Amanda Daniella, gadis manis berusia 23 tahun, karena pengaruh obat yang dimasukkan ke dalam gelas minumnya, dia salah masuk kamar. Dia masuk ke dalam kamar yang diisi seorang pemuda berusia 28 tahun, yang merupakan CEO dari perusahaan besar dan sangat berpengaruh. Karena sudah tidak bisa menahan kabut gairah yang sudah menguasainya, akhirnya malam itu dia menyerahkan pada pemuda yang tidak dia kenal sama sekali itu.
Akibat dari kejadian itu, Amanda akhirnya hamil anak kembar. Tapi, dia tidak tahu pada siapa dia mau menuntut tanggung jawab, karena dia sama sekali tidak mengenal laki-laki itu, bahkan wajahnya saja dia tidak ingat sama sekali.
Bagaimana nasib Amanda setelah itu? apakah dia akan bertemu dengan laki-laki ayah dari anak-anaknya yang kebetulan terlahir genius itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rosma Sri Dewi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ardan tidak mau kalah.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Ardan, tanpa menoleh ke arah Amanda.
Amanda yang mendapat sikap dingin Ardan, sudah menganggap hal itu biasa saja. Jadi walaupun Ardan tidak mau menatapnya saat berbicara, Amanda tidak pernah sakit hati. Akan tetapi, jauh di dalam lubuk hatinya, Amanda merasakan getaran bila dekat dengan Ardan. Apalagi seperti sekarang ini, dimana secara tidak langsung Ardan menunjukkan perhatiannya.
"Aku tidak apa-apa kok, Pak." sahut Amanda yang tidak pernah mengganti panggilannya dimanapun dan dalam situasi apapun itu. Sementara Ardan, sebenarnya dia sangat tidak suka jika Amanda masih memanggilnya pak, di luar kantor. Akan tetapi, bibirnya seakan kelu, untuk meminta Amanda untuk mengganti panggilannya.
"Oh," Ardan mangut-mangut.
"Terima kasih, Pak, karena sudah menolongku tadi." ucap Amanda dengan kepala tertunduk, tidak berani menatap Ardan, walaupun dia tahu kalau Ardan juga tidak akan menatapnya.
Ardan hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban, mengira kalau Amanda melihat anggukannya, Sedangkan Amanda mengrenyitkan alisnya, karena dia tidak mendapat balasan, atas ucapan terima kasihnya. "Apa sih susahnya mengucapkan kata iya? padahal au tulus ngucapin terima kasih," gerutu Amanda, yang tentunya hanya bisa dia ucapkan di dalam hati saja.
"Apa laki-laki tadi mantan suamimu?" Amanda menggelengkan kepalanya, sedangkan Ardan sama sekali tidak melihat, Amanda menggelengkan kepalanya. Jadi, dia menganggap kalau Amanda diam saja, berarti 'iya'.
"Kenapa ada laki-laki seperti itu? Yang tega meninggalkan istri dan anak-anaknya." Ardan tanpa sadar mencengkram alat kemudi dengan kencang, seraya menggeram dengan mengigit giginya sendiri.
"Heh?" Amanda sontak menatap bingung ke arah Ardan. "Yang bilang dia mantan suamiku siapa?" gumamnya, tapi tidak bisa didengar oleh Ardan, karena trafic yang sangat macet.
"Apa dia mau minta kamu balik sama dia?" Ardan melirik sekilas ke arah Amanda, dan wajahnya memerah begitu melihat Amanda menganggukkan kepalanya.
"Jadi apa kamu bersedia balik sama dia?"nada suara Ardan kembali sangat dingin
"Tidak,Pak!" sahut Amanda lirih. Sebuah senyuman tipis dan hampir tidak terlihat terbit di bibir Ardan.
"Bagus! seharusnya memang begitu. Dia itu tidak pantas disebut sebagai suami dan ayah. Aku rasa, dia berniat kembali padamu, karena melihat anak-anak kamu dikenal sama semua orang.Jadi dia ingin memanfaatkan itu." tutur Ardan yakin, hingga membuat kening Amanda semakin berkerut.
"Tapi, sepertinya Bapak salah paham. Radit bukan ___"
"Oh, jadi namanya Radit. Apa kamu masih membelanya? aku yakin kalau dugaanku benar." Ardan menyela ucapan Amanda, karena dia sangat tidak suka, Amanda menyebut nama laki-laki yang dia anggap mantan suami Amanda itu.
"Tapi Pak, dia __"
"Dia apa? dia sebenarnya baik? apa matamu buta, Amanda! dia itu sudah menelantarkan kalian bertiga!" suara Ardan mulai meninggi, hingga membuat Amanda menghela napas pasrah.
"Tapi tunggu dulu! kalau dia papanya Aby dan Anin, kenapa mereka tidak ada kemiripan ya?"
"Karena dia memang bukan papanya Aby dan Ardan. Dia itu bukan mantan suamiku!"
Ckittt ....
Ardan me-rem mendadak mobilnya, hingga membuat kepala Amanda hampir terbentur ke dasboard mobil. Untungnya dia menggunakan sabuk pengaman.Kalau tidak, sudah bisa dijamin, kalau kepalanya pasti akan terbentur.
Ardan sama sekali tidak mengucapkan kata 'maaf'. Dia malah melajukan mobilnya kembali.
"Nih orang, anti kali ya ngucapin kata maaf." kesal Amanda. Sayangnya dia hanya berani mengumpat di dalam hati.
"Kenapa tadi kamu jawab 'iya' pas aku tanya dia mantan suamimu?"
"Aku tidak ada jawab 'iya', Pak. Aku menggelengkan kepala. Bapak tidak lihat ya?" Amanda mulai berani menunjukkan kekesalannya.
"Yang salah itu, kamu! aku kan menyetir, jadi gak ada waktu buat lihat kamu mengangguk. Kalau punya mulut itu, difungsikan dengan baik.Jangan jadikan kepalamu menggantikan fungsi mulutmu!" cerocos Ardan, sarkasme.
"Tadi waktu aku bilang terima kasih, Bapak ada jawab nggak?"
"Kan, aku mengangguk tadi.Kamu gak lihat ya?" cetus Ardan.
"Nah tuh, jangan jadikan kepalamu menggantikan fungsi mulutmu." Amanda membalikkan kata-kata Ardan.
"Tetap aja beda. Aku menyetir gak bisa melihat kamu, sedangkan kamu itu gak ngapa-ngapaini, jadi bisa lihat aku kalau lagi bicara!" Ardan tidak mau kalah .
"Aku juga gak selamanya lihat Ba ... pak," Amada yang tadinya bersuara keras, tiba-tiba melemah melihat sorot mata Ardan yang tajam menatapnya seperti ingin menelannya bulat-bulat. Tanpa mereka sadari, ini adalah percakapan mereka yang terpanjang selama ini.
Ardan kembali mengalihkan tatapannya setelah Amanda terdiam. "Jadi, kalau dia bukan mantan suamimu, kenapa dia minta balikan?" Ardan yang merasa tidak puas, kembali mengulik informasi hubungan antara Amanda dengan Radit.
"Dia cinta pertamaku sekaligus pacar pertamaku," Ardan mencengkram kencang, kemudi mobil, begitu mendengar kalau pria tadi adalah cinta pertama Amanda.
"Apa bedanya cinta pertama, dengan pacar pertama?" Ardan berusaha menekan amarah yang dia bahkan tidak mengerti kenapa dia harus marah.
"Bedalah,Pak! Cinta pertama, gak semestinya jadi pacar pertama, demikian juga sebaliknya. Masa itu aja, Bapak gak tahu sih. Bapak gak pernah pacaran ya? makanya jadi orang itu jangan ___" Amanda kembali berhenti berceloteh, meneguk ludahnya kasar, ketika melihat wajah Ardan yang sudah memerah, rahang mengeras dan sorot mata lebih tajam dari sebelumnya.
"Kamu sudah mulai berani ya!"
"Ma-af, Pak! a-aku gak___"
"Sudah, Jangan kamu lanjutkan lagi! asal kamu tahu, dengan melihat wajahku saja, sangat tidak mungkin kalau aku tidak pernah pacaran.Banyak wanita yang ingin menjadi kekasihku."ucap Ardan, penuh percaya diri, mengarah ke 'angkuh'.
"Tapi kenapa,Bapak belum menikah? padahal usia Bapak ...."
"Itu bukan urusanmu! jangan lewati batasanmu!" ketus Ardan, dingin.
"Maaf!" Amanda langsung menundukkan kepalanya.
Ardan menggerakkan ekor matanya melirik ke arah Amanda yang menunduk. Ada perasaan bersalah yang hadir di dalam hatinya, karena sudah ketus pada wanita itu.
Keheningan terjeda cukup panjang di antara mereka berdua. Amanda sekarang lebih memilih untuk diam dan memandang ke luar, menyusuri setiap jalanan yang mereka lewati.
" Apa kamu bercerai dengan suamimu, atau suamimu meninggal?" Ardan bersuara, berusaha memecahkan keheningan yang sempat tercipta.
Ingin rasanya Amanda menjawab, 'bukan urusanmu', seperti yang dilontarkan Ardan tadi.
Amanda menghela napasnya dengan cukup panjang. "Bukan ke__" Amanda tidak jadi memberikan jawaban, karena ponselnya tiba-tiba berbunyi.
Amanda merogoh ponselnya dari dalam tas, dan melihat kalau 'Adam' sedang menghubunginya.
"Halo, Dam!
Ckiiiit ....
Ardan kembali, menghentikan mobilnya secara mendadak, begitu mengetahui kalau yang menghubungi Amanda itu Adam. Hingga membuat Amanda mengaduh karena kaget.
"...."
"Aku tidak apa-apa, Dam. Kamu tenang saja!" sahut Amanda, yang berarti Adam di ujung sana sedang menanyakan keadaan Amanda.
"...."
"Belum! tapi sebentar lagi aku akan sampai di rumah,kok." Ardan, semakin mencengkram alat kemudi, mendengar Amanda dan Adam berbicara, seperti orang yang mempunyai hubungan.
"Ya udah, terima kasih buat tumpangannya tadi, bye!" Amanda memasukkan kembali handphonenya ke dalam tas, setelah panggilannya dengan Adam selesai. Amanda menoleh ke arah Ardan yang menatapnya dengan sorot mata yang tajam.
"Lain kali, kalau di dalam mobil tidak bisa mengangkat telepon!" ketus Adam.
"Tapi, aku kan tidak lagi mengemudi, Pak. Jadi tidak akan ada bahaya yang terjadi."
"Aku bilang tidak boleh, ya tidak boleh, kamu ngerti nggak?!" suara Adam mulai meninggi, hingga membuat Amanda terjengkit kaget.
Di saat bersamaan, ponsel Ardan berbunyi, dan Ardan langsung menjawab, karena yang menghubunginya itu Rio.
"..."
"Ya, bagus!" Ardan tersenyum senang,karena Rio mengabari, kalau asisten sekaligus sahabatnya itu, sudah mengatur kepindahan Adam.
"Bukannya, Bapak tadi bilang kalau tidak boleh mengangkat __"
"Aku beda dengan kamu. Ini harus diangkat karena hal yang penting. Sedangkan kamu, tidak ada kepentingan sama sekali."
Amanda menghembuskan napasnya dengan cukup panjang, berusaha menekan kekesalannya.
"Dasar sinting! mau menang sendiri!" umpatnya dalam hati.
Tanpa terasa mereka sudah tiba di kediaman Bagaskara. Amanda sudah melepaskan sabuk pengaman, dan bersiap membuka pintu mobil.
"Tunggu! mulai besok, kamu harus menggunakan lift VIP. Jangan pakai Lift buat karyawan! kamu mengerti. Jangan GR dulu, aku hanya mau kamu tidak perlu menunggu lama lift terbuka, bila menggunakan lift karyawan, dan supaya kamu bisa cepat sampai di mejamu.
"Tapi, besok kan weekend, Pak. Kantor libur! sahut Amada
"Hari Senin! masa itupun harus kamu protes!" Ardan memasang muka garang.
"Dan satu lagi, sini nomor kamu!" Ardan menyerahkan ponselnya, agar Amanda mengetikkan sendiri nomornya di handphone Ardan.
"Ayo, ketikkan!" Amanda menerima handphone Ardan dengan kening yang berkerut bingung. Setelah selesai, dia pun mengembalikan ponsel itu, dan Ardan langsung menyimpan kontak Amanda.
"Kami jangan GR ya! aku meminta nomor kamu, supaya bisa lebih cepat kalau aku membutuhkan sesuatu." ujar Ardan sembari memasukkan ponselnya ke dalam saku celana.
"Tapi kan ada wireless __"
"Udah jangan banyak bicara! ayo keluar!" Ardan membuka pintu mobilnya dan keluar.
"Dasar psikopat!" umpat Amanda, dengan tangan ingin terayun ingin mencekik Ardan.
Tbc