Lunara Angelita selalu percaya bahwa pernikahannya dengan Halden Nathaniel—pelukis jenius yang menjadi kebanggaan kota kecil mereka—adalah rumah paling aman yang pernah dimilikinya. Lima tahun bersama, lima tahun bahagia… atau setidaknya begitu yang ia yakini.
Hingga pada malam hujan yang sunyi, saat listrik padam, Luna tanpa sengaja menemukan sebuah kanvas tersembunyi di gudang. Dan di balik kain putihnya terpampang wajah perempuan yang seharusnya telah lama hilang dari hidup mereka—Karina, mantan kekasih Halden. Dilukis dengan detail yang hanya diberikan oleh seorang pria pada seseorang yang masih memenuhi hatinya.
Lukisan itu baru. Sangat baru.
Saat Luna menuntut kebenaran, Halden tidak berbohong—tetapi jawabannya jauh lebih menyakitkan dari pengkhianatan.
Melukis, katanya, bukan tentang siapa yang menemani hari-harinya.
Melainkan tentang siapa yang tak pernah benar-benar pergi dari hatinya.
Seketika dunia Luna runtuh.
Apakah selama ini ia hanya menjadi istri di ata
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mga_haothe8, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
"Kehidupan yang Bertambah"
Pagi itu hujan turun pelan, membasahi jendela apartemen dengan irama yang menenangkan. Luna berdiri di depan cermin kamar mandi, menatap pantulan wajahnya yang tampak sedikit lebih pucat namun tenang. Di tangannya, kertas hasil pemeriksaan dari klinik masih terlipat rapi. Ia membukanya sekali lagi, memastikan kata-kata itu tidak berubah.
**Positif.**
Tidak ada keraguan lagi. Tidak ada ruang untuk “mungkin”.
Ia menutup mata, membiarkan napasnya mengalir pelan. Ada getaran halus di dadanya—bukan panik, bukan juga kegelisahan. Ini adalah rasa haru yang utuh, hangat, dan dalam. Kehidupan benar-benar sedang tumbuh di dalam dirinya.
Saat Luna keluar dari kamar mandi, Nathan sudah duduk di tepi ranjang, mengenakan jaket tipis. Ia menoleh begitu melihat Luna, seolah merasakan ada sesuatu yang berbeda dari cara Luna melangkah.
“Bagaimana?” tanyanya hati-hati.
Luna tidak langsung menjawab. Ia mendekat, duduk di hadapan Nathan, lalu menyerahkan kertas itu dengan tangan sedikit bergetar.
Nathan membacanya dalam diam. Alisnya terangkat, lalu matanya membesar pelan. Ia membaca ulang, lalu mengangkat wajahnya, menatap Luna seakan takut berkedip.
“Ini… benar?” suaranya nyaris berbisik.
Luna mengangguk, senyum kecil terbit di bibirnya. “Benar.”
Beberapa detik berlalu tanpa kata. Lalu Nathan tertawa—tawa yang pecah, tak tertahan, bercampur haru. Ia menarik Luna ke dalam pelukannya, memeluknya erat namun segera melonggarkan, seolah baru ingat harus berhati-hati.
“Kita… kita benar-benar akan punya bayi,” katanya, suaranya serak.
Luna mengangguk di dadanya. “Iya.”
Nathan mengusap rambut Luna, lalu pipinya, lalu berhenti, kebingungan antara ingin memeluk lebih erat atau menjaga jarak. “Kamu gimana? Kamu baik-baik saja?”
“Sedikit mual,” jawab Luna jujur. “Dan mudah capek.”
“Mulai hari ini,” kata Nathan tegas namun lembut, “kamu tidak melakukan apa pun yang berat. Aku yang urus.”
Luna terkekeh kecil. “Nathan, aku belum sakit.”
“Belum,” jawab Nathan cepat. “Dan aku ingin memastikan tetap begitu.”
Kabar itu belum mereka sampaikan pada Amara pagi itu. Mereka sepakat menunggu waktu yang tepat—bukan karena ragu, tetapi karena ingin menjelaskannya dengan penuh perhatian.
Nathan mengantar Amara ke sekolah dengan wajah yang nyaris tak bisa menyembunyikan senyumnya. Amara memperhatikan itu dengan kening berkerut.
“Papa kenapa senyum terus?” tanyanya curiga.
“Papa senang,” jawab Nathan sederhana.
“Karena Mama?” Amara menyipitkan mata.
Nathan tertawa. “Karena keluarga.”
Hari-hari berikutnya terasa berbeda—lebih pelan, lebih penuh kesadaran. Nathan menjadi sangat protektif, dengan cara yang hangat dan tidak menyesakkan. Ia memastikan Luna makan tepat waktu, memeriksa apakah ia cukup minum, dan mengingatkan untuk beristirahat meski Luna belum benar-benar lelah.
“Jangan angkat itu,” katanya suatu sore ketika Luna hendak memindahkan kursi.
“Ini ringan,” protes Luna.
“Bagi kamu sekarang, itu berat,” jawab Nathan sambil mengambil alih.
Ia menempelkan catatan kecil di kulkas: *Minum air.*
Ia mengganti belanjaan dengan buah-buahan segar dan makanan hangat. Ia bahkan membaca artikel demi artikel tentang kehamilan, lalu bertanya pada Luna dengan wajah serius, seolah sedang mempersiapkan ujian besar.
“Kamu tahu,” kata Luna suatu malam sambil tersenyum, “kamu tidak harus berubah jadi penjaga sepanjang waktu.”
Nathan duduk di sampingnya. “Aku tidak merasa terpaksa. Aku ingin.”
Luna terdiam, hatinya menghangat.
Minggu itu, mereka kembali ke klinik untuk pemeriksaan lanjutan. Nathan duduk di sebelah Luna, tangannya tak pernah lepas dari genggamannya. Ketika dokter menjelaskan usia kehamilan dan langkah-langkah selanjutnya, Nathan mengangguk-angguk, mencatat dengan teliti.
“Semua terlihat baik,” kata dokter tersenyum. “Masih sangat awal, tapi sejauh ini normal.”
Kata *normal* terasa seperti anugerah.
Di perjalanan pulang, Nathan membeli bunga kecil—bukan mawar, tapi bunga liar sederhana yang ia tahu Luna sukai.
“Untuk apa?” tanya Luna heran.
“Untuk merayakan,” jawab Nathan. “Hal-hal kecil.”
Malam itu, mereka duduk bertiga di ruang keluarga. Amara menggambar, sementara Luna dan Nathan bertukar pandang. Ini saatnya.
“Amara,” panggil Luna lembut.
Amara menoleh. “Ya, Ma?”
“Kamu ingat waktu kamu bilang ingin punya adik?”
Mata Amara langsung berbinar. “Iya!”
Luna tersenyum. “Mama mau bilang sesuatu.”
Nathan menggeser duduknya lebih dekat. “Kamu akan jadi kakak.”
Sejenak, Amara terdiam. Lalu, wajahnya mekar penuh kegembiraan.
“Benar?!” ia hampir melompat.
“Benar,” jawab Nathan.
Amara berlari dan memeluk Luna, lalu berhenti mendadak. “Pelan-pelan,” katanya serius, mengingatkan dirinya sendiri. “Mama ada adik.”
Luna tertawa pelan, matanya berkaca-kaca.
Sejak hari itu, Amara menjadi penjaga kecil. Ia mengingatkan Luna untuk duduk, mengambilkan air, dan meletakkan bonekanya di perut Luna sambil berbisik, “Halo, aku kakak.”
Nathan mengamati semua itu dengan perasaan penuh. Ia sering terbangun di malam hari, bukan karena cemas, tapi karena keinginan untuk memastikan Luna bernapas dengan tenang, Amara tidur nyenyak, dan rumah mereka utuh.
Ada hari-hari ketika Luna merasa emosinya naik turun tanpa sebab. Ia bisa menangis hanya karena melihat foto lama, atau tersenyum lebar hanya karena cahaya sore yang masuk dari jendela. Nathan tidak mencoba memperbaiki atau menenangkan dengan logika—ia hanya hadir.
“Aku di sini,” katanya setiap kali.
Di sela-sela itu, Luna menulis lagi. Bukan tentang masa lalu yang luka, melainkan tentang tubuhnya yang berubah, tentang cinta yang bertumbuh, tentang ketakutan kecil yang datang lalu pergi. Menulis menjadi caranya merawat diri—dan bayi yang sedang tumbuh bersamanya.
Suatu malam, saat hujan kembali turun pelan, Luna duduk di tepi ranjang. Nathan berlutut di hadapannya, menempelkan telinganya ke perut Luna dengan wajah serius.
“Kamu dengar apa-apa?” tanya Luna geli.
“Belum,” jawab Nathan. “Tapi aku ingin dia tahu suara ayahnya.”
Luna mengusap rambut Nathan. “Dia akan tahu.”
Nathan menatapnya, matanya penuh keyakinan. “Aku akan jadi ayah yang baik,” katanya. “Untuk mereka berdua.”
Luna menahan napas, hatinya penuh. “Kamu sudah.”
Waktu terus berjalan, membawa perubahan demi perubahan. Tubuh Luna mulai menyesuaikan diri, rumah mereka mulai dipenuhi rencana-rencana kecil: jadwal, tabungan, ruang tambahan yang akan disulap menjadi kamar bayi.
Namun di balik semua itu, ada satu hal yang paling menonjol—rasa syukur yang tenang. Bukan euforia yang meledak-ledak, melainkan kebahagiaan yang matang, berakar, dan kokoh.
Mereka tahu perjalanan ini tidak akan selalu mudah. Akan ada hari-hari lelah, malam-malam tanpa tidur, dan ketakutan yang tak bisa dihindari. Namun kali ini, mereka melangkah dengan tangan saling menggenggam, dengan cinta yang telah diuji dan dipilih berulang kali.
Dan di tengah rumah kecil itu, kehidupan baru tumbuh—dikelilingi oleh perhatian, kehadiran, dan keputusan-keputusan sederhana yang dibuat setiap hari.
Luna menutup mata, meletakkan tangannya di perutnya, dan tersenyum.
Ia tidak lagi bertanya apakah ia siap. Ia tahu—ia tidak berjalan sendirian.