dendam adalah hidupnya. Melindungi adalah tugasnya. Tapi saat hati mulai jatuh pada wanita yang seharusnya hanya ia jaga, Alejandro terjebak antara cinta... dan balas dendam yang belum usai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rii Rya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
eps 30.
Suasana di sekitar mereka bertiga mendadak hening.
Elena berdehem singkat saat melihat ekspresi tegang kedua laki-laki yang tampak menyimpan bara satu sama lain.
"Kalian saling kenal?" tanya Elena dengan rasa penasaran yang membuncah.
Damian tersenyum tipis. "Ya, hanya kenal. Tidak terlalu penting untuk dibahas. Mari ikut saya. Ruangan untuk melukis ada di sana," ujarnya sembari menunjuk ke arah belakang Elena dan berjalan lebih dulu.
Elena sempat menoleh ke belakang, menatap Alejandro, sebelum Damian kembali memanggilnya.
"Cih. Dia masih sombong seperti dulu. Dan... gaya berpakaiannya? Seperti pria kuno," cibir Alejandro.
Namun, Alejandro tidak pergi ke mana pun. Ia tetap menunggu Elena hingga gadis itu selesai dengan pekerjaannya.
Dengan kedua tangan di dalam saku celana, ia berjalan mengamati isi sasana tinju tersebut, sesekali menyentuh beberapa piala dan sabuk yang tergantung rapi di dinding berwarna putih itu.
"Jangan sentuh benda itu dengan tangan kotor mu."
Alejandro menoleh ke arah suara. Damian melangkah mendekatinya dengan wajah datar yang di mata Alejandro terlihat sangat mengesalkan.
Alejandro tertawa kecil, lalu mengambil salah satu sabuk tinju di depannya dengan gerakan santai, seolah tak menghiraukan peringatan Damian.
"Aku hanya ingin memastikan... ini asli atau imitasi," ucapnya, nada suaranya mengejek.
"Tak kusangka kita bertemu dengan cara seperti ini. Kau masih sombong seperti biasa, tapi kali ini, aku pastikan kau akan menyesalinya," Damian mengeluarkan sebatang rokok, menyalakannya, dan menyesap dalam-dalam.
"Aku tahu kau paham, apa tujuanku merekrut Elena bekerja di tempat ini," tambah Damian lagi.
"Sayangnya kau terlambat, Damian. Elena tidak semudah itu percaya pada orang baru, sekalipun kau adalah bosnya." Alejandro melangkah lebih dekat. Jarak mereka kini hanya tersisa satu pijakan.
Damian membuang rokoknya yang masih utuh dan menginjaknya. Ia menatap tajam saat Alejandro lancang menyeka bahunya.
"Ingat. Elena bukan trofi yang bisa kau menangkan. Dia adalah alasan mengapa aku masih hidup di dunia yang kotor ini," ucap Alejandro dengan penekanan dan ketegasan di setiap kata.
Seketika atmosfer memanas. Keduanya sama-sama mengepalkan tangan di dalam saku celana.
Damian terpancing emosi saat Alejandro menatapnya dengan sorot yang sama seperti saat dirinya dulu tergeletak tak berdaya di atas ring.
Tiba-tiba, Damian menyerang. Alejandro menghindar secepat kilat. Ketegangan pecah. Emosi yang terpendam meledak, membuat suasana dalam sasana menjadi heboh.
Beberapa orang yang berlatih langsung menghentikan aktivitasnya dan menonton duel sengit antara Alejandro dan pemilik sasana tempat mereka belajar yaitu Damian.
"Masih secepat dulu rupanya," Damian tergelak dan kembali menyerang.
Sialnya, wajah Alejandro terkena pukulan keras.
Sebuah benda hitam terjatuh tepat di kaki Damian. Ia membungkuk dan memungutnya.
"Bukankah ini... alat bantu pendengaran?" Damian menaikkan sebelah alis, menatap wajah Alejandro yang terlihat gelisah.
Alejandro melihat ke sekeliling. Hening. Tak ada satu pun suara yang terdengar.
Matanya memanas melihat orang-orang bersorak, seakan sedang mengejek kekurangannya.
Tangannya terkepal erat saat Damian tertawa dan menjatuhkan benda hitam itu, lalu menginjaknya sampai hancur.
Damian mendekat. Ia menepuk bahu Alejandro dua kali, lalu berbisik, padahal ia tahu Alejandro tak bisa mendengar tanpa alat bantu itu.
"Kau tidak pantas berada di sisi Elena. Kau bahkan tidak bisa melindunginya.
Kau tuli, Alejandro. Tu-li."
Usai mengucapkan kalimat itu, Damian pergi dengan perasaan senang karena akhirnya, ia tahu, Alejandro punya kelemahan terbesarnya.
Satu jam kemudian
Elena sudah selesai dengan pekerjaannya hari ini. Ia mencari keberadaan Alejandro ke sana kemari di dalam sasana, tapi tak menemukannya. Sasana sudah kosong, sepi seperti tak berpenghuni.
"Dia sudah pergi, ya?" gumamnya pelan. Ada nada kecewa di dalamnya.
Namun, saat ia baru melangkah keluar gedung, Elena menemukan Alejandro tengah duduk termenung menatap jalanan yang dipenuhi kendaraan lalu lalang.
Elena menepuk bahu pria itu. Alejandro langsung menoleh dan tersenyum. Ia berdiri.
"Kau sudah selesai?" tanyanya dengan wajah biasa seperti tak terjadi apa-apa.
Elena terkejut melihat lebam di pipi Alejandro. Tangannya terulur ingin menyentuh.
"Kenapa dengan wajahmu?"
Alejandro mundur, tak ingin Elena menyentuh lukanya.
"Sini, biar aku yang bawakan. Kau pasti lelah," ujarnya lalu mengambil alih tas besar milik Elena dan berjalan lebih dulu menuju parkiran.
Elena mengikutinya, perasaannya dipenuhi kekhawatiran dan kegelisahan.
Ada apa sebenarnya? Dari mana dia mendapat luka itu? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepalanya.
Alejandro mengaitkan tali helm Elena dan memintanya segera naik ke motor.
Sepanjang perjalanan, tak ada yang membuka suara. Keduanya sama-sama diam. Hanya berisik di dalam pikiran masing-masing.
Sampai terdengar suara klakson mobil dari belakang. Elena panik karena Alejandro tak segera menepi.
Ia menepuk-nepuk punggung Alejandro dan berteriak keras agar menepi. Tapi terlambat.
Mobil itu terlalu kencang dan menyerempet motor mereka hingga tergelincir ke pinggir jalan.
Bruk!
Elena terpental ke sisi trotoar. Sikunya berdarah.
Alejandro bangkit dan berlari menghampirinya dengan napas tersengal, panik, dan ketakutan.
Air matanya menggenang saat menatap darah yang mengalir dari siku Elena.
Elena melepas helmnya, begitu juga Alejandro.
"Elena... maafkan aku... Maafkan aku... Aku tidak bisa mendengar. A-aku..."
Rasa bersalah menyergap hatinya. Seluruh tubuhnya gemetar hebat, dan air mata itu tak bisa lagi dibendung.
Elena menahan kedua bahu Alejandro dan menatap matanya yang basah.
Dia mencoba menenangkan, sebisa mungkin.
"Ale... aku baik-baik saja. Ini hanya luka kecil. Kau tidak perlu merasa bersalah. Aku... baik-baik saja."
Elena mengusap air mata Alejandro. Gadis itu tahu, pria di hadapannya itu selama ini hanya sedang berusaha tetap tangguh sejak kejadian ledakan bom beberapa bulan lalu yang membuatnya kehilangan pendengarannya.
Ia menarik wajah Alejandro, membawanya lebih dekat, lalu memeluknya erat-seakan ingin pria itu mau berbagi rasa sakitnya.
"Aku tuli, Elena... A-aku tuli..." lirihnya, dengan napas tertahan di dekat telinga Elena.
Kalimat itu menyayat hati. Pertahanan Elena runtuh. Ia ikut menangis dalam pelukan, di sore hari yang mulai tenggelam ke arah barat.
Suasana di sekitar mereka sepi.
Sangat sepi.
Seolah dunia tahu... yang mereka butuhkan bukan pertolongan... tapi saling menguatkan.
Malam harinya, masih di tempat yang sama, rumah sewa Elena.
Alejandro terlelap di kursi panjang. Napasnya teratur, namun dahinya yang berkerut menandakan adanya beban berat yang tengah ia pikul.
Elena berjongkok di sisinya dengan kompresan di tangan. Gerakannya sangat hati-hati, mengompres lebam di pipi pria itu. Namun saat Elena sudah selesai dan hendak berdiri, tangan Alejandro menahannya. Ia membuka matanya perlahan, seolah memaksa diri untuk sadar.
Elena terkejut dan gugup. Tatapan Alejandro begitu tajam, tak berkedip. Gadis itu buru-buru mengalihkan pandangan, malu.
"Ada apa? Kau butuh sesuatu? Biar ku ambilkan," kata Elena gugup, mencoba berdiri lagi. Tapi bukannya melepaskan, Alejandro malah menarik tangannya, membuat Elena jatuh tepat di atas tubuhnya.
"Ale! Apa yang kau lakukan!" seru Elena panik. Wajahnya memerah, suara detak jantung mereka terdengar jelas, seolah saling bersahutan.
Alejandro tersenyum miring. Tangannya terulur, mengusap pipi Elena dengan lembut, lalu bibirnya terbuka pelan.
"Lain kali kalau ngobrol sama Damian, jaga jarak. Minimal tiga meter. Lima kalau dia senyum," ucapnya dengan suara berat khasnya.
Elena mendelik. Ia berusaha bangkit, namun Alejandro sengaja mengunci pergerakannya.
"Bilang saja terus terang. Kau ini sedang protektif atau... cemburu?" Elena memicingkan mata. Alejandro justru memperhatikan bibir merah muda itu, dan dia paham maksudnya.
Alih-alih menjawab, Alejandro melepas pelukannya dan bergeser miring, membuat Elena terjatuh ke atas karpet beludru pink muda.
"Kau!" seru Elena kesal.
Alejandro membalikkan tubuh, memunggungi Elena yang gemas karena diperlakukan seperti itu. Tak terima, Elena mengambil bantal dan memukuli Alejandro sambil mengomel. Pria itu hanya tertawa, berusaha menghindar dengan santai.
Sementara itu, di kediaman keluarga Sean Rajendra.
Langit malam tampak mendung, membuat udara terasa lebih dingin dari biasanya.
Ryuga baru saja pulang dari rumah sakit. Sebagai dokter magang, ia sibuk mengikuti berbagai jadwal, mulai dari operasi kecil, menangani pasien gawat darurat, hingga menghibur para lansia yang dirawat di RS milik sang ayah, Sean Rajendra.
Ia menyandarkan tubuhnya di sofa, memejamkan mata sejenak karena lelah. Tapi suara yang sangat familier membuatnya membuka mata lagi. Itu suara Kinara.
Ryuga bangkit dan melangkah ke dapur. Pemandangan di sana membuat senyumnya merekah, rasa lelahnya seketika lenyap. Daddy, Mommy, dan Kinara tampak sibuk menata makanan bersama. Suasana itu terasa hangat.
"Ryu, kau sudah pulang? Kemarilah," panggil Alana sambil tersenyum hangat.
Ryuga melirik ke arah Kinara yang duduk di sebelah Alana. Ia tahu, Kinara pasti kesal karena belakangan ini ia terlalu sibuk, bahkan hanya sempat mengirim pesan tanpa menelepon.
"Bagaimana tugasmu?" tanya Sean sambil menyendok kan makanan ke mulutnya.
"Cukup baik, tapi sangat melelahkan. Daddy, aku ingin cuti selama lima hari ke depan," ujar Ryuga, sambil terus melirik Kinara yang masih fokus pada makanannya.
Sean menatap Alana, dan sang istri mengangguk kecil. Mereka paham, mungkin putra mereka butuh waktu untuk memperbaiki hubungan dengan Kinara, calon menantu yang sudah dikenalkan sejak SMA.
"Baiklah. Gunakan waktu itu sepuas mu, dan ajak Kinara jalan-jalan ke tempat menyenangkan," ucap Sean.
Ryuga tersenyum lebar, matanya berbinar. Ia langsung bangkit dan berlari kecil menghampiri Kinara, memeluk gadis itu tanpa mempedulikan orang tuanya yang sudah melotot.
"Ryu! Kau gila, ya?" bisik Kinara malu-malu.
"Aku lebih gila kalau kau terus mengabaikan ku, Ra."
Pletak!
Sean memukul belakang kepala Ryuga, membuat pelukan itu terlepas.
"Bisa-bisanya kau nyosor sembarangan padahal orang tuamu masih di sini!" omel Sean kesal.
Alana ikut berdiri, lalu menjewer telinga Ryuga.
"Aduh, Mommy!" Ryuga mengusap telinganya yang panas, sedangkan Kinara hanya bisa tertawa menahan malu.
"Kinara, lain kali kalau anak Mommy nyentuh kamu sembarangan, bilang ya. Masih ada slot untuk telinga sebelahnya," ucap Alana sambil menyilangkan tangan di dada.
"Mommy saja yang lupa gimana Daddy dulu suka nyosor Mommy. Pria tampan itu bahkan lebih mengerikan dariku," kata Ryuga sambil menunjuk Sean.
"Astaga... kau ini!" Sean gelagapan, karena putranya itu memasuki mode bocornya. sementara Alana dan Kinara tertawa.
Keesokan Harinya
Wigantara Corporation
"Masuk."
Suara dingin seorang wanita berpakaian modis warna marun terdengar mengisi ruangan yang sepi.
Pintu terbuka. Suara sepatu resmi masuk, berjalan mendekat.
Pria itu menunduk hormat pada Diana, yang tersenyum tipis. Wanita itu tampak senang karena orang yang ditunggunya akhirnya datang.
"Selamat datang kembali, Damian," ucapnya.
"Silakan duduk. Perbincangan kita akan panjang," ujar Diana, berjalan lebih dulu ke sofa. Damian menyusul dan duduk berhadapan.
"Bagaimana kabarnya, Tante? Apakah sudah berhasil menemukan pelakunya?" tanya Damian sambil menautkan kedua tangannya di depan.
Diana mengeluarkan sebuah map dari bawah meja.
"Kau lihat saja sendiri. Tante pusing. Gadis itu sulit sekali ditemukan. Seperti belut. Apalagi sekarang ada yang menjaganya."
Diana menyandarkan punggung ke sofa dan memijat pelipisnya yang berdenyut.
Mendengar kata "seorang gadis", Damian buru-buru membuka map itu. Rasa penasaran membuncah hebat di dalam dirinya.
Bagaimana mungkin, Arthur, sahabatnya itu terbunuh di tangan seorang perempuan?
Namun saat melihat isi map... napasnya seakan terhenti. Meskipun jantungnya masih berdetak keras, rasanya seperti dihujani seribu anak panah beracun.
Foto itu... foto Elena.
"Kalau kau bisa menemukannya dan membawanya ke hadapan Tante, perusahaan ini jadi imbalannya," ucap Diana bernegosiasi.
Damian diam. Lama. Tak mengangguk, tak pula menolak. Hanya tersenyum kecut.
"Aku akan menyelamatkanmu, Elena. Bagaimanapun caranya..."
batinnya berteriak lantang.