NovelToon NovelToon
A Thread Unbroken (Three Brothe'Rs)

A Thread Unbroken (Three Brothe'Rs)

Status: sedang berlangsung
Genre:Angst / Identitas Tersembunyi / Keluarga
Popularitas:480
Nilai: 5
Nama Author: BYNK

Sejak bayi, Kim Areum menghilang tanpa jejak, meninggalkan tiga kakaknya—Kim Jihoon, Kim Yoonjae, dan Kim Minjoon—dengan rasa kehilangan yang tak pernah padam. Orang tua mereka pergi dengan satu wasiat:

"Temukan adik kalian. Keluarga kita belum lengkap tanpanya."

Bertahun-tahun pencarian membawa mereka pada sebuah kebetulan yang mengejutkan: seorang gadis dengan mata yang begitu familiar. Namun Areum bukan lagi anak kecil yang hilang—ia tumbuh dalam dunia berbeda, dengan ingatan kosong tentang masa lalunya dan luka yang sulit dimengerti.

Sekarang, tiga kakak itu harus membuktikan bahwa ikatan darah dan cinta keluarga lebih kuat daripada waktu dan jarak. Bisakah mereka menyatukan kembali benang-benang yang hampir putus, atau Areum telah menjadi bagian dari dunia lain yang tak lagi memiliki ruang untuk mereka?

"Seutas benang menghubungkan mereka—meregang, namun tidak pernah benar-benar putus."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 14: Membujuk Jihoon

“Cantik sekali… kenapa senyumannya seperti aku kenal,” gumam Minjoon pelan, matanya masih menatap ke arah Areum hingga bayangan gadis itu benar-benar menghilang di kejauhan. Setelah puas, ia kembali menyalakan mobilnya dan meninggalkan kawasan tersebut.

Tujuannya malam ini jelas—apartemen Jihoon. Sudah hampir sebulan lebih sang kakak tidak pulang ke rumah, begitu juga dengan Yoonjae. Sejak pertengkaran terakhir di antara keduanya, mereka nyaris tak pernah terlihat bersama lagi. Jihoon sulit dihubungi, bahkan bagi keluarga sekalipun.

Mobil itu melaju membelah jalanan ibu kota yang masih ramai meski jam telah menunjukkan pukul sebelas malam lewat. Seoul memang kota yang tak pernah tidur. Lampu-lampu neon berpendar di sepanjang jalan, memantul di kaca depan mobil Minjoon. Ia menatap sekilas pantulan wajahnya di spion, menghela napas berat.

"Aigoo… hyung itu keras kepala sekali," pikirnya sambil menggenggam kemudi erat. Ia menekan pedal gas, berharap bisa segera sampai di apartemen kakaknya itu. Sebelumnya, ia sudah mengabari Jihoon bahwa ia akan menginap malam ini—dan untungnya, Jihoon mengizinkan.

Tak lama, mobilnya memasuki kawasan apartemen elite di daerah Gangnam. Penjagaan ketat dan sistem keamanan berlapis membuat suasana terasa begitu eksklusif. Minjoon menunjukkan kartu aksesnya di pos penjaga, dan portal besi perlahan terbuka, memperbolehkannya masuk.

Dia memarkirkan mobilnya di basement lantai dua—tempat biasa Jihoon menaruh kendaraannya. Mobil sang kakak masih terparkir rapi di sana, bersebelahan dengan beberapa mobil mewah milik penghuni lain. Minjoon mendesah kecil, menatap mobil itu sejenak sebelum turun sambil membawa ransel di bahu.

Lorong apartemen terasa dingin dan sunyi. Hanya suara langkah kakinya yang menggema pelan di antara dinding putih dan lantai marmer. Saat pintu lift terbuka, ia melangkah masuk, namun pikirannya masih tertinggal di tempat lain—pada senyuman Areum yang entah kenapa terus menari di kepalanya.

"Apa aku baru saja jatuh cinta pada pandangan pertama? Aish… jinjja, Minjoon-ah, fokuslah!" gumamnya dalam hati sambil menepuk pipinya pelan. Tapi bukannya hilang, senyum Areum justru semakin jelas dalam benaknya—hangat, lembut, dan entah kenapa… sedikit familiar.

“Itu cuma kebetulan. Jangan aneh-aneh, Minjoon.”gumamnya, mencoba menenangkan dirinya sendiri saat pintu lift terbuka di lantai 37. Apartemen Jihoon terletak di pojok, tipe penthouse dengan pemandangan langsung ke arah Sungai Han. Saat akan menempelkan kartu akses Minjoon baru sadar jika kartu itu tertinggal, Ia akhirnya menekan bel satu kali. Tidak ada jawaban. Menekan lagi, dan kali ini terdengar suara berat dari dalam.

“Pintunya tidak dikunci, masuk aja,” sahut suara yang jelas milik Jihoon, terdengar lelah. Minjoon membuka pintu dan langsung disambut aroma khas ruangan yang jarang ditinggali: campuran kayu mahal dan parfum maskulin yang mulai pudar. Ia menemukan Jihoon duduk di sofa panjang, dengan laptop di pangkuannya dan segelas anggur di tangan.

“Masih bekerja?” tanya Minjoon sembari melihat jam di tangan nya yang sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam.

“Sengaja sembari menunggu mu,” Jihoon tak menoleh, tapi bibirnya tersenyum tipis. Minjoon mendekat, lalu menjatuhkan tubuhnya ke sisi sofa seberang, mengamati wajah kakaknya itu yang tampak lebih kurus dan pucat. Ada lingkaran gelap di bawah matanya, menandakan kurang tidur.

"Hyung... sudah sebulan kalian tidak saling bicara. Aku tidak mau keluarga kita semakin hancur, Hyung. Kamu dan Yoonjae-Hyung... apa tidak bisa berbaikan?" ujar Minjoon, suaranya pelan tapi tegas, memecah keheningan malam itu. Nada nya seperti anak kecil yang sedang membujuk orang tuanya yang hendak bercerai.

Jihoon yang sedang mengetik, langsung berhenti. Jari-jarinya menggantung di atas keyboard, dan pandangannya membeku pada layar kosong. Dia menghela napas dalam, lalu perlahan menutup laptop di pangkuannya.

“Jadi kamu datang ke sini hanya untuk menyuruhku minta maaf?” tanyanya dingin, tanpa menoleh.

“Bukan begitu maksudku...” ujar minjoon sedikit tersentak dengan penilaian kakak tertuanya itu.

“Tapi itu yang terdengar di telingaku,” potong Jihoon cepat, akhirnya berdiri dan berjalan ke arah bar kecil di sudut ruangan. Dia menuang anggur ke gelasnya lagi dengan tangan yang sedikit gemetar.

“Kamu tahu apa yang dia katakan terakhir kali sebelum pergi? Bahwa aku bukan siapa-siapa. Bahwa aku tidak merasakan apa yang dia rasakan, yang kalian rasakan dia membuat ku terlihat seperti kakak yang tidak berguna.” Jihoon tertawa kecil, getir. “Dan kamu ingin aku berpura-pura tidak ada yang terjadi lalu bersikap seperti semuanya baik-baik saja?” lanjut nya yang membuat Minjoon menggeleng cepat.

“Bukan begitu, Hyung, aku tahu Yoonjae salah. Dia terlalu emosional, dia menyakiti kamu... aku tidak membela dia. Aku hanya tidak mau kita kehilangan satu sama lain karena kesalahpahaman. Kita ini keluarga.” ujar Minjoon menatap wajah sang kakak yang terlihat datar dia berdiri mengikuti langkah Jihoon.

“‘Keluarga? Dia bahkan bilang aku tidak tahu penderitaan nya, dia bilang aku terlalu mementingkan nama keluarga. Itu yang di sebut keluarga? Bukankah seharusnya keluarga saling mendukung? Tapi tidak dia pikir aku tidak kehilangan Ara, dia pikir aku tidak terluka atas kepergian Eomma dan Appa,” Jihoon mengulang kata itu dengan nada sinis. Minjoon terdiam. Luka itu masih terlalu nyata. Nama Ara selalu jadi ujung pisau yang menyayat pelan.

“Tapi bukan berarti kita harus membiarkan semuanya terus begini, Hyung...” ujar Minjoon masih berusaha membujuk kakak tertuanya itu, hal itu membuat Jihoon menatap adiknya untuk pertama kalinya sejak percakapan dimulai. Matanya merah, tapi dingin.

“Kalau memang Yoonjae menganggap aku kakak nya, dia yang seharusnya datang. Bukan aku.” ujar Jihoon yang lagi dan lagi membuat Minjoon menunduk. Ia tahu keras kepala kakaknya tak akan luluh dalam semalam. Tapi ia juga tahu: di balik kata-kata tajam dan dingin itu, masih ada hati seorang kakak yang terluka... bukan karena harga dirinya, tapi karena kehilangan yang tak pernah ia bisa maafkan—bahkan pada dirinya sendiri.

“Hyung... kalau kalian berdua terus seperti ini, bagaimana kita bisa menemukan Ara? Itu permintaan terakhir Eomma dan Appa...” suara Minjoon terdengar putus asa, matanya menatap kakaknya penuh harap.

“Aku akan melakukannya dengan caraku,” tegas Jihoon tanpa menoleh, nadanya dingin dan tak memberi ruang untuk dibantah.

“Hyung...”

“Masuk ke kamarmu, atau keluar dari apartemenku,” potong Jihoon cepat, nada suaranya semakin dalam dan tajam.

“Hyung... aku belum selesai bicara—”

“Keluar dari apartemenku!” suara Jihoon meninggi kali ini, membuat udara di ruangan itu seolah membeku.

Minjoon terdiam, matanya memandangi kakaknya yang kini berdiri dengan rahang mengeras. Ia tahu, ketika Jihoon sudah seperti itu, semua kata hanya akan jadi percuma. Ia menarik napas panjang, berusaha menelan rasa sesak yang menumpuk di dadanya.

“Arasseo, Hyung...” gumamnya pelan sebelum akhirnya melangkah menuju kamar tamu di ujung lorong. Setiap langkahnya terasa berat, bukan karena lelah, tapi karena hatinya ikut tertinggal di ruang tamu bersama sosok kakak tertua yang kini semakin ia tak kenali.

Begitu pintu kamar tertutup, Jihoon hanya berdiri di tempatnya, menatap kosong ke arah gelas anggur yang masih tersisa di meja. Jemarinya mengepal perlahan.

“Ara... wae... wae semuanya jadi seperti ini... Di mana kamu,” gumamnya nyaris tak terdengar.

•••

Mentari pagi bersinar lebih terang dari biasanya. Areum terbangun bukan karena alarm, melainkan karena tubuhnya memang sudah terbiasa bangun pada jam itu. Ia langsung menuju kamar mandi untuk bersiap-siap; seperti biasa, hari ini ia harus bekerja di kafe milik Ji-Sung dan Taeyoon.

Namun, sepanjang bersiap, pikirannya terus kembali pada tawaran Minjoon—bekerja di kafe miliknya yang berada di Gangnam. Entah mengapa hatinya terasa terdorong untuk menerima tawaran itu. Meski begitu, keraguannya lebih besar. Ia tahu, izin dari orang tuanya bukan hal yang mudah didapat, terlebih Hyerin—ibunya—selalu melarang putri semata wayangnya itu untuk bekerja di luar rumah.

Setelah memikirkan banyak hal dan merapikan diri, Areum berdiri di depan cermin, mematut dirinya dengan senyum tipis. Pagi ini ia berniat untuk mengatakan semuanya secara langsung kepada kedua orang tuanya, sebelum berangkat ke kafe. Ia keluar dari kamar dan melihat orang tuanya sudah duduk santai di meja makan, seolah memang telah menunggunya sejak tadi.

“Eomma, Appa, joheun achim.” Ujar Areum sembari duduk di kursi tempatnya biasa duduk. Suaranya tenang, meski ada getar halus di ujungnya. Tangannya menyentuh mangkuk kecil berisi sup tahu yang mengepul hangat, tapi tak segera ia makan. Hyerin melirik sekilas, lalu meletakkan sendoknya.

“Joheun achim. Sudah siap ke café, hm?” tanyanya singkat, sambil merapikan potongan kimchi di piring kecil Areum.

“Eomma… Appa… semalam ada seseorang yang datang ke acara makan malam itu, dan dia menawarkan pekerjaan untukku.” ujar Areum sembari menatap kedua orangtuanya.

Suasana meja makan langsung berubah lebih hening dari sebelumnya. Tak ada yang menyahut seketika. Hanya suara jam dinding yang berdetak dan gelegak kecil dari panci sup di dapur.

“Pekerjaan? Pekerjaan macam apa lagi, Areum? Bukankah kau sudah bekerja?” tanya Hyerin dengan nada yang lebih dingin. Ia memang selalu menjadi sosok yang paling protektif terhadap Areum sebagai seorang ibu. Areum menelan ludah sebelum menjawab.

“Dia pemilik café juga, Eomma… tapi di Gangnam. Dia bilang café-nya akan segera dibuka dan beliau ingin aku bergabung di sana. Ji-Sung sajangnim yang merekomendasikan kami, dan dia memilihku untuk bekerja dengannya,” ujar Areum, suaranya terdengar antusias meski matanya tampak ragu-ragu. Taesik menatap putrinya dengan sorot yang lebih lembut.

“Siapa orang itu?” tanyanya pelan, nadanya menuntut kejelasan namun tetap tenang seperti biasanya.

“Namanya Kim Minjoon, dia sahabat sekaligus rekan bisnis Ji-Sung-nim,” jawab Areum jujur.

“Eomma tidak setuju. Kamu bekerja di kafe Ji-Sung saja Eomma sudah tidak setuju, apalagi harus pindah ke Gangnam. Tidak.” Suara Hyerin terdengar tegas, seperti palu keputusan yang tak bisa diganggu gugat.

“Tapi, Eomma… jarak dari Mapo ke Gangnam tidak terlalu jauh. Aku bisa pulang di waktu luangku,” ujar Areum berusaha menahan nada suaranya agar tetap lembut.

Hyerin menoleh cepat, matanya menatap Areum tajam sebelum menggeleng pelan. Tatapan itu menyimpan banyak hal—ketakutan kehilangan, kekhawatiran yang sulit dijelaskan, dan mungkin... trauma yang belum sembuh.

“Kau pikir waktu luang itu pasti ada, Areum? Kau pikir pekerjaan barumu akan memberimu keleluasaan? Ini bukan hanya soal jarak, tapi dunia yang akan kau masuki. Kau belum tahu orang-orang seperti apa yang akan kau temui,” suara sang ibu terdengar getir, seolah menyimpan luka lama yang belum sembuh. Areum terdiam. Ia menunduk, menyadari bahwa ibunya tak sepenuhnya menolak karena tidak percaya padanya, tapi karena ketakutan yang begitu kuat untuk membiarkannya pergi.

“Eomma... aku bukan anak kecil lagi. Aku tahu aku belum sempurna, tapi aku ingin mencoba berdiri sendiri. Aku ingin melakukan sesuatu karena aku mau, bukan karena aku harus,” lirihnya akhirnya.

“Kamu tetap anak kecil di mata Eomma! Jangan pikir hanya karena kamu merasa sudah bisa berdiri sendiri dan dewasa, kamu bisa bertindak semaumu, Areum!” ujar sang ibu dengan nada yang mulai meninggi. Ucapan itu membuat Taesik, yang sejak tadi diam, meletakkan sendoknya perlahan ke atas meja kayu.

“Biarkan dia bicara dulu, Yeobo,” ujarnya pelan, berusaha menenangkan. Tatapan Hyerin beralih padanya, sejenak ragu, sebelum akhirnya menghela napas panjang dan bersandar di kursinya. Areum melanjutkan, suaranya lebih mantap meski masih terdengar rapuh, namun penuh dengan keinginan yang tulus.

“Aku suka bekerja di Park Brew & Soul. Aku belajar banyak di sana. Tapi saat kemarin Minjoon-sajangnim bicara padaku... entah kenapa aku merasa ini jalanku, Appa. Aku merasa seperti... dihargai,” ujar Areum dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Suasana meja makan kembali hening.

“Seperti dihargai bagaimana? Jadi selama ini kamu merasa tidak dihargai?” tanya sang ibu cepat, nada suaranya terdengar lebih tajam dari sebelumnya.

“Bukan seperti itu, Eomma. Maksudku... sepertinya bekerja di sana akan lebih nyaman, apalagi aku bisa mengenal orang baru dan tempat baru yang lebih ramai daripada di sini,” ujar Areum, berusaha menahan nada suaranya agar tidak bergetar.

“Kamu bisa jamin itu bukan jebakan manis dari orang kaya yang iseng? Uri ttal, dunia ini tidak seramah itu... tidak semua orang punya niat baik.” Suara Hyerin kali ini tajam dan sarat kekhawatiran.

“Aku tahu,” balas Areum cepat, kali ini menatap ibunya langsung. “Aku tahu risikonya. Tapi aku akan hati-hati. Aku akan tetap pulang, tetap jadi putri Eomma. Aku cuma... aku ingin mencoba,” ujarnya pelan, tapi penuh tekad.

Hyerin tak menjawab. Ia hanya berdiri, lalu berlalu meninggalkan meja makan dengan langkah cepat. Punggungnya tampak tegar, tapi bahunya sedikit bergetar.

“Sudahlah, biarkan saja. Sekarang pergilah, nanti kamu bisa kesiangan. Kita bicarakan lagi malam nanti,” ujar sang ayah lembut. Areum hanya mengangguk pelan. Ada rasa perih yang mengendap di dadanya—bukan karena ucapan ibunya yang tajam, tapi karena punggung itu pergi tanpa menoleh sedikit pun. Tak ada pelukan, bahkan tak ada tatapan. Dan Areum tahu, itu yang paling menyakitkan.

“Gomawo, Appa,” ucapnya lirih pada Min Taesik yang masih duduk diam, wajahnya tenang namun matanya menyimpan gundah.

“Berhati-hatilah,” itu saja yang dikatakan sang ayah sebelum kembali menyendokkan sup yang kini sudah dingin ke dalam mulutnya.

Areum berdiri, membereskan sedikit mangkuknya sendiri, lalu melangkah keluar meninggalkan rumah. Udara pagi masih lembap, aroma daun pinus bercampur angin dingin menusuk kulitnya. Sepanjang perjalanan menuju café, pikirannya kosong. Ia termenung bahkan hampir melewatkan bus yang datang.

Semua karena satu hal—penolakan sang ibu yang begitu keras terhadap keinginannya untuk hidup mandiri. Ia tahu betapa besar kasih sayang Hyerin padanya, tapi terkadang, cinta seorang ibu bisa terasa... terlalu mengekang.

1
Ramapratama
jangan jangan... adik yang hilang itu di adopsi keluarga Park kah?
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!