.

“Kenapa?” tanyaku, sedikit heran.

Dia menggeleng, lalu bicara pelan.

“Just... I don’t know, Kelly. You’re just… different. You never ask for anything. And yet, you give me everything just by being here.”

Aku terdiam.

Bukan karena tak tahu harus menjawab apa, tapi karena aku juga merasakan hal yang sama. Kadang… bersama orang yang tepat, kita tak butuh banyak hal. Hanya kehadirannya saja sudah cukup membuat dunia terasa penuh.

Kami berjalan menyusuri lantai demi lantai, mencari makanan. Cahaya lampu restoran memantul di lantai mengilap, aroma makanan dari berbagai penjuru mulai menggoda. Maarten tampak memperhatikan satu tempat dengan antusias restoran Jepang bergaya minimalis, dengan lampion merah kecil di bagian depan.

“Do you like sushi?” tanyanya sambil menoleh padaku, penuh harap.

Aku tersenyum kikuk dan menjawab jujur,

“Hmm… enggak begitu suka, sebenarnya. Aku lebih suka makanan yang matang, bukan mentah.”

Maarten tampak kecewa sebentar, tapi ia cepat menutupi ekspresinya.

“Oh, it’s okay. We can find something else. Don’t worry,” katanya sambil mengangguk.

Tapi saat aku melihat wajahnya yang begitu ingin, aku jadi merasa tidak enak. Ini mungkin hal kecil, tapi dia sudah banyak menyesuaikan denganku. Mungkin kali ini, biar aku yang mencoba menyesuaikan dengannya.

“Kalau kamu pengen banget, kita masuk aja,” kataku akhirnya.

Dia langsung menatapku, terkejut dan tersenyum.

“Are you sure?”

Aku mengangguk pelan.

“Yup. Asal kamu janji, nanti kamu temenin aku makan makanan favoritku juga.”

Maarten tertawa kecil.

“Deal.”

Kami pun masuk ke restoran Jepang itu. Suasana tenang, interiornya dominan kayu dan lampu kuning hangat. Saat kami duduk, Maarten menatapku penuh rasa terima kasih.

“Thank you,” bisiknya.

“You didn’t have to, but you did. That’s very kind of you.”

Piring-piring kecil berputar di depan kami di atas rel berjalan. Warna-warni hidangan Jepang itu terlihat cantik, semuanya tampak rapi, bersih, dan menggoda. Tapi aku hanya menatapnya lama, belum berani mengambil satu pun.

Maarten tersenyum melihat ekspresiku yang ragu-ragu.

“Just pick anything you like,” katanya sambil menunjuk ke arah piring-piring itu.

“Take your time.”

Aku masih memperhatikan satu per satu. Ada yang bentuknya aneh. Ada yang kelihatan mentah. Ada juga yang mengeluarkan aroma laut yang cukup kuat. Tapi mataku akhirnya tertuju pada satu piring kecil berwarna putih, dengan nasi hangat di bawahnya dan potongan daging matang di atasnya. Kelihatannya enak.

Aku menunjuknya.

“Yang itu... kelihatannya enak,” kataku ragu.

Maarten langsung mengambilkannya untukku.

“Looks like a safe choice,” katanya sambil tertawa kecil.

Aku mencicipi sedikit, perlahan. Dan ternyata rasanya… cukup enak. Dagingnya gurih, ada sedikit rasa manis, dan nasinya lembut. Aku tersenyum puas.

“Not bad?” tanya Maarten sambil memperhatikanku.

Aku mengangguk.

“Not bad at all. Tapi jangan tanya aku ini apa, aku juga nggak tahu,” jawabku sambil tertawa kecil.

Maarten mengambil satu sushi favoritnya, lalu berkata sambil tersenyum,

“Kamu berani mencoba sesuatu yang baru. That’s what I love about you.”

Aku menatapnya, sedikit terkejut, sedikit tersipu. Tapi juga… hangat.

Kami menikmati makanan itu dalam diam yang nyaman. Tidak ada suara gaduh, hanya dentingan sendok dan suasana hangat restoran yang membuat segalanya terasa tenang. Sesekali, Maarten menatapku sambil tersenyum, seolah senang melihatku mulai berani mencicipi makanan yang belum pernah aku coba sebelumnya.

“You know…” katanya sambil menyandarkan tubuhnya sedikit ke belakang, “life is a bit like this restaurant.”

Aku mengernyit penasaran.

“Maksudmu?”

“Di sini, makanan terus berjalan. Macam-macam bentuk, warna, rasa. Kita bisa saja diam dan tidak mengambil apa-apa. Tapi kalau kamu berani mencoba, kamu akan tahu… ternyata ada banyak rasa yang kamu suka, yang selama ini kamu bahkan tidak tahu.”

Aku diam. Kata-katanya sederhana, tapi menghantam lembut di dada.

“Jadi kamu menyuruhku buat lebih sering mencoba hal-hal baru?” tanyaku pelan.

Maarten tersenyum dan mengangguk.

“Exactly. You deserve more than one flavor in life. Don’t be afraid to pick something unfamiliar. You never know, it might surprise you.”

Aku tertawa kecil sambil memutar piring kecil di depanku.

“Kamu bicara seperti filosofi hidup ya.”

“Well, sushi teaches a lot,” katanya sambil tertawa.

Aku hanya mengangguk. Entah kenapa, duduk berdua seperti ini, di restoran kecil, membuatku merasa kaya akan hal-hal yang sederhana. Dan ya… mungkin benar. Hidup ini penuh rasa. Tinggal aku, mau berani mencicipi atau tetap menunggu piring yang paling aman.

1
Kelly Hasya Astriky
sangat memuaskan
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!