seorang kapten polisi yang memberantas kejahatan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aldi malin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
hantu masa lalu
Club itu tak begitu ramai, tapi lampunya berwarna ungu dan merah menyala, menciptakan suasana misterius yang penuh bisikan dan tatapan gelap. Musik EDM berdentum pelan, lebih seperti denyut jantung yang menunggu sesuatu meledak.
Han menggandeng Merlin masuk ke ruang VIP, melewati beberapa promotor yang tertawa dengan rokok mahal dan minuman asing di tangan mereka. Wajah-wajah lelah tapi dipaksakan terlihat kuat. Di ujung ruangan, duduklah seseorang.
> "Chen," ucap Han sambil menepuk pundak pria itu, "ini dia si Mar yang semalam bikin aku lupa makan."
Merlin menoleh.
Waktu seperti berhenti.
Sosok itu menoleh, perlahan. Di bawah pencahayaan redup, wajahnya perlahan terbentuk dalam ingatan Merlin. Rahang tegas, mata tajam tapi lelah, dan... senyum yang pernah ia kenal begitu dalam.
Rangga.
Mata mereka bertemu. Panas. Penuh luka. Dan pertanyaan yang tak sempat diucapkan selama bertahun-tahun.
> "ngga..." bisik Merlin, nyaris tak terdengar.
Chen—atau rangga—menegang sesaat. Tapi dengan cepat ia menutupi keterkejutannya.
> "Kita pernah kenal?" tanyanya datar, mencoba menyembunyikan emosinya.
> "Aku tidak pernah lupa orang yang pernah menghancurkan hidupku," balas Merlin dingin tapi matanya berkaca-kaca.
Han tertawa kecil, tak menyadari ketegangan di antara keduanya.
> "Eh, kalian kayak pernah pacaran aja... Waduh, pacarku udah jemput. Aku tinggal ya. Kalian ngobrol aja."
Dan begitu saja, Han pergi, meninggalkan mereka berdua dalam gelembung masa lalu yang belum sempat pecah.
Merlin duduk perlahan, masih memandangi wajah rangga
> "Jadi... ini nama barumu? Chen?"
> "Aku tak punya pilihan, Mer. Dunia ini... bukan seperti yang kamu bayangkan."
Merlin mengepalkan tangannya di bawah meja.
> "Kamu yang memilih pergi waktu itu. Tanpa kabar. Dan sekarang aku tahu, kamu bukan hanya hilang... kamu tenggelam di antara dosa-dosa."
Rangga menghela napas. Ia meneguk minuman di depannya sebelum menjawab.
> "Aku nggak bisa cerita semuanya sekarang. Tapi kalau kamu bertahan di sini, kamu akan tahu... aku juga korban, sama seperti mereka."
Tatapan Merlin tak melunak, tapi hatinya berkecamuk.
Malam itu, dua jiwa yang dulu saling mencinta bertemu kembali. Tapi mereka bukan orang yang sama lagi.
Dan rahasia di antara mereka... lebih gelap dari apa pun yang pernah mereka hadapi sebelumnya.
Mobil hitam itu akhirnya berhenti di depan rumah tua dua lantai yang tampak terbengkalai. Lampu remang dari lantai dua menyinari sebagian kecil pekarangan yang dikelilingi semak. Merlin turun dari mobil, matanya tetap awas. Di sampingnya, Chen—atau rangga, nama lamanya—memberi isyarat agar ia masuk lebih dulu.
> “Jangan khawatir, di sini aman,” ujarnya singkat.
Di dalam, rumah itu tak banyak berubah dari luar: sunyi, kosong, hanya meja besar penuh perangkat komputer, kabel, dan layar monitor berkedip-kedip. Di dinding tergantung papan dengan diagram situs, nama-nama user, dan alur transfer dana.
Merlin melangkah pelan, matanya menyapu ruangan.
> “Kamu tinggal di sini?”
> “Sekarang, iya. Ini satu-satunya tempat aku bisa bekerja tanpa diburu,” jawab rangga seraya menyalakan salah satu monitor.
Merlin menatapnya lekat-lekat, lalu bertanya dengan nada tajam:
> “Kamu ini siapa sebenarnya? Promotor besar? Bos dari jaringan judi online internasional?”
Rangga tersenyum pahit.
> “Mer… aku bukan siapa-siapa. Aku cuma programmer. Dulu, waktu kita masih di Indonesia, aku pernah dapat proyek dari seseorang—investor. Minta aku bikin platform. Waktu itu, aku nggak tahu kalau itu buat situs judi. Tapi uangnya besar… dan aku butuh.”
Ia menarik napas dalam-dalam.
> “Waktu polisi mulai curiga, aku kabur. Nama samaran ‘Chen’ aku ambil saat sampai di Kamboja. Di sini, situs itu dikembangkan. Tapi sejak saat itu, aku tidak punya pilihan pulang. Aku dianggap dalang. Padahal aku hanya pembuat pintunya, bukan yang mengatur siapa yang masuk dan keluar.”
Merlin menyipitkan mata.
> “Lalu siapa yang sebenarnya mengatur semuanya?”
> “Pejabat-pejabat korup. Termasuk yang dari negeri kita sendiri. Jaringan ini lebih dalam dari yang kamu bayangkan. Nama Chen itu... sengaja dijadikan simbol. Semua orang butuh boneka. Seperti Komandan Zen, Arya mantan Interpol, tapi sekarang cuma bayangan. Semua dikendalikan dari belakang layar.”
Ia menatap Merlin dalam-dalam.
> “Bahkan aku... hanya pion yang terlalu pintar bikin sistem.”
Merlin menelan ludah, emosinya bercampur. Antara marah, iba, dan rasa cinta yang pernah ada.
> “Aku dengar kamu menghilang karena kamu takut ditangkap. Tapi kenapa nggak pernah cari aku?”
Rangga menunduk.
> “Aku kira kamu sudah menikah. Aku tahu kamu jadi polisi, dan kudengar suamimu mati karena jebakan. Aku pikir… aku adalah masa lalu yang harus kamu lupakan.”
Merlin mengalihkan pandangan. Ia berusaha tetap rasional. Tapi di hatinya, sesuatu mulai retak perlahan.
> “Aku ke sini bukan untuk masa lalu, ngga. Aku ke sini karena ada yang harus diungkap. Tentang sistem ini… tentang para korban.”
Rangga mengangguk.
> “Kalau kamu ingin menghancurkan jaringan ini, kamu butuh bukti yang lebih dari cukup. Dan aku tahu di mana kita bisa mulai.”
Rangga berdiri di depan jendela rumah itu, memandangi langit malam Phnom Penh yang kelabu. Merlin duduk di kursi kayu, diam menatap punggungnya yang dulu pernah begitu akrab, kini terasa asing sekaligus akrab di waktu bersamaan.
> “Kamu masih sendiri?” tanya Merlin, lirih, nyaris tak terdengar.
Rangga tak langsung menjawab. Tangannya menggenggam kusen jendela, napasnya tertahan.
> “Ya,” jawabnya akhirnya. “Sampai sekarang.”
Ia berbalik, menatap Merlin dengan mata yang mengandung letupan rasa rindu yang tak pernah mati.
> “Aku nggak bisa berpikir tentang perempuan lain… sejak kamu pergi dari hidupku.”
Merlin menunduk. Hatinya teriris. Ada jeda panjang di antara mereka, seperti ruang kosong yang tidak pernah benar-benar terisi sejak masa lalu itu terpecah.
> “Kamu menghilang, ngga… tanpa jejak. Kamu tahu rasanya ditinggal begitu?”
> “Aku tahu,” suaranya parau. “Dan aku menyesal. Tapi kalau saat itu aku cari kamu, aku takut kamu akan ikut terseret. Aku disangka otak jaringan internasional. Dan setiap malam... aku cuma bisa buka foto kita yang terakhir, sebelum semuanya berantakan.”
Ia melangkah mendekat. Perlahan.
> “Aku masih ingat caramu tertawa, cara kamu marah, bahkan caramu minum kopi—penuh aturan.”
Merlin menahan air mata.
> “Kamu tahu? Aku juga masih menyimpan pesan terakhirmu. Tapi aku terlalu marah untuk membalasnya.”
> “Mer…” bisik rangga. “Kalau semua ini selesai... kalau kamu berhasil bongkar jaringan ini... dan aku bersedia bantu dengan semua data yang kupunya… setelah itu... bolehkah aku berharap?”
Merlin menatap matanya. Dalam. Luka-luka yang dulu menganga mulai berubah jadi kenangan yang menghangatkan.
> “ngga, kita sudah bukan orang yang sama lagi. Tapi kalau memang masih ada ruang… kita lihat nanti, setelah ini semua berakhir.”
Rangga mengangguk. Tidak ada janji. Tapi harapan itu kini punya bentuk.
Malam itu makin sunyi. Di balik jendela hotel, langit Phnom Penh seperti panggung tempat bintang menari lembut mengelilingi rembulan. Udara dingin menyelinap lewat celah tirai, menyentuh kulit Merlin, membangkitkan sesuatu yang telah lama mati—hasrat, rindu, dan bayangan akan sebuah kehangatan yang dulu ia kenal baik.
Satu per satu kancing bajunya dilepas, bukan karena panas, tapi karena dadanya terasa sesak oleh desir yang tiba-tiba hadir tanpa undangan. Rindu itu tidak datang dengan angin, melainkan dari dalam dirinya sendiri—mengakar, merambat, dan membakar pelan-pelan.
Tangannya gemetar saat meraih ponsel. Layar menyala, dan nama itu muncul di daftar kontak: Rangga.
Nama yang dulu membuatnya tersenyum, kini hanya menimbulkan kebingungan. Chen, atau Rangga, lelaki yang dulu ia cintai, kini hadir kembali—bukan sebagai kekasih, tapi sebagai bagian dari jaringan yang sedang ia buru. Namun, kenangan tidak mengenal kata "musuh". Hatinya tak bisa membohongi ingatan akan pelukan hangat dan bisikan lembut yang pernah meyakinkannya bahwa cinta bisa menyembuhkan segalanya.
Tapi semuanya berubah sejak Dika—suaminya—tewas dalam misi terakhir. Kematian itu bukan hanya merenggut nyawa lelaki baik, tapi juga mematikan bagian terdalam dari diri Merlin. Di pusara Dika, ia bersumpah: tidak akan pernah jatuh cinta lagi.
Namun sekarang, sumpah itu mulai retak. Chen hadir seperti hantu dari masa lalu, mengusik luka lama, sekaligus membangkitkan rasa yang tak sempat dikuburkan sepenuhnya.
Merlin menatap bayangannya sendiri di kaca. Mata yang dulu penuh nyala kini tampak rapuh.
> “Aku ini pejuang atau perempuan yang masih mendamba pelukan masa lalu?” bisiknya lirih.
Ponsel itu masih menyala, nama Rangga masih terpampang jelas. Tapi jari-jarinya tak jadi menekan tombol panggil. Ia mematikan layar dan memeluk tubuhnya sendiri.
Cinta yang ia buang kini datang mengetuk pintu jiwanya. Dan dalam diam, ia tahu: perang yang paling sulit bukan melawan musuh, tapi melawan perasaan sendiri.