Raka secara tak sengaja menemukan pecahan kitab dewa naga,menjadi bisikan yang hanya dipercaya oleh segelintir orang,konon kitab itu menyimpan kekuatan naga agung yang pernah menguasai langit dan bumi...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mazhivers, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 32
Raka mengenakan Mahkota Naga Agung di kepalanya dengan hati-hati. Saat mahkota itu menyentuh rambutnya, ia merasakan gelombang kebijaksanaan dan kekuatan magis yang tenang mengalir ke dalam dirinya. Pikirannya terasa lebih jernih, dan ia merasakan pemahaman yang lebih dalam tentang Kitab Dewa Naga dan Pedang Sinar Naga.
Ia juga mendapatkan gambaran samar-samar tentang lokasi artefak suci terakhir yang mereka butuhkan: sebuah permata yang berkilauan, tersembunyi di jantung pegunungan es di utara.
"Aku tahu ke mana kita harus pergi selanjutnya," kata Raka dengan suara yang lebih mantap dari sebelumnya. "Ada permata suci yang tersembunyi di pegunungan es di utara. Permata itu pasti akan memberikan kita kekuatan terakhir yang kita butuhkan untuk menghadapi Kaldor."
Maya, Sinta, dan Kakek Badra saling pandang dengan tekad yang sama. Perjalanan mereka telah membawa mereka melintasi hutan, lautan, dan gunung, dan kini tujuan akhir mereka semakin dekat.
"Pegunungan es?" tanya Maya dengan nada sedikit terkejut. "Bukankah di sana sangat dingin dan berbahaya?"
Raka mengangguk. "Begitulah yang aku lihat dalam penglihatanku. Tapi permata itu adalah artefak terakhir yang kita butuhkan. Aku yakin itu akan memberikan kita kekuatan yang cukup untuk menghadapi Kaldor."
Sinta mengerutkan kening. "Bagaimana kita akan sampai ke sana? Kita berada di sebuah pulau di timur. Pegunungan es pasti sangat jauh di utara."
Kakek Badra menghela napas. "Perjalanan kita memang masih panjang, Nak Sinta. Kita perlu kembali ke daratan utama dan mencari cara untuk melakukan perjalanan ke utara. Mungkin ada kapal yang bisa kita tumpangi, atau kita harus mencari jalur darat melalui hutan dan pegunungan."
Raka menyentuh Mahkota Naga Agung di kepalanya. "Mahkota ini memberikan gambaran yang lebih jelas tentang peta dunia di benakku. Aku melihat ada jalur sungai yang membentang dari dekat sini menuju ke arah barat laut, mendekati pegunungan es. Mungkin kita bisa menyusuri sungai itu dengan perahu."
"Perjalanan sungai bisa berbahaya," kata Kakek Badra dengan nada khawatir. "Kita tidak tahu apa yang mungkin kita temui di sepanjang sungai."
"Tapi itu mungkin cara tercepat untuk mencapai utara," timpal Maya. "Kita tidak punya banyak waktu. Kaldor pasti sedang mempersiapkan diri untuk menghadapi kita."
Raka menatap teman-temannya dengan tekad.
"Kita akan mengambil risiko itu. Kita akan mencari perahu dan menyusuri sungai menuju pegunungan es. Dengan semua artefak suci yang telah kita kumpulkan, aku yakin kita akan berhasil."
Sinta mengangguk setuju. "Aku ikut denganmu, Raka. Kita sudah sejauh ini, aku tidak akan menyerah sekarang."
Maya menggenggam tangan Raka. "Aku juga. Kita akan menghadapi Kaldor bersama-sama, apa pun yang terjadi."
Kakek Badra tersenyum lembut melihat semangat mereka. "Baiklah kalau begitu. Kita akan mencari jalan menuju sungai itu dan memulai perjalanan kita ke utara. Ingatlah selalu pesan dari penjaga mata air suci. Keberanian sejati bukan hanya tentang kekuatan, tetapi juga tentang hati yang murni dan tekad yang kuat."
Dengan keputusan bulat, mereka bersiap untuk meninggalkan pulau itu dan memulai perjalanan mereka yang terakhir menuju pegunungan es di utara, tempat permata suci terakhir menanti dan pertarungan akhir melawan Kaldor semakin mendekat.
Setelah beristirahat sejenak di pantai Pulau Seribu Naga, mereka mulai mencari jalan yang akan membawa mereka kembali ke peradaban dan sungai yang dilihat Raka dalam penglihatannya. Mereka menyusuri hutan lebat, kali ini dengan keyakinan yang lebih besar berkat Mahkota Naga Agung yang dikenakan Raka.
"Apakah mahkota ini memberimu gambaran yang lebih jelas tentang arah sungai itu, Raka?" tanya Maya, sambil berusaha menjaga langkahnya di antara akar-akar pohon yang melintang.
Raka mengangguk. "Ya, aku melihat alirannya menuju ke barat laut pulau ini. Sepertinya ada muara sungai tidak jauh dari sini."
Ia menunjuk ke arah yang dituju. "Kita harus melewati hutan ini untuk mencapainya."
Saat mereka berjalan, Sinta tiba-tiba berhenti dan menunjuk ke tanah. "Lihat! Jejak kaki lagi! Tapi kali ini berbeda."
Mereka mendekat dan melihat jejak kaki yang lebih besar dan lebih dalam dari jejak makhluk berkaki tiga yang mereka temui sebelumnya. Jejak itu juga disertai dengan bekas seretan yang panjang di tanah.
"Ini pasti jejak naga air," kata Kakek Badra dengan nada khawatir.
"Mereka bisa sangat berbahaya jika merasa wilayahnya terganggu."
"Kita harus berhati-hati dan menghindari kontak dengan mereka," sahut Raka.
"Tujuan kita adalah sungai, bukan mencari masalah di sini."
Mereka melanjutkan perjalanan dengan lebih waspada. Suara gemericik air yang semakin keras menandakan bahwa mereka semakin dekat dengan sungai yang mereka cari. Tak lama kemudian, mereka tiba di tepi sungai yang cukup lebar dan airnya tampak tenang. Sungai itu mengalir ke arah barat laut, persis seperti yang dilihat Raka dalam penglihatannya.
"Kita berhasil menemukannya!" seru Maya lega. "Sekarang kita hanya perlu mencari perahu."
Mereka menyusuri tepi sungai, berharap menemukan perahu yang bisa mereka gunakan. Setelah berjalan cukup jauh, mereka melihat sebuah gubuk kecil di tepi sungai yang tampak seperti tempat tinggal seorang nelayan. Beberapa jala tergeletak di depannya, dan sebuah perahu kecil tertambat di dekatnya.
Kakek Badra melangkah maju dan mengetuk pintu gubuk itu. Tak lama kemudian, seorang lelaki tua dengan wajah keriput dan tatapan mata yang ramah membuka pintu.
"Salam sejahtera," kata Kakek Badra dengan sopan.
"Kami adalah musafir yang sedang mencari perahu untuk melakukan perjalanan menyusuri sungai ke arah utara."
Lelaki tua itu menatap mereka dengan tatapan ingin tahu. "Perjalanan ke utara? Sungai ini bisa berbahaya, Tuan. Banyak jeram dan riam di sepanjang alirannya. Dan konon, ada makhluk-makhluk sungai yang ganas yang menghuni perairan ini."
"Kami bersedia membayar dengan layak untuk menyewa perahu Anda," kata Raka, mengeluarkan beberapa keping uang perak dari sakunya.
Mata lelaki tua itu berbinar melihat uang perak itu. Setelah bernegosiasi sebentar, ia setuju untuk menyewakan perahunya kepada mereka. Ia juga memberikan beberapa dayung dan perbekalan makanan untuk perjalanan mereka.
Setelah mengucapkan terima kasih kepada lelaki tua itu, mereka bertiga menaiki perahu dan mulai mendayung menyusuri sungai ke arah utara. Pemandangan di sepanjang sungai sangat indah, dengan hutan lebat yang menjulang tinggi di kedua sisinya dan berbagai macam satwa liar yang sesekali terlihat di tepi sungai.
Saat hari mulai sore, mereka melihat sekelompok monyet besar dengan bulu hitam legam sedang meminum air di tepi sungai. Tiba-tiba, salah satu monyet itu melihat mereka dan mulai berteriak-teriak dengan nada marah. Monyet-monyet lainnya ikut berteriak dan melemparkan buah-buahan dan ranting-ranting ke arah perahu mereka.
"Sebaiknya kita cepat pergi dari sini sebelum mereka menyerang kita," kata Sinta panik, mendayung lebih cepat.
Mereka berusaha mendayung secepat mungkin menjauhi kelompok monyet itu. Namun, tiba-tiba dari dalam air sungai muncul beberapa ekor buaya besar dengan mata yang mengawasi mereka dengan lapar.
"Buaya!" seru Maya ketakutan. "Kita harus berhati-hati!"
Buaya-buaya itu mulai berenang mendekati perahu mereka dengan gerakan yang cepat. Raka dengan sigap menghunus Pedang Sinar Naga, bersiap untuk melawan jika diperlukan. Cahaya putih kebiruan pedang itu tampak menakutkan bagi buaya-buaya itu, dan mereka menjadi sedikit ragu untuk mendekat.
Namun, salah satu buaya yang terbesar dan tampak paling ganas tiba-tiba menerjang perahu mereka dari samping, mencoba menggulingkannya. Perahu oleng hebat, dan Raka, Maya, Sinta, dan Kakek Badra hampir terjatuh ke dalam air.
"Kita harus melawannya!" seru Raka, menebaskan pedangnya ke arah buaya itu. Cahaya pedang itu mengenai sisi tubuh buaya, membuatnya mengaum kesakitan dan menyelam kembali ke dalam air.
Buaya-buaya lainnya tampak ketakutan melihat kekuatan pedang itu dan perlahan-lahan menjauh dari perahu mereka. Mereka bertiga menghela napas lega, selamat dari bahaya yang tiba-tiba itu.
"Sungai ini memang berbahaya," kata Kakek Badra dengan nada serius. "Kita harus selalu waspada."
Mereka melanjutkan perjalanan menyusuri sungai, dengan Raka yang selalu siap dengan Pedang Sinar Naganya. Malam pun tiba, dan mereka memutuskan untuk beristirahat di tepi sungai. Mereka membuat api unggun kecil untuk menghangatkan diri dan mengusir binatang buas.
Saat mereka sedang makan malam dengan tenang, tiba-tiba mereka mendengar suara langkah kaki yang mendekat dari arah hutan. Mereka bertiga langsung waspada dan mengawasi sekeliling. Sesaat kemudian, dari balik pepohonan muncul beberapa sosok berjubah hitam, jumlahnya lebih banyak dari yang pernah mereka hadapi sebelumnya. Di barisan depan, berdiri Zyra dengan senyum licik di wajahnya.
"Kukira kalian akan mencoba bersembunyi di sungai," kata Zyra dengan nada mengejek.
"Sayangnya, kami lebih pintar dari yang kalian kira."