Murni, seorang biarawati yang sedang cuti karena ingin menyembuhkan jiwa setelah terganggu mimpi-mimpi buruk yang terus berdatangan, menerima pesan aneh di ponselnya -suara paniknya sendiri yang membuatnya penasaran. Ia mengikuti petunjuk yang membawanya ke sebuah warung makan tua yang hanya buka saat malam.
Di warung itu ia bertemu dengan Mahanta, seorang juru masak pendiam yang misterius. Namun warung itu bukan warung biasa. Pelanggannya adalah jiwa-jiwa yang belum bisa pergi, dan menu makanannya bisa menenangkan roh atau mengirimnya ke dalam kegelapan. Murni perlahan terseret dalam dunia antara hidup dan mati. Ia mulai melihat masa lalu yang bukan miliknya. Meskipun Mahanta tampaknya menyimpan rahasia gelap tentang siapa dirinya dan siapa Murni sesungguhnya, pria itu bungkam. Sampai cinta yang semestinya dilarang oleh langit dan neraka merayap hadir dan mengungkapkan segalanya.
L'oubli (B. Perancis): keadaan tidak menyadari atau tidak sadar akan apa yang sedang terjadi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dela Tan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Season 1 ; Bab 28 — Jiwa Yang Gelisah
“Aku membuat sesuatu untukmu.” Mahanta mengangguk ke arah meja.
Di sana ada sebuah mangkuk tanah liat. Di dalamnya, semacam bubur bening beras ketan, dengan setitik warna keunguan di tengah. Aneh, tapi menguarkan aroma harum.
Murni tertegun. “Untukku? Kau tahu malam ini aku akan datang?”
Mahanta tersenyum tipis, jawaban tanpa kata yang berarti iya.
‘Bagaimana bisa?’ Pikir Murni. ‘Sudah satu minggu aku absen, dan kemarin ketika aku datang, dia malah tidak menunjukkan diri. Tapi hari ini dia tahu aku pasti datang? Apakah dia bisa merasakan emosi seseorang?’
Mahanta menarik kursi yang biasa diduduki Murni, mempersilakan ia duduk di sana.
“Kadang jika emosi itu sangat kuat, ya aku bisa merasakannya.” Ujarnya, seolah tadi Murni bicara keras-keras dan bukan berbisik di dalam hati.
Murni menoleh padanya, yang kini sudah berdiri di sisinya. Dan mendapati lelaki itu tengah memandangnya. Di mata gelap itu… ada sesuatu, entah apa, Murni tidak dapat menerjemahkannya.
Yang ia tahu, kepalanya sontak tertunduk dan pipinya terasa hangat. Untuk menutupi gugup, ia mendengkus.
“Tapi kemarin kau bersembunyi. Padahal ada pengunjung istimewa. Aku menemani dia menumpahkan segala beban di hatinya. Sampai warung hampir tutup, bahkan sampai ketiduran.”
Entah mengapa, itu terdengar seperti protes seorang istri yang mengomel karena harus menemani tamu suaminya.
“Mak… maksudku… bukannya aku mengeluh, tapi…”
“Aku mengerti maksudmu.” Lelaki itu berkata kalem.
“Kau tetap membuka warung, tapi tidak menyajikan apa-apa untuk pengunjung. Apakah itu sering terjadi?”
“Hm, terkadang mereka hanya datang untuk singgah, bukan karena masih memiliki kesempatan untuk kembali.”
“Lalu, makanan ini. Mengapa kau menyajikannya untukku? Aku… manusia hidup, bisakah aku memakannya?”
“Kau bukan manusia biasa, Murni.” Mahanta menatapnya tajam.
“Dan ini menu untuk jiwa yang gelisah,” katanya lagi. “Bukan untuk roh mati. melainkan untuk yang masih hidup... tapi kehilangan arah.”
Murni terdiam. “Kau… mengatakan aku... kehilangan arah?”
Mahanta akhirnya menatap langsung ke matanya. Sekarang Murni bisa menerjemahkan emosi di sana, itu adalah ekspresi sedih. “Kau datang setiap malam. Tapi tak pernah benar-benar tahu kenapa. Kau mendengar bisikan, tapi tak tahu dari mana. Kau mencari seseorang, tapi tak tahu siapa.”
Murni menahan napas. Ia ingin menyangkal, tetapi semua benar. Awalnya ia memang tak tahu mencari siapa, tetapi kini ia tahu, ia datang untuk mencari Mahanta.
Meskipun demikian, mengapa ia datang mencari lelaki itu, selain dari rasa tertarik dan kerinduan yang terus menariknya, ia tak tahu mengapa.
“Lalu kau berhenti datang. Kukira kau sudah menyerah. Aku tidak menyalahkanmu. Sebenarnya itu bahkan lebih baik…”
“Untuk siapa?” Murni memotongnya, “Lebih baik untuk siapa?”
Murni balas menatap Mahanta dengan berani, seolah menantang lelaki itu untuk mengucapkan apa yang sama-sama mereka simpan rapat-rapat. Hal yang ia sendiri tidak memiliki keberanian untuk mengakuinya.
“Untukmu.” Mahanta menjawab singkat.
“Lalu mengapa hari ini kau kembali menemuiku? Setelah kemarin kau bersembunyi! Seharusnya kau abaikan saja aku, supaya aku tidak lagi…”
‘Berharap,’ sambungnya di dalam hati.
“Aku tidak bersembunyi.” Suara Mahanta terdengar lelah. “Kemarin… ada sesuatu. Tapi aku melihatmu tertidur di meja.”
Murni mendongak. Matanya membola.
Apakah itu berarti… sentuhan di pipinya itu nyata?
Namun, ia tidak berani melontarkan pertanyaan itu, karena ia takut kecewa jika ternyata Mahanta menjawab tidak.
“Jadi kau ingin memberiku makanan ini... sebagai apa?”
“Sebagai pengikat.”
“Pengikat?”
Mahanta mengambil seutas benang merah dari balik laci, lalu melilitkannya di sekitar gagang mangkuk.
“Aku membantumu menghapus ragu. Jika kau mau meminumnya, artinya kau menerima bahwa tempat ini sudah memilikimu. Bahwa aku... sudah memilikimu.”
Deg.
Jantung Murni berdentum-dentum.
Ada jeda panjang di udara. Bukan hanya karena kata-kata ambigu itu, tetapi karena cara Mahanta mengucapkannya. Dingin, tapi dalam. Seperti suara sumur purba yang baru mengeluarkan gema setelah beribu-ribu tahun.
“Tapi kau tidak berhak memaksaku memilih,” ucap Murni pelan.
“Aku tidak.”
“Karena kalau aku memilih… mu... aku kehilangan segalanya.”
Mulutnya mengatakan begitu, tetapi sebenarnya Murni tidak yakin akan ucapannya sendiri. Karena jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa ia telah memilih, bahkan sebelum Mahanta memberi pilihan.
Mereka berdiri sangat dekat. Tatapan Murni terpaku pada mangkuk itu. Tangannya hampir menyentuh. Namun, ketika nyaris, ia diselamatkan oleh bunyi lonceng.
Udara mendadak berubah dingin.
Cahaya lilin berkedip.
Dari arah pintu masuk, ada suara langkah diseret. Seseorang berdiri di ambang pintu.
Seorang wanita, wajahnya pucat, matanya keruh. Dia seperti baru selesai menangis, tetapi air matanya kering.
“Kau...” Wanita itu menatap Murni, menunjuknya. “Kau yang berdiri di samping kekasihku. Di detik terakhir. Saat aku melompat... aku melihatmu berdiri di sisinya.”
“Aku... aku tidak tahu maksudmu.” Murni bingung.
“Kami sudah sepakat untuk mati bersama. Mengapa kau muncul?”
Wajah wanita itu mulai retak, seperti porselen tua, mendekat pada Murni seolah ingin mencekiknya. Murni mundur dengan ngeri.
“Kau membuatnya ragu. Dan kini… aku terlunta-lunta sendiri di sini! Sementara kau…” Wanita itu tertawa histeris.
Wanita itu meraung, lengkingannya menyakiti telinga, menggema seperti dua lapis suara tumpang tindih. “Mengapa kau boleh mendapatkan cinta, sementara aku membusuk dalam kehilangan?”
Mahanta berdiri, berusaha menjauhkan Murni dari sosok itu, dan bicara keras. “Dia tidak ada hubungannya!”
Selesai Mahanta bicara, cahaya lilin padam.
Udara mengeras. Lalu... hening.
Wanita itu lenyap. Seperti asap ditiup angin.
Murni terduduk, gemetar.
“Mengapa dia berkata begitu… padahal aku ada di sini… Maha… aku tidak ke mana-mana. Aku bersamamu di sini.”
Mahanta menghela napas dalam, lalu menyalakan lilin dengan jentikan jari, yang terlalu cepat untuk manusia biasa.
“Dia telah terlunta-lunta lama, sangat lama,” katanya pelan. “Seharusnya dia tidak bisa masuk.”
“Kenapa bisa?” bisik Murni.
Mahanta menatapnya lama, sebelum menjawab, “Mungkin karena… jawaban yang kau cari, hampir kau dapatkan.”
Murni menatap lelaki itu. “Benarkah?”
Mahanta mengangguk, hampir tidak ada keraguan. “Aku rasa… itu tidak lama lagi.”
When Spring Ends, I'll See You Again