NovelToon NovelToon
Spiritus

Spiritus

Status: tamat
Genre:Bullying dan Balas Dendam / Tamat
Popularitas:5.1k
Nilai: 5
Nama Author: Sayakulo

Jam tiga pagi, seorang lelaki dilempar ke kursi taman atas dosa yang bukan salahnya, seorang gadis telah jatuh hati dan sang pengagum iri.

Tinju melayang dan darah mengalir, sang lelaki hampir mati...

Namun!

Muncul iblis. Hitam emas. Sekali pukul dan sang pengagum terjatuh.

Siapakah sosok ini?

*mengandung kekerasan
*update setiap Senin & Kamis (20.00 WIB)

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sayakulo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Akhir dari Spiritus I

Ya. Mereka telah melarikan diri.

Tentu, sebagaimana diriku mengingat bagaimana kisah ini dimulai, Godai Hasairin juga mengingat runtutan kejadian yang berakhir sebagaimana rupa. Toh, bagaimana dirinya bisa lupa ketika matanya terlekat kepada rekaman dari kejadian nahas itu yang menimpanya.

Seorang lelaki sedang dipukuli oleh dua orang tidak dikenal, yang kemudian diketahui sebagai sang almarhum, Kasa Ster, anak dari Hana Himitsu, aktris dari film Spiritus.

Diri itu, seorang lelaki yang di awal cerita menghukum Godai atas ‘dosa-dosa’nya yakni seorang gadis yang memincut hatinya tak menyukai ia kembali, sedang gadis itu tertuju kepada Godai Hasairin. Kini, di akhir cerita, sang lelaki itu telah berakhir dua meter di bawah, dan beberapa waktu sebelumnya, beberapa centimeter di atas lantai dan mengayun kiri-kana mengikuti tiupan angin pendingin ruangan.

Sebelum penyerahan dirinya terhadap hidup, ditinggalkan olehnya sebuah surat terakhir kepada orang-orang yang dicintainya dengan segala kebohongan-kebohongan yang telah dituliskan olehnya, ya, itulah kenyataannya. Dirinya telah menciptakan sebuah malaikat gadungan—jadi-jadian—dan mempersembahkan itu sebagai fakta yang tak dapat dibantah.

Seorang lelaki bernama Kasa Ster yang tadinya berada di atas dirinya, di atas segalanya, kini berada di tempat paling bawah diantara semuanya. Di saat yang lainnya masih menginjak tanah, ia sudah menjadi bagian dari tanah.

Begitulah nasib dari seorang lelaki yang terlalu tinggi, sehingga ketika ia sadar bahwa ia tak setinggi harapannya, ia memilih untuk masuk ke dalam tanah.

Sedang, satu lainnya, seorang yang pernah berada di atasnya, kini berada di bawah, di lantai, direbahkan di lantai. Itulah yang diketahui oleh Godai sesaat sebelum dirinya berpindah dan meninggalkan anak bintang dua yang kehilangan kesadaran dan hidungnya patah (lagi). Sama halnya dengan Kasa yang dahulu terlalu tinggi dan sadar secara mandiri, lelaki yang bernama Indra ini disadarkan oleh orang lain.

Berkat seorang gadis bernama Ryusei Dhien, dirinya mampu disadarkan akan posisinya, yaitu dirinya takkan selalu di atas, takkan selalu dapat menguasai dan meminta orang untuk bertindak sesuai keinginannya, dan memaksakan kehendaknya hanya akan berakhir dengan dirinya yang berada di bawah. Menjadi lebih bawah, menjadi hina.

Sebatas itulah yang diketahui oleh Godai, kedua lelaki yang bernama Indra dan Kasa telah dipindahkan dari posisi mereka, ibarat roda yang berputar, mereka kini berada di bawah, tetapi apakah ini berarti Godai yang terdahulu berada di bawah—kini menjadi di atas?

Apakah ia ‘menang’?

Atau selayaknya seorang yang berada di atas, dirinya tak jauh berbeda dengan mereka yang sebelumnya di atas? Seorang penindas?

“Akibat dari kejadian ini bukan salah lu, Godai,” sebut sang gadis yang bernama Ryusei Dhien sembari memberi segelas air putih, “mereka sendiri yang milih begitu.”

Panggilan dari orang lain ini memecahkan dunia yang Godai sedang dalami, dunia milik ia sendiri yang berpikir mengenai apa yang telah terjadi, apa selanjutnya, dan bagaimana kedepannya. Di sini ia sadar bahwa dunia ini hancur dan dunia sebetulnya ialah sebuah kamar.

Kamar putih bersih dengan aksen hijau tumbuhan, natural, naturalis. Kamar yang jelas bukan miliknya, lantas milik siapa?

Tak lain dari sang gadis, dan untuk seorang gadis yang memiliki motor dengan kapasitas mesin nyaris sebesar mobil (hanya 100 cc bedanya) desain kamar ini sangat tidak mencerminkan dirinya. Namun begitupun juga dengan tampangnya yang terlihat begitu baik dan halus tetapi di bawahnya ialah seorang pribadi dengan kepribadian sekeras besi. Juga kekuatannya dan kemampuannya dalam pertarungan dapat dicatat sebagai sebuah hal yang tak disangka darinya.

“Tapi harus begini jadinya!?”

Sang gadis masih begitu tenang di hadapan seorang lelaki yang meledak, “itu bagian dari tanggung jawab mereka, Godai. Dan mereka milih begitu,” jelasnya, “Kasa milih gantung diri, dan Indra milih untuk nyerang lagi.”

“Dhien.” panggilan itu juga perintah untuk diam dan mendengarkan, “lu enggak liat apa efek dari kejadian ini nanti? Ke gue, ke mereka, ke sekolah kita?”

“Kalau di lu, gue yakin enggak bakal banyak masalah, tapi itu udah jadi tanggung jawab buat Kasa, terutama reputasinya yang jadi anak artis, si Indra pun juga. Biarpun cuma enggak seterkenal Kasa, tetep bakal jadi bahan bicaraan dia diantara keluarga AD,” itulah penjelasan kepada dua orang yang telah memilih tindakan perundungan, lalu dilanjutkan dengan nasib dari sekolah, “sedangkan kalau buat sekolah, ya itu udah tanggung jawab mereka. Salah mereka kalau mereka enggak tau—atau barangkali enggak mau tau—tentang peristiwa ini yang kejadian diantara anak-anaknya.”

“Jadi lu mikir si Kasa bunuh diri ini enggak masalah??”

“Jadi lu enggak masalah kalau korbannya Kasa enggak cuma lu doang?”

Pertanyaan yang dibalas dengan pertanyaan.

Gimana kalau misalkan, bukan Kasa, tapi malah korbannya dia yang bunuh diri, menurut lu gimana, Godai?

“Kira-kira pilihan mana yang lebih lu pilih?”

Siapa yang mampu menjawab pertanyaan demikian?

“Pastinya ada cara lain,” dalih Godai.

“Dan itu gimana?”

Solusi tak pernah diberikan olehnya.

“Mau kita ajak ngobrol?” solusi pertama itu dari Dhien, “tapi kenyataannya kan mereka enggak bisa diajak ngobrol.” Kemudian solusi kedua muncul, “Mau coba dilawan?” kedua tangannya diangkat dan memasuki posisi bertarung, “tapi lu sendiri enggak mau ngelawan. Lu malah lebih milih untuk dipukulin sampai biru, sampai berdarah bahkan. Lu cuma jadi samsak tinju aja buat mereka.”

Apapun solusi lu itu, Godai, gue yakin enggak bakal lu jalanin sih.

“Karena pada dasarnya aja lu itu enggak mau ngelawan.”

Godai meminum seteguk air putih yang telah disediakan.

“Tuh, udah gue kasih kesempatan buat ngebantah dan lu malah minum—malah enggak ngejawab.”

Sama halnya, sang lelaki tak menanggapi pernyataan demikian.

“Jawab deh, Godai, tolong dijawab,” pinta Dhien, “perasaan lu itu gimana sih? Tentang kejadian ini dan nasib dari tiga orang itu?”

“Jelas…”

“Jelas apa?” tanya Dhien, lalu diikuti dengan perintah, “Godai tolong kalau mau ngomong sama gue, tolong matanya ke gue, jangan ke tempat lain.”

Tak mampu melihat lawan bicara ialah indikasi dusta.

Pernyataan ini dibantah dengan tatapan mata Godai yang bertemu dengan Dhien—mata ke mata, empat mata.

“Gue enggak seneng,” jawabnya, “tapi gue juga enggak sedih.”

“Gimana itu maksudnya?”

“Enggak ada sama sekali yang gue dapet dari kejadian ini.”

“Enggak dapet?” sarkas Dhien, “emang betul enggak ada yang lu dapet, Godai. Tapi ada hal yang ‘dikembalikan’ ke lu, iya enggak?” tanya sang gadis. “Kebebasan lu sebagai seorang manusia itu dibalikin. Dan lu enggak perlu lagi jadi samsak buat itu bertiga.”

“Tapi apa perlu kebebasan gue ini dibayar pake nyawa?” balas tanya Godai.

“Lho, masalah nyawa itu kan mereka sendiri yang sukarela ngambil, bukan lu yang ngambil.”

“Tapi, pastinya gue itu alasan dari kenapa Kasa ngambil nyawanya.”

“Alasan Kasa ngambil nyawanya itu karena dia ketahuan. Busuknya kecium,” itu jawaban yang benar menurut Dhien. “Ditambah dia nyoba bikin kalau kematiannya ini karena orang luar—jijik. Menjijikkan. Manusia hina!”

Dan.

“Misalkan lu mikir kalau kematian Kasa nanti bakal jadi beban buat lu, gue jamin enggak bakal. Toh jelas-jelas ada buktinya kalau Kasa ini pernah mukulin lu. Kira-kira dengan kondisi ini dan bukti begini, masih ada orang logis yang mau ngedukung Kasa?”

Pastinya enggak. Kecuali ada orang gila yang udah fanatik mati-matian.

“Nih, Godai,” panggil Dhien, “gue janji, gue yakinin kalau misalkan ada orang fanatik begitu yang mau nyerang lu, atau apapun itu dari kasus ini yang bisa jadi bahaya ke lu, bakal gue selesaikan. Sampai tuntas.”

“Lu buat apa begitu?”

“Karena gue mau.”

“Buat apa begitu buat orang lemah kayak gue?”

“Karena lemah—kalau lu anggap diri lu lemah.”

“…Iya, betul. Gue lemah.”

Saking lemahnya gue enggak bisa apa-apa.

Plak!

“Lu jangan coba lari dari pembicaraan ini, Godai Hasairin,” perintah sang gadis yang baru saja menampar sang lelaki. “Jangan lu pake alasan lu lemah atau apapun itu yang merendahkan lu. Kalau lu begitu yang ada gue enggak bakal ngelindungin lagi. Buat apa gue ngelindungin orang yang enggak tau namanya terima kasih setelah udah dilindungin? Di satu sisi malah lu yang jadinya lebih hina daripada mereka.”

Yah, enggak sama hinanya sih, tapi sama-sama hina. Dan gue enggak mau orang yang gue bantu malah tambah hina karena bantuan gue.

“Gue di sini demi ketertiban, demi kenyamanan, gue enggak di sini buat nambah masalah yang semestinya enggak jadi masalah asalkan orang-orang yang terlibat mau maju, bukannya nyerah.”

Demikianlah tujuan Ryusei Dhien, “jadi.”

Pilih, Godai Hasairin.

Apakah dirinya memilih untuk maju, atau tidak.

Dua pilihan, dengan konsekuensinya masing-masing.

Telah dilihat dari kasusnya, bahwa orang-orang yang bernasib sama dengannya akan selalu ada. Orang-orang bawah yang ditindas oleh yang atas. Dirinya telah merasakan dalam posisi demikian, dan dengan bantuan orang yang tepat, ia dapat keluar dari kondisi demikian, dan menyetarakan apa yang sebelumnya berbeda tinggi.

Intinya ialah masalah terselesaikan, bagaimana reaksi dari mereka yang diturunkan itu tergantung tiap orang.

Dan sebagaimana dikatakan, hal demikian akan selalu ada.

Apakah dirinya masih mau menjadi korban, atau tidak.

Apakah dirinya secara tidak langsung merelakan mereka-mereka yang akan menjadi bakal korban, dirundung oleh para pelaku-pelaku yang dikemudian hari akan melahirkan orang-orang sepertinya. Orang-orang yang menyerah. Sedangkan dirinya ini dahulu adalah seorang pemenang. Juara satu lomba bela diri provinsi.

Selama ini dirinya tak mau melawan dengan alasan takut akan kejadian yang terulang, akan lima orang yang mati akibat dari kebrutalannya dalam menyerang. Namun, gadis ini telah menunjukkan bahwa agar dirinya tidak diperlakukan demikian, dibutuhkan kekuatan sebagaimana rupa. Agar ia tak disakiti, ia harus menyakiti kembali mereka yang menyakitinya.

Seketika ia teringat, pukulannya di kala itu, perasaannya di kala itu.

Ketika seorang senior tahun ke-3 menjadi saksi akan amarahnya.

Dan ketika meja akrilik yang tebal menjadi korbannya.

Apakah dirinya masih mau menjadi orang seperti itu? Orang yang karena tak mampu melawan, melepaskan kekesalannya ini kepada mereka yang tak bersalah. Bukankah dengan analogi demikian, dirinya ini sama seperti mereka yang merundungnya?

Sebuah lingkaran setan.

Dari korban menjadi perundung.

Demi tidak berkonflik, dirinya menciptakan konflik di tempat lain.

Seluruh pemikiran ini bergejolak di dalam sanubarinya.

Hingga.

“Gue mau maju,” jawabnya.

Gadis itu tersenyum, “Bagus.”

Gadis itu berdiri dari duduknya, dan berjalan menuju sang lelaki.

Mendekat.

Mukanya terlihat begitu cantik.

Mendekat.

Kulitnya tak putih, tetapi tak hitam juga, perpaduan kulit biasa—normal warnanya.

Begitupun juga dengan hitam rambutnya—rambutnya begitu halus, begitu lurus, begitu panjang.

Hingga terlalu dekat.

Sedang, matanya juga begitu selaras dengan hitamnya rambut. Apakah pernah matanya begitu mempesona seperti ini?

“Misi, Godai.” Ternyata ia hanya melewati sang lelaki.

Entah mengapa muka sang lelaki memerah.

Krieek.

Sebuah pintu telah terbuka di belakangnya, pintu lemari dari suaranya.

“Godai,” mata mereka bertemu, “mata tutup.” perintahnya begitu.

Sehingga ia pun mengikuti permintaan itu.

Apa yang akan terjadi?

Sebuah pemikiran terlintas—tetapi mukanya tambah panas memikirkan itu—dan semakin erat ia tutup matanya.

Apakah gadis ini akan…

Cantik pula…

Krieek.

Pintu tadi ditutup kembali.

Jleb.

Sesuatu menutupi kepalanya.

“Jangan buka dulu,” perintahnya kembali, “kalau lu buka, gue colok itu mata.”

Sang lelaki semakin erat menutup, sampai keningnya mengkerut.

Kepalanya diputar, ia rasakan tangan sang gadis memandu arah ia melihat.

“Oke, buka.”

Sebuah cermin.

Sebuah cermin yang memandang cermin.

Cermin di depannya mencerminkan seluruh tubuhnya, sedang cermin di dalam cermin itu hanya mencerminkan apa yang dicerminkan.

Warnanya cermin di dalam itu ialah silver—iridium.

Ingatan itu pun kembali.

Makhluk itu kembali.

Dirinya lah makhluk itu.

Itu berarti makhluk itu nyata.

Nyata.

Makhluk yang dilihatnya di jam 3 pagi itu nyata.

Dan ia muncul kembali di ruangan gadis yang bernama Ryusei Dhien.

“Kuharap kerjasamanya, Godai Hasairin.”

Demikianlah kisah dari sepasang sejoli ini.

Permulaan, lebih tepatnya.

1
laesposadehoseok💅
Terperangkap di dalamnya
87K: betul kak, dianya ditelan sama tiang listrik.

Makanya kata mama, jangan main keluar di jam tiga pagi(⁠.⁠ ⁠❛⁠ ⁠ᴗ⁠ ⁠❛⁠.⁠).
total 1 replies
Nurqaireen Zayani
Makin penasaran! 🤔
87K: Makasih kak, semoga kakak makin kepo sama ceritanya(⁠・⁠∀⁠・⁠)
total 1 replies
∠?oq╄uetry┆
Ngakak parah!
87K: Halo kakk, semoga kakak terhibur, kalau boleh tau bagian mana ya yang bikin kakak ngakak◉⁠‿⁠◉
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!